Showing posts with label Kita; RizZa. Show all posts
Showing posts with label Kita; RizZa. Show all posts

1 September 2013

Sebuah Masa yang Hilang

Satu kesempatan manusia, ketika berjalan tanpa menoleh ke belakang.
Namun nampaknya, memori menjadi kaca spion yang menerawang jauh ke masa lalu.
Banyak yang merindukannya. Ingin mengulanginya. Bahkan ingin mengubahnya
Tidak mungkin. Tidak mungkin itu bisa dilakukan.
Nyatanya, kaki ini tetap melangkah ke depan.
Bagaimanapun yang akan terjadi kita tahu itu adalah rahasia terbesar, tak ada seorang pun mengetahuinya.

Viena,
Korea,
Turki,
India
Impian kita.
Kemarin kita catat dalam sebuah buku yang hampir kusam terbasahi hujan.
Kau bilang, buku itu tidak akan menghalangi kita untuk menembus negeri-negeri seribu cerita dan sejarah itu.

Kita menulis berbagai macam model bangunan untuk kita tempati di kemudian hari.
Dalam buku itu, kutulis semua impian dengan tinta merah, mengapa? menggambarkan kekuatan darahmu, ketegaran ragamu, keberanian pikiranmu.
Dalam buku itu, kau tulis semua impianmu dengan tinta biru
Saat kutanya "Kenapa tinta biru yang kau pakai?"
Jawabmu "wajahmu adalah semangatku meraih langit"
Kau penggombal ulung, Riz, tak ayal buatku merah merona, tersenyum dan tersipu karenamu.

Kita mengadu cerita saat senja bahkan hingga larut,
Kita pun beradu tawa saat mendengar lagu Rhoma Irama didendangkan para satpam kampus dengan fals. Nadanya sumbang tertutupi rintikan hujan malam itu
Indah.. Saat itu sangat indah, Riz.
Karena kamu disampingku menghangatkan kerisauan, menumbukan semangatku untuk meraih impian.
Yah, meraih impian denganmu tentunya.

Kamu bahkan terlalu sering menggombaliku.
Kamu mengerlingkan mata di saat orang-orang tak memperhatikan.
Kamu menyapaku dalam keramaian.
Banyak kegombalan buatku jatuh hati padamu kemarin, kemarin, kemarin, dan kemarin hingga aku jatuh hati untuk yang kesekian kalinya padamu.

Senja selalu menjadi penghujung pertemuan.
Matahari yang akan tenggelam di ufuk barat itu kita lihat dari balkon gedung kampus yang paling tinggi.
Punggung kita menghadap mushala di atas bangunan itu.
Wajah kita pemerhati burung-burung yang seolah akan terjatuh ketika mereka terbang namun mereka tetap semangat mengepakan sayapnya.
Setiap senja kita membaca semua impian yang kita tulis dalam buku itu
Kuharap bisa kita perjuangkan bersama.
Wajahmu pemicu semangatku.
Kau bilang padaku "tanganku adalah pelindung bagimu dan kelembutan wajahmu adalah penyejuk hatiku"
Riz, kamu begitu membuatku merekahkan senyumku.

Riz, keyakinanku padamu seperti sebuah pisau yg akan mengukir kayu menjadi patung yang sangat mahal.
Kamu juga adalah aorta bagiku.
Saat bersamamu aku tak pernah melihat fatamorgana membayangi mataku.
Tak pernah juga aku melihat langit tak berbintang.

Kamu adalah lelaki hebat yg aku temui dengan takdirNya.
Kamu memarahiku saat aku tak bekerja dg rapi.
Tapi setelahnya kamu mengajakku berjalan memutar kota asing yg baru kita singgahi.
Indah...
Saat itu sangat indah.
Kita berkeliling dengan sepeda motor dengan lambat karena saat itu dingin malam begitu menusuk kulit.
Hingga aku mencium baumu yang khas, menempel dalam otakku, menghipnotisku.
Bahkan jika kamu tahu, wajahku yang menghadap ke punggungmu itu berseri bahkan sangat berseri.
Indah...
Saat itu sangat indah.
Kedinginan saat itu menjadi hangat
Kamu mengajakku berkelana dalam alam pikiranmu dan alam impianmu.
Hingga aku pun ingin menjadi bagian impianmu.

Kamu, pemuda yang sibuk mengutamakan teman-temanmu hingga aku mengagumimu.
Kamu bermesraan dg secangkir kopi saat kepalamu sudah tak bisa menampung permasalahan.
Kamu menyukai teh manis saat makanan berat itu habis kau lahap.
Kamu pergi menghindar dariku karena kau akan menghisap sebatang rokok.
Kamu marah padaku saat tahu ada lelaki lain menggodaku. Ku tahu itu karena tatapan matamu menajam dan kubalas dengan senyumku yang merekah. Ada yang tak ingin aku diganggu.

Kamu pun mendekatiku saat suhu tubuhku naik dan perutku kram.
Dengan keikhlasan kamu menungguiku hingga aku lelap dalam pundakmu.

Namun sesal menusukku, saat aku melihatmu beradu canda tawa dengan sahabatku.
Aku menyesal kenapa aku pernah menjadi bagian hidupmu.
Kamu tahu, tiba-tiba fatamorgana membayangiku bahkan melelapkanku hingga aku melemas.
Kamu tak pernah menyakitiku, bahkan tak pernah membuatku bersedih.
Namun kenapa tiba-tiba kamu menjadikanku seorang diri?
Kenapa tiba2 tangan kekarmu melepaskanku?
Aku tak memiliki pelindung lagi.. aku lemah, Riz.
Kenapa kamu buatku menangis terlalu dalam?
Apa karna aku terlalu merinduimu?
Lalu apa yg harus aku perbuat agar kamu melindungiku lagi?
Apa yg harus kulakukan agar wajahku menjadi impianmu lagi?
Apa yg harus kulakukan agar kau temaniku lagi dalam senja dan purnama tiba?

Aku mencintaimu meski aku tak pernah mengatakan bahwa aku mencintaimu.
Aku mencintaimu kemarin, hari ini dan untuk esok.
Aku mencintaimu seperti kau mencintaiku, dulu.
Aku tak tahu kenapa langit tiba-tiba mendung dan menghempaskan kerisauan lagi.
Aku tak tahu kenapa kamu menghilang dari mataku, laun namun hilang dengan pasti

Teruntuk kamu, seorang pemuda bertangan kekar yg sempat melindungiku dari kerikil-kerikil tajam.
Ini, dariku, yang sebuah impiannya hilang terhempas angin masalalu.

Bandung, awal 2013.

26 March 2013

Genggamanku Terurai

Di sudut relung hatiku, aku merindukanmu. Memikirkan sebuah masa yang sebetulnya masih sangat rahasia dengan kematian yang selalu menghantui. Aku tak tahu bagaimana jika telapak kaki ini berpijak tanpamu. Namun ternyata, aku bisa melewatkanmu meski dengan sedikit tertatih juga dihantui kerinduan yang enggan beranjak. 

Cerita kita berakhir dan semua berubah bersama awan yang selalu menaungi kita. Saat mentari masih terbenam, kau melengkapi dan menerangiku dalam kegelapan, melegakan segala ketakutan, pula membasuh keraguan. Kini, mentari bersinar, kau lenyap diantara sinar hakiki. Kau hilang bagai angin, hanya mengusapku tanpa menenangkanku bahkan sangat mencekik urat-uratku. 

Kau berkhianat dari untaian ucap yang kau urai. Aku merasa tak bisa tegak berdiri, nyatanya aku bisa menari bak kupu-kupu. Aku tak ingin mendengarmu lagi, bukan karena jejak yang tak menampak, namun aku takut jatuh cinta lagi kepadamu. 

Aku memang aneh, hujan deras yang telah menenggelamkanku masih aku harapkan. Atau kau yang aneh, enggan beranjak dari bumi tempatku berpijak. Sungguh, aku tak ingin melihatmu diantara waktu yang kulewati. 

Riz, kau pernah genggam jemariku dengan begitu erat. Dan menggairahkan tubuhku tuk capai impian. Impian yang dulu kita idam-idamkan. 

Kini, aku sendiri dalam sepi. Tuhan sedang mengubah hidupku secara perlahan agar lebih baik tanpa dirimu, Riz. Aku merasa tak berarti karena kau tak di sisiku, aku selalu bertanya mengapa, walau kujawab bahwa aku tak tahu. Tuhan lebih tahu, bahwa kau di sisiku pun akan tampak percuma. Maaf Riz, jika memang aku tak berarti dalam hidupmu meski kau sangat berarti dalam hidupku, dulu. 

Sekarang kau takkan lelah lagi, karena aku tak di sampingmu. Aku takkan pernah beranjak untuk tidak mendo’akan kebaikan bagimu. Kau tidak akan pernah merasa serba salah lagi. Riz, hidup ini memang seperti hujan yang selalu memberi harapan indahnya pelangi. Namun, yakinilah tidak ada perempuan yang ingin diberi harapan seperti hujan. Kau tak berhak. Karena tak ada perempuan yang ingin terluka. Riz, aku tak tahu bagaimana kita di masa depan. Jika Tuhan hendak mempersatukan kita lagi, aku harap semua menjadi lebih baik dan lebih indah lagi. Namun, ku harap Tuhan hanya mengenalkanku saja padamu, tidak lebih.

19 February 2013

I and You in Memories

Aku menemukanmu di waktu yang tak kunjung usai. Kau menyapu wajahmu yang terkena debu. Meski debu tak tampak kau mengelapnya dengan sapu tangan yang setia kau simpan dalam saku celanamu. Perlahan aku membuka sebuah pelindung kepala, membenahi sehelai jilbab yang bersandang dengan manis. Kau memandangku dan mengukir senyum di pagi itu. 

Sudah beberapa kali kita berpapasan di lokasi yang sama. Lokasi tempat pertama kau dan aku pijaki di gedung biru itu. Tempat aku memandang senyummu dari jauh. Waktu mempertemukan kita dengan setia. Itu bukan kebetulan, tapi Tuhan telah melukiskan untuk kita. Secara sadar aku telah mencuri senyummu dan kugantungkan di langit-langit kamarku. Sebuah bintang pun berkerlipan bersamanya. 

Tubuhmu tegap. Watakmu pun tak kalah tegap. Sesekali kau perbaiki sebuah kabel yang menyatu pada gadget kesayanganmu, earphone yang kau pakai. Sesekali aku menyimakmu. Sesekali kau menatapku. Kau sadar aku mencuri pandangan darimu. Kita saling memperhatikan di setiap sudut ruang. Saat mata kita bertemu pada satu titik, ada mata yang tiba-tiba mengalihkan bersamaan. Bahkan langkah kakimu dari jauh hari telah ku hafal. Iramamu berbeda. Ketukan sepatumu nyaring namun bernafas riang. 

**** 

Saya bingung kenapa Tuhan mempertemukan kita pada waktu dan tempat yang sama, beberapa kali. Bukan untuk satu atau dua kali, tapi lebih dari lima kali. Saya tidak menghitungnya, tapi saya ingat karena banyak perkuliahan yang menjadi saksi keberadaan kita. Tuhan menggariskannya untuk kita. Entah apa yang akan terjadi di hari esok. Apakah kita akan bertemu lagi? Kita tidak tahu. 

Saya tahu bau parfummu, Za. Saat kita berpapasan kamu hanya berganti dua kali wangi parfum. Saya tidak memikirkan hal macam-macam, akan tetapi saat ada seseorang yang mempunyai wangi yang sama, pikiran saya adalah kamu. Tidak ada yang lain. 

Kamu perempuan cantik, cerdas dan eksotis. Meski cantik adalah relatif namun bagi saya kamu perempuan cantik yang saya kenal. Meski cerdas memandang IQ, namun bagi saya IQ hanyalah formalitas, bagi saya perempuan cerdas adalah perempuan yang memberikan senyumannya secara tulus. Dan kamu adalah perempuan eksotis, karena menurut saya eksotis bukanlah seksi secara lahir namun seksi dari dalam. 

Berulang kali saya memandangi pertemuan kita. Tidak ada yang istimewa namun ada yang tidak normal ketika kita bertemu. Kau tau apa yang tidak normal itu? Kita selalu memakai pakaian yang berwarna atau bercorak hampir sama. Saya seperti anak-anak labil yang menghubungkan hal satu dengan hal lainnya saat bertemu dengan perempuan yang saya bilang perempuan luar biasa. 

**** 

Kita memang tidak normal, Riz. Ada alasan mengapa kita tidak normal. Kita tidak pernah mengikat janji diantara waktu yang kita lalui. Namun waktulah yang memeluk kita. Bagiku ketidak normalan tersebut adalah jalan menuju keselarasan. 

Kau memang labil, Riz. Kau tidak pernah menyapaku. Kau hanya bisa mencuri pandang. Kalau aku seperti itu menurutku itu hal tidak wajar. Aku perempuan sedangkan kau adalah pria. Itulah sebabnya mengapa kita tidak normal. 

Dunia ini memang aneh, penuh kejutan. Kejutan terindah bagiku adalah kau hadir di saat tidak terduga. Kau ingat saat handphone-ku hilang? Kau tidak membiarkanku sendirian, kau menemaniku hingga telepon genggam itu kembali pada genggamanku. Mungkin itu hal kecil menurutmu namun bagiku, kau tidaklah biasa. 

**** 

Perempuan memang tidak normal. Kamu menganggap saya tidak normal juga? Saya hanya menyeringai indah. Saya hanya berbuat yang menurut saya itu adalah hal yang terbaik buat perempuan seperti kamu, Za. Saya ingat ketika matamu hampir berlinang, saya tidak tahan melihat perempuan menangis. Karenanya, saya menahan tangisanmu itu. 

Kamu pun selalu memberi saya yang terbaik. Kamu selalu memberikan saya informasi yang saya butuhkan. Kamu selalu sigap ketika saya membutuhkan sesuatu. Seperti guide, kamu tidak membiarkan saya tersesat di jalanan Bandung. Bagi saya, kamu luar biasa. Memberikan waktu luang di tengah kesibukan yang kamu hadapi. 

Iya dunia ini aneh, se-aneh kamu dan saya. Kamu memang peneliti. Kita tidak pernah mengikat sebuah janji diatas waktu yang kita lalui. 

**** 

Riz, apakah kita akan baik-baik saja? Apakah kita akan berjalan pada jalan yang sama dan tidak memilih jalan yang berbeda di tengah jalan nanti? Apakah kita akan seperti lilin yang hidup dna mati bersama? Atau mungkin kita akan seperti rel kereta api yang selalu bersama tapi tidak bersatu?

Riz, tiba-tiba pertanyaan itu muncul dalam benakku. Kata orang, wajar aku memikirkan hal ini. Jika ada lelaki yang memikirkan bagaimana ia hidup dengan seorang wanita di masa depan itu adalah serius. Apakah kau pernah memikirkan hal-hal yang aku pikirkan? 

Maafkan aku Riz, aku tau dalam hidupmu ada dua perempuan yang teramat kau cinta. Ibumu dan perempuan yang kau idam-idamkan, perempuan yang pernah kau ceritakan kepadaku, perempuan yang cerdas dan teramat cerdas, perempuan yang sudah menjelajahi bumi dengan kakinya, bukan perempuan yang sepertiku, masih bersembunyi di ketiak induknya. 

Aku tidak bermaksud memaksa. Karena kau tahu bahwa hidup bukanlah paksaan. Aku tidak ingin kau menjauh dariku hanya karena pertanyaan-pertanyaan itu. Aku tahu cita-citamu setinggi gunung Himalaya. Kau tahu bahwa pertanyaan itu pun setinggi cita-citamu? 

Maafkan aku Riz. 

**** 

Za, saya akan mengoreksi kalimatmu. “Hidup bukanlah paksaan” yang benar adalah “Cinta bukanlah paksaan”. Hidup ini adalah paksaan. Tidak ada satupun yang ingin dilahirkan ke bumi ini. Namun Cinta, adalah satu hal yang tidak bisa dipaksa. Walau terkadang harus memaksa. 

Setiap orang memiliki hak untuk mencintai. Alangkah bahagianya ada seorang pria yang mencintaimu melebihi cinta saya pada kamu. Alangkah bahagianya pria yang memilikimu kelak. Saya tidak tahu bagaimana kelak masa depan kita. Mungkin sekarang kita seperti rel kereta api yang berdampingan namun tetap pada garis yang kita genggam. Jika dipaksa untuk menyatu maka tidak akan ada kereta api yang bisa beroperasi. 

**** 

Riz, ada satu hal yang kau lewati dari kalimatmu, yaitu setiap orang memiliki hak untuk mencintai dan dicintai. Ada sebuah kalimat belum tuntas aku katakan yaitu tentang rel kereta api itu. Rel itu tidak akan bersatu akan tetapi mereka akan bertemu pada satu titik yang sama yaitu stasiun. Namun, aku pun tidak tahu, apakah stasiun itu sekedar peristirahatan atau pemberhentian terakhir. 

Seperti sebuket bunga yang kau beri untukku. Mungkin ini adalah buket bunga yang terakhir. Namun kau bilang “sebelum ada perpisahan maka tidak ada kata terakhir”. Mungkin aku harus mengembalikan lagi kepada waktu yang telah menjadikan kita manusia tidak normal. 

Kau tahu bahwa diantara harapan itu ada ketakutan? 

**** 

Saya selalu takut, akan tetapi ketakutan itu selalu saya tangkis dengan keberanian yang saya punya walau secuil tahi kuku saja. Harapan itu menjadikan kita lebih bergairah dan bertahan hidup di bumi ini. Walau terkadang keji, nikmatilah Za. 

Rasanya kau harus beristirahat karena malam memang tiba untuk kita pejamkan mata. Bukan untuk melihat esok seperti apa namun untuk kontemplasi hari ini seperti apa. Saya selalu menjadikanmu sebagai perempuan yang akan saya miliki. 

****

Kita memang bagaikan bongkahan nuklir yang bisa saja meluncur bersamaan atau diam adanya. Aku dan kau memang sama-sama pemalu dan memalukan. Pada dunia saja belum berani memutuskan dengan bijaksana apalagi di depan Tuhan nanti, namun katanya raga ini yang akan menjawab. Kita memang dedaunan yang akan gugur pada musimnya. Terkadang aku tak ingin sampai pada masanya, tapi tetap akan sampai dengan taqdirnya.

Aku mempercayai taqdir. Karenanya Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk kita. Jika aku ditaqdirkan untukmu, maka daun gugur pun tak mengapa, karena akan menjadi pupuk bagi akarnya dan dihisap kembali.  Jika aku taqdirmu, aku berjanji menjadi lilin yang setia menyala dalam kegelapan muncul mengejutkan. Aku pun berjanji menjadi genggagaman yang paling erat disaat tak ada yang mau menggenggammu lagi.

Aku percaya taqdir yang akan sampai pada kita. Jika aku bukanlah taqdirmu. Maka tetaplah bersamaku menjadi kenanganku yang paling indah. Bukan hendak mencemburui masa depanmu, namun menjadi sahabat terbaik sepanjang perjalanan kau dan aku bersama memungut puzzle-puzzle yang tercecer. 

Aku dan kau memang tertaqdir bertemu pada satu bagian kehidupan yang tidak normal. Berbicara tentang masa depan dan bersemangat menjalankannya, walau ternyata Tuhan mengajak kita untuk bertualang dulu sendiri-sendiri dengan jalan yang kita suka. Jalanan sesak pernah kita lalui. Hujan yang mengguyur pernah kita terjang. Meski ada satu yang belum kita temui yaitu satu titik yang bisa mempertemukan atau hanya tempat peristirahatan saja.

Riz adalah kamu yang menjadikan aku bergairah dalam hidup. Kamu adalah cita-citaku setinggi cita-citamu. Karenamu, dunia ini terasa indah. Aku telah jatuh hati padamu, Riz.


17 February 2013

Monolog

Tetaplah bersamaku. 
Hai pria yang berada di sebelahku! Aku belum menguasai diri dan belum menguatkan keberanian akan sebuah irama yang berbeda dalam not-not kehidupan yang aku cipta dan yang telah tercipta. Mencita-citakan bersandar padamu saat pilu melanda. Hendak membebani punggungmu saat ketakutan menghantui. Juga menjadi bagian yang menjadikan senyawa dalam tubuhmu. 

Angin ternyata tetap berhembus diantara jemari kita. Hampir tiba saatnya aku mengetahui baumu yang aku curi diam-diam. Saat kau temani senja menunggu pelangi diantara kepulan polusi.

Mungkin, perjalanan kita tiada berhujung kecuali nyawa memutuskannya. Mungkin terpotong oleh sebuah gunting berkarat, sedikit demi sedikit memutuskan lembaran demi lembaran yang dipungut dan tercecer kembali seperti sediakala.

Tidak ada keburukan yang kupanjatkan untukmu. Kebaikanku adalah kebaikanmu. Mendengar kabarmu  saja menjadikan kegelisahan bertepi. Melihatmu tersenyum pun menjadikan hujan sehangat mentari.

Aku membisikan do’a pada setiap rintikan hujan yang menerjangku. Agar ketika aku merindukanmu, hujan membasuhmu dan menyerapkan nyawanya ke dalam urat nadimu. Membasuhmu agar kerinduanku sirna.

Menjadilah Teman Hidupku. 

Rancaekek, Juli 2012


Filsafat Milikmu

Sosoknya mendalami sebuah buku. Ku lirik dari jauh. Filsafat nyatanya. Matanya tak berhenti membelalak mengiringi bacaan. Mengayunkan mata dengan indah. Serius. Kulihat lembar demi lembar membukakan mata pikirannya. Mengelilingi alam disaat ilmu menjadi pertaruhan para filsuf. Wajahku mengikutimu mengelilingi alam pikiranmu, bukan filsafat yang ku selami. Menyelamimu ke dasar laut yang cukup keruh, terlalu menerawang sedang penfokus terang tak cukup bercahaya. Nyatanya aku hanya menyelamimu saat air surut. 

“Za,” kau mencabut oksigen penyelamanku. Keningku berkerut, tapi kukunci rapat akan kekesalanku karna kau menarik tiba-tiba alat nafasku. 

“Iya, ada apa Riz?” wajahku menguntai seulas kasih, senyum pertanda penghormatan kepadanya. 

“Buku ini mengingatkanku pada seseorang yang jauh.” Tangannya tetap membuka lembaran demi lembaran peradaban ilmu itu. 

“Siapa?” rasa penasaranku tiba-tiba merajai pikiran. 

Dia tersenyum, matanya sedikit menengadah, seolah melihat langit-langit dengan sedikit suram. Pikirannya menerawang ke sebuah masa dimana aku tak mengetahuinya. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Tiba-tiba ada cermin yang menundukannya. Tersenyum miris saat ia akan memulai cerita. 

“Siapa, Riz?” kepalaku coba memulai ceritanya, tidak bermaksud memaksa namun kepenasaranku memang merajai. 

“Ada, seseorang.” Buku filsafat itu kau tutup tiba-tiba dan kau meninggalkanku di kursi seorang diri. 

Senyumanku kembali mendarat pada matanya. Menggelayungkan harapan agar ia menceritakan sebuah hal yang belum aku ketahui sebelumnya. Ada warna indah dalam matanya ketika ia menengadah ke langit. Namun ada nyeri yang menyayat dalam ketundukannya. 

“Ceritakan kepadaku saat kau mau” ujarku saat ia melangkah menjauh dari tubuhku. 

Aku pun dibayang-bayangi seseorang yang ia ingin ceritakan, entah saudaranya atau mungkin seseorang yang ia selami juga. Seperti aku yang sedang menyelaminya dalam diamku. Entahlah!


Demi Hukum Newton

Ketika aku membuka mata, sebuah nama terbayang dalam nyawa.
Hentakan jarum detik bercengkerama menuai indah namanya. 
Seolah tiada yang lain dalam asa.

Dalam untaian do’a, ada kesungguhan menyeruak sebelum aku mengatakan “aamiin”. 
Mengatakan bahwa namanya sudah menjadi bagian diri.

Inikah cinta?
Yang kutahu bahwa ada cinta dalam waktu yang terjuntai. 
Tumbuh diantara hembusan angin yang kita habiskan bersama. 
Mengakar diantara bisikan-bisikan rawa yang keji. 
Menghampiri dan masuk dalam pori-pori kulit. 
Ada cinta yang kuhirup dan kuhembus saat bersamamu.

Dalam rajutan asa dan ribuan do’a,
lagi-lagi kecupan nama indah itu menyelami isi kalbu. 
Membisikan bahwa ada harap dalam cinta juga keraguan dalam cinta. 
Ternyata nyanyian alam melantunkan syairnya yang merdu tentang kita.

Cinta, sebuah kata yang tak pernah ada hujung. 
Tapi kini aku tahu bahwa cinta adalah kamu.

Demi Hukum Newton I, II, dan III, Aku Cinta Kamu.

Bandung,  Juli 2012


16 February 2013

Kamu Seperti Layang-layang

Mimpi adalah gairah kehidupan, perangsang jiwa memeluk dunia. Ketika mimpi menjadi perekat antara bulir-bulir debu yang gersang, dunia serasa sudah digenggam dengan telapak kecil kita. Mataku sedikit rabun namun dirimu seperti kotak lensa yang menyirnakan ragu. 

Kita memang seperti sebuah layangan yang ingin menembus langit hingga ke atmosfernya. Berjibaku dengan angin yang menantang. Setiap ketinggian bertambah maka tekanannya pun semakin berat. Terkadang harus berhenti sejenak karena Tuhan menyegerakan rezekinya turun dari langit. Terkadang bertemu sejawat yang bermimpi sama, menuju langit ke tujuh. 

Diatas sana, bumi terasa indah. Gunung menjadi sejajar, seolah sudah setara dengan ketinggian yang dicapai. Dari atas sana tampak ribuan orang berbondong-bondong mencari satuan puzzle kehidupan yang tercecer. Dari atas sana tampak pepasir yang ternyata menyatu dengan hamparan samudera. Tiada terpisah. Bahkan saling menguatkan indahnya. Bumi pun tergambar dengan berbagai macam satuan yang tidak bisa dipisah. Seperti tanah dan langit yang bersatu menjadi bumi.



Mimpi adalah kesatuan diri kita, Riz. Tidak dapat dilepas dan tidak dapat dipaksa untuk diubah. Aku ini semacam telur yang berusaha berubah menjadi semacam burung. Namun, ternyata burung mempunyai cita yang sama dengan kita, menyegerakan rezeki untuk induknya. Tidak perlu menuju langit ke tujuh jika hanya menikmati indahnya saja. Tidak perlu berlaju semakin cepat jika hanya meragukan nurani. Kamu semacam layang-layang yang ingin meraih pelangi ketika tampak dari bumi. Namun, tahukah bahwa ia akan pudar di telaga waktu? 

Riz, aku memang bukanlah pelangi yang dikatakan indah oleh seisi bumi. Bukan sebuah pelangi yang selalu dinanti ketika hujan reda. Aku hanya bisa berusaha menerbangkanmu ke langit-Nya. Agar kau tampak indah dimata penjuru bumi dan kau bisa menikmati kesatuan tanah dan langit juga akar dan buah yang nyata berbeda namun bisa menyatu dengan pasti. Riz, jika aku layang-layang, tekanan angin belum tentu bisa aku lawan. Aku hanya bisa membantumu mengendalikan pusaran angin tersebut. Layang-layang milikmu yang dicita-citakan untuk aku terbangkan ke langit-Nya.

Bandung, 16 Februari 2013


15 February 2013

Kita Berkeliling Dunia

Ada sebongkah senyuman yang tergurat dari wajahmu. Keningmu yang selalu mengerut dari lelucon-lelucon garingku tersibak oleh angin dingin 18oC di dalam ruangan yang penuh dengan peralatan kesayangan kita. Kamera HDV yang berdiri tegak menfokuskan lensa ke arahku yang tetap memandangmu dari jauh mata memandang. Keheningan yang kuinginkan agar masuk ke dalam ulu hatimu pun hanya angan-angan semata, kebisingan sahabat-sahabatku yang sedang asik mensetting berbagai alat shooting mengaburkan konsentrasiku. Namun satu yang kuingat darimu, senyummu merekahkan hatiku. 

“Sedang apa?” tanya kau dari ujung laptopmu ke sebuah chatting media sosial. Mungkin ada kegerogian sendiri saat kau bertanya langsung kepadaku, pikirku. 

“Sedang nongkrong, liat orang kece” tulisku dengan cermat “dan itu adalah kamu” ujarku dalam hati. 

“Terimakasih” ketikmu, dan kau memandangku, melihatku dengan senyummu lagi. 

“Iya, sama-sama” 

Diantara kebisingan aku menikmati kata demi kata yang kau tulis, aku mencermati dan merasakan detik demi detik waktu berdetak. Aku tak ingin beranjak dari layar laptop. Menunggu pesanmu kembali yang menghancurkan kebisingan menjadi kemanjaanku bersama waktu. 

“Kamu tertarik go aboard Zahra?” lanjutnya di chatting siang itu. 

“Iya Riz, Banyak negara yang ingin aku pijaki” 

“Salah satunya?” 

“Jerman, Belanda, Australia, Inggris, Spanyol, Paris” 

“Mekkah?” 

“Itu nomor pertama” tegasku.

Jarak kita seakan terpisah oleh samudera dan terpisah lantunan detik. Namun nyatanya udara mengikat kita dalam satu ruang, tak hampa, karena dikelilingi orang yang selalu meneguhkan saat kita lemah, menyejukan saat gersang melanda dan menyinari saat gelap menyelimuti.

“Aku ingin melihat dunia tahun depan, kau mau?” Riz menghancurkan lamunanku.

“Boleh, taun depan kita mulai keliling dunia” jawabku 

“Iya, kamu mau kemana dulu? 

“Aku mau ke New Zealand lalu ke Ausie” 

“Negara yang akan aku kunjungi pertama adalah Mesir” wajah ketegasannya aku lihat dari spion lonjong motornya. 

“Kenapa?” 

“Ketika aku kesana,” tiba-tiba aku memotongnya “Kairo? Ternyata kamu pernah kesana? Wuidih keren...” ia pun menceritakannya kembali “iya, beberapa tahun lalu, aku pernah menyoreti tembok kedubes RI di London, nah, sesampainya disana aku mau liat tulisan itu”

“keliatan banget Indonesianya” tuturku dengan simbol senyum menyeringai. 

Akhirnya kita bercerita tentang sebuah impian, yaitu keliling dunia, melihat kota-kota bersejarah yang pernah melahirkan ilmuwan-ilmuwan dunia. Hingga akhirnya Spanyol menjadi tempat terakhir kami untuk bertemu dan menapaki janji dengan harapan yang sangat besar. 

“Spanyol yah taun depan” 

“Oke, siapa takut” jawabku. 

Satu diantara cerita kita adalah memuat negara-negara yang ingin dikunjungi, setiap hari dia mengingatkanku untuk tetap menatap dan menata masa depan dengan optimis. Itu yang membuatku tak ingin kehilangannya. Mengajariku betapa dunia akan indah jika kita bernyanyi untuk orang lain. Indah dan selalu menjadi catatanku di setiap waktu berjalan. Kita harus bertemu di satu titik impian kita. Impian adalah sebuah harapan sehingga kehidupan akan terasa bergairah.

14 February 2013

2x5 tahun, Riz

Matanya bundar, bulu mata lentik dan panjang. Tubuhnya gempal setinggi badanku. Dia berlari dengan tas gendong dan sepatu kets kesayangannya. Berlari bersama angin senja yang menyapu. 

“Riz, kau mau kemana?” tanyaku padanya 

“Saya mau bermain sepakbola dulu, Za!” jawabnya “tidak akan lama kok!” 

Aku cemberut, tercermin diatas genangan air hujan yang telah berlalu sore itu. Riz pergi tergesa-gesa ke arah teman-temannya yang sudah siap menunggunya hendak bermain sepakbola di alun-alun kota. 

Aku  menunggunya dengan setia ditemani secarik kertas dan sebuah pena hitam. Duduk di taman kota, melihat sekeliling yang ramai dengan para pedagang kaki lima. Mereka mengadukan nasib hingga petang tiba.

Di penghujung senja aku tetap setia temani buku-buku dan coretan kecil hasil karyaku, tapi Riz belum tampak walau batang hidungnya. 

“Riz, lama sekali!” gerutuku setibanya di taman kota. 

“Saya hanya pergi 2x45 menit, Za” jawabnya dengan santai “dan saya tidak akan meninggalkanmu lagi selama itu” janjinya padaku. 

“Baiklah! Ayo kita pulang, sebentar lagi adzan maghrib!” ajakku dengan menarik tangannya. 

Kami berjalan menelusuri pasar yang mulai lengang. Dia berjalan disampingku. Bau keringatnya menusuk, tercium sampai ujung dada. Dia terus memainkan bola yang dipegangnya. Melempar sesekali ke arahku. 

“Zaa, sini dulu!” Riz berteriak dari arah belakangku, aku tak menyadarinya dia tertinggal olehku. 

Aku memutar badan “Ada apa?” teriakku kembali sambil menghampirinya. 

“Sini liat! Gelangnya bagus kan?” dia membeli dua buah gelang, perpaduan antara warna cokelat dan hitam dengan besi yang menghiasinya “satu untukmu dan satu untuk saya” 

Riz memberiku sebuah gelang “Ayo pakai! Agar kamu bisa menemukanku kembali jika suatu saat kita tak bersama!” pintanya padaku. Dengan seulas senyum aku memakai gelang pemberiannya. 

“Oh ya, di belakang gelang itu bertuliskan nama kita, lihatlah!” pintanya lagi dengan pancaran mata bias mentari senjanya. 

“Gelangnya bagus dan aku pakai dan... makasih Riz” jawabku di senja itu dengan langkah yang semakin cepat. 

Kami berpisah di depan rumahku, dia menghilang dari pantauan mata. Dia berlari dengan cepat ke arah terminal kota untuk bergegas menaiki angkutan umum menuju rumahnya. Dia berbalik lagi ke arahku “Sampai jumpa besok Za!” tangannya melambaikan ke arahku dan aku membalas lambaiannya. 

**** 

Aku tersenyum mengingat kejadian 10 tahun lalu, Riz memberiku sebuah gelang. Tak sengaja aku menemukan gelang yang telah kusam dimakan usia itu saat aku membereskan berkas pada lemari tua milik ayah. Dibelakang besi itu bertuliskan “Riz & Zaa”. 

Saat itu kami masih berseragam putih merah, kami senang berlari berkeliling kota yang masih lengang dari kendaraan. Jalannya masih tua dan masih banyak hilir mudik orang mengendarai sepeda ontel, termasuk kakekku yang suka menjemputku dengan ontel kesayangannya lalu Riz meminta kakek memboncengnya juga. Kami selalu menikmati sore bersama sesaat pelajaran usai.

Kami sering bermain dingdong di tempat bermain games dan rental komputer yang berjarak 500 m dari arah sekolah kami. Dia sering membelikanku es Ningnong rasa alpukat dengan 250 rupiahnya. Kami sering berjalan kaki untuk melihat pemandangan kota di taman kota atau sekedar melihat para pedagang burung di alun-alun setelah melaksanakan les tambahan sebelum Ujian Nasional tiba. Lalu membeli gulali berbentuk burung dan ayam. Rasanya sangat manis dan terkadang zat pewarnanya melekat pada bibir kami sehingga warna merah atau hijaunya menjadi bulian kami. 

“Za, kamu senang bermain denganku?” tanyanya suatu sore ditengah alun-alun sambil menjilat es potong seharga 250 rupiah. 

“Iya Riz, mana mungkin aku tak senang bermain denganmu. Aku tak punya alasan tak senang bermain denganmu, kalau aku nggak senang bermain denganmu, aku akan main dengan teman-temanku yang lain” jawabku saat itu. 

“Syukurlah!” bisiknya. 

Riz berjanji tak akan meninggalkanku kecuali 2x45 menit “Tenang aja Za, aku nggak akan meninggalkanmu, kecuali kalau aku bermain sepakbola sama teman-teman, mana mungkin kamu bermain sepakbola, bukan?” 

Apa ia masih mengingatku? Masih mengingat persahabatan kita? Masih mengingat janjinya? Aku tak tahu! Entah dimana keberadaannya kini. Kita terpisahkan jarak dan aku tak pernah tahu letak tepat rumahnya. 

Kami tak pernah bertemu lagi setelah pertemuan terakhir. 

“Za, di kelas baruku sekarang ada perempuan bernama Cinta” ceritanya padaku sesaat aku pulang dari asrama. 

“Benarkah?” tanyaku padanya “nama yang bagus, seperti nama tokoh pada film bioskop” ulasku padanya. 

“Iya benar! Film Ada Apa Dengan Cinta. Tapi wajahnya tak secantik dirimu” terangnya padaku, aku tersipu malu. 

“Za, gelangnya masih kau pakai?” 

“Ini!” aku memperlihatkan pergelangan tangan kiriku. 

“Bagus.. bagus..” senyumnya terulas beberapa detik “Kalau saja kamu tak masuk pesantren, kita bisa bermain lagi seperti dulu, mengelilingi taman kota, dan apa kamu tahu alun-alun sudah semakin indah, Za” jelasnya padaku menceritakan alun-alun yang sering kita nikmati bersama. 

“Aku sudah terlanjur masuk pesantren, Riz. Mudah-mudahan kita bisa bermain bersama lagi dan bisa lebih lama lagi” ujarku padanya. 

Kala itu maghrib menjelang dan hujan pun menghujam perlahan. Dia pergi ke arah terminal dan aku masih terpaku di gerbang rumah. Pertemuan itu tak kusangka menjadi yang terakhir kalinya. 

Aku tersenyum sendiri saat melihat lebih dalam lagi gelang pemberiannya. Ingin rasanya bertemu Riz. Apa wajahnya masih bulat dan bulu matanya masih hitam pekat dan lentik? Ternyata aku merindukannya! 

Kukenakan lagi gelang itu dan membersihkannya dari usang yang menempel. Tak bermaksud agar bertemu lagi dengannya tapi untuk membasuh kerinduan kepadanya. Biarlah dia menghilang atau melupakanku, ternyata Riz pergi bukan 2x45 menit tapi 2x5 tahun. 



*Untuk teman yang sampai kini, aku belum bertemu dengannya, Apa Kabar Aji?


13 February 2013

Riz : Aku Tidak Mencintaimu


Kita duduk dibawah pudarnya awan yang menaungi. Melihat masa lalu yang turut pudar ditelan masa. Aku duduk tegap di atas kursi rotan dan kau duduk memangku kaki kananmu di sebelahku. Tanganku erat memeluk satu sama lain. Bibirku berusaha mengulas senyum setiap kau melihatku. Ada kekikukan setelah genap satu tahun kau meninggalkan. Disaat satu hari kau akan menggenapkan masa kampusmu dan satu minggu sebelum kuciran dari topi toga dipindahkan. Saat itu mataku seperti kue bakpao yang tambun setelah kau mengungkapkan bahwa “setiap orang memiliki hak untuk mencintai, dan aku tidak bisa berbicara banyak tentang hal ini dan sungguh aku ke Bandung adalah untuk belajar dan mencari pengalaman, jika ada perempuan yang mencintaiku seperti kamu, maka bahagianya seseorang yang mencintaimu melebihi aku mencintaimu.

Pesan singkat itu kau berikan satu jam setelah aku mengirimimu sebuah surat sederhana yang sebetulnya telah aku tulis beberapa bulan saat kita, -aku dan kau duduk dan becanda bersama-. Disaat kau menggombaliku dan selalu menjadikanku pelarian terakhir saat kau bersuka atau berduka. Aku menaruh sebuah rasa yang kusebut kagum. Hingga akhirnya aku pun menjadikan kau pelarian terakhir untuk mengeluhkan segala kegelisahan, membagi suka dan duka kepadamu.

Kau mengajakku memetakan sebuah kehidupan, mengelilingi dunia adalah impian bersama. Kau menunjukkan beberapa peta yang hendak kau tapaki. Aku melihatmu menggebu menggapai semua itu dan merangsangku agar aku pun sampai bersamamu.

@@@

“Kemana saja kau selama ini?” lamunanku pecah dengan pertanyaan atau entah pernyataan lelaki yang duduk menikmati langit di sebelahku.

Aku tetap menatap langit dari balkon di lantai 12. Aku menata kembali kacamata yang mulai longgar oleh keringat. Perlahan aku menggerakan bibirku yang beberapa saat terkurung oleh hampanya kerinduan. “Aku disini, tidak kemana-mana”

Posisi kakinya bergeser menjauh beberapa senti dari wedges yang aku kenakan. Lelaki itu berdiri mendekati pembatas balkon dan menatap sesekali ke bawah gedung. Dan tidak melihatku sama sekali.

I was fine, Riz” ucapku dengan senyum yang kuulas. Tiba-tiba aku ingin menatapnya kembali setelah beberapa menit lalu kau menatapku di Lobi gedung ini. Itu pertemuan pertama kita semenjak kita memutuskan untuk pergi, aku pergi dan kau pergi.

“Kamu wanita tegar, saya tahu kamu akan baik-baik saja” wajahnya menatapku sekilas cahaya menyentuh, lelaki itu kembali pada pandangan ke satu sudut yang tak aku ketahui.

“Kau yang mengajarkan aku, Riz” lelaki itu yang mengajarkanku betapa aku harus menjadi wanita tegar dan harus sukses dengan tungkai kaki yang kumiliki, tanpanya.

“Maaf” ujung telingaku mendengar dengan samar.

Aku mendekati pembatas yang sedari tadi ia pegang, aku berdiri tepat disebelahnya. “Cinta itu bukan untuk mengucapkan maaf, Riz. Cinta itu bukan kesalahan bukan juga kebenaran. Cinta itu holliness, kesucian. Itu masa laluku. Masa lalu adalah hal yang sangat jauh dari kehidupan. Masa lalu itu seperti kematian sudah tiada dan hanya bisa dikenang saja. Tidak ada yang bisa mengembalikan masa lalu.”

Helaan napasnya mengumbar dengan kasar. “Entah apa yang telah aku lakukan kepadamu saat itu. Setelah nama kita mempunyai gelar, kau tiba-tiba menghilang, aku mencarimu namun kamu tetap seperti bersembunyi,” lelaki itu mengubah posisi berdirinya sehingga ia menatapku separuh badan. “selama ini kamu kemana?”

Badanku tetap berdiri memandang kota Bandung yang begitu luas, melihat awan yang memudarkan putihnya. “Aku ada dan aku baik-baik saja. Riz, Cinta itu bukan pencarian”

“Saya datang agar saya tidak menyesali kembali perlakuan saya padamu, Aku mencintaimu, Za”

Tangisku di hujung dada. Ada rasa dalam senja yang aku tunggu satu tahun lalu. Aku menunggu kalimat itu muncul dari hatinya. Menunggu hingga aku letih dan lunglai di makan rayap.

“Riz, aku mencintaimu” mataku berusaha menatapnya setelah aku memupuk keberanian. “tapi aku mencintaimu sebelum aku menulis surat itu kepadamu, karena aku tahu yang kucinta mencinta yang lain, yang kurindu merindu yang lain, aku mencintaimu dulu bukan untuk sekarang”

Aku kembali mengulas senyum untuknya. Menghadirkan sebuah ketegaran diantara ruang kami yang telah lama mati tertimbun keraguan. Biarkan masa laluku tersimpan di sebuah ruang. Aku menutup rapat dengan keberanianku. Biarkan lelaki itu menikmati pudarnya cinta. Cintaku hanya pada masa lalu. Masa laluku sudah tiada dan hanya pantas untuk dikenang bukan untuk dinikmati kembali.

“Terimakasih, Riz” Aku meninggalkannya di sebuah ruang, diatas kubikan tanah yang kita pijaki. Matahari tidak memudar, tetap hangat menegarkanku dan menyinarinya.