BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filsafat berasal dari kata Yunani yaitu Philoshopia, yang diambil dari kata Philein yaitu mencintai dan shopia yang berarti kebijaksanaan. Maka Philoshophia berarti cinta akan kebijaksanaan. Dalam bahasa Inggris disebut dengan Love of Wisdom, dalam bahasa Belanda disebut dengan Wijsbegeerte sedangkan dalam bahasa Arab disebut dengan Muhibbu Al-Hikmah. Orang yang berfilsafat disebut dengan filsuf atau filosof, artinya pencinta kebijaksanaan.
Pembentukan kata filsafat kedalam bahasa Indonesia diambil dari kata fil dan safat dari bahasa Arab sehingga terjadilah penggabungan kata antara keduanya dan menimbulkan kata filsafat.
Kata shopia dipindahkan oleh orang Arab kedalam bahasa mereka dengan kata Hikmah. Seperti dalam firman Allah Ta’ala :
Artinya : “Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).
Q.S Al-Baqarah : 269.
Dalam arti sederhana, filsafat adalah hasil kerja berfikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal. Sedangkan Filsafat Islam itu sendiri adalah hasil pemikiran filsuf tentang ketuhanan, kenabian manusia dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis. Dalam perkembangan akhir-akhir ini filsafat Islam itu diperluas kepada aspek-aspek Ilmu yang terdapat dalam khasanah pemikiran keislaman.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan tentang Filsafat Muhammad Iqbal. Muhammad Iqbal merupakan salah satu filsuf yang mempunyai keahlian di bidang politik, hukum dan juga merupakan tokoh yang dominan pada abad ke-20.
Pembentukan kata filsafat kedalam bahasa Indonesia diambil dari kata fil dan safat dari bahasa Arab sehingga terjadilah penggabungan kata antara keduanya dan menimbulkan kata filsafat.
Kata shopia dipindahkan oleh orang Arab kedalam bahasa mereka dengan kata Hikmah. Seperti dalam firman Allah Ta’ala :
Artinya : “Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).
Q.S Al-Baqarah : 269.
Dalam arti sederhana, filsafat adalah hasil kerja berfikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal. Sedangkan Filsafat Islam itu sendiri adalah hasil pemikiran filsuf tentang ketuhanan, kenabian manusia dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis. Dalam perkembangan akhir-akhir ini filsafat Islam itu diperluas kepada aspek-aspek Ilmu yang terdapat dalam khasanah pemikiran keislaman.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan tentang Filsafat Muhammad Iqbal. Muhammad Iqbal merupakan salah satu filsuf yang mempunyai keahlian di bidang politik, hukum dan juga merupakan tokoh yang dominan pada abad ke-20.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Biografi Muhammad Iqbal?
2. Karya apa saja yang dikeluarkan oleh Muhammad Iqbal?
3. Bagaimana Filsafat Muhammad Iqbal tentang Ego/Khudi, Ketuhanan, Materi dan Kausalitas, Moral dan Insan Kamil?
1. Bagaimana Biografi Muhammad Iqbal?
2. Karya apa saja yang dikeluarkan oleh Muhammad Iqbal?
3. Bagaimana Filsafat Muhammad Iqbal tentang Ego/Khudi, Ketuhanan, Materi dan Kausalitas, Moral dan Insan Kamil?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menjelaskan biografi Muhammad Iqbal,
2. Untuk menjelaskan karya-karya Muhammad Iqbal,
3. Untuk mejelaskan filsafat Muhammad Iqbal tentang Ego/Khudi, Ketuhanan, Materi dan Kausalitas, Moral dan Insan Kamil.
1. Untuk menjelaskan biografi Muhammad Iqbal,
2. Untuk menjelaskan karya-karya Muhammad Iqbal,
3. Untuk mejelaskan filsafat Muhammad Iqbal tentang Ego/Khudi, Ketuhanan, Materi dan Kausalitas, Moral dan Insan Kamil.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Biografi Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal merupakan seorang filsuf yang ahli di bidang hukum, politik, penyair dan seorang reformis muslim yang dominan dikalangan umat Islam abad ke-20. Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tanggal 22 Februari 1873 atau pada bulan Dzulhijjah 1289 H. Ayahandanya bernama Syaikh Nur Muhammad, beliau memiliki kedekatan dengan kalangan Sufi. Karena kesalehan dan kecerdasannya, penjahit yang cukup berhasil ini dikenal memiliki perasaan mistis yang dalam serta rasa keingintahuan ilmiah yang tinggi. Tak heran, jika Nur Muhammad dijuluki kawan-kawannya dengan sebutan "Sang Filosof tanpa guru".
Ibunda Iqbal juga dikenal sangat relegius. Ia membekali kelima anaknya, tiga putri dan dua putra, dengan pendidikan dasar dan disiplin keislaman yang kuat. Di bawah bimbingan kedua orangtuanya yang taat inilah Iqbal tumbuh dan dibesarkan. Kelak di kemudian hari, Iqbal sering berkata bahwa pandangan dunianya tidaklah dibangun melalui spekulasi filosofis, tetapi diwarisi dari kedua orangtuanya tersebut.
Pendidikan Muhammad Iqbal dimulai sejak kanak-kanak, beliau belajar kepada ayahnya yang dikenal pula sebagai seorang ulama. Kemudian Iqbal mengikuti pelajaran al-Quran dan pendidikan Islam lainnya secara klasik di sebuah surau. Selanjutnya Iqbal dimasukan ayahnya ke Scotch Mission College di Sialkot agar ia mendapatkan bimbingan dari Maulawi Mir Hasan (teman ayahnya yang ahli bahasa Persia dan Arab).
Pada tahun 1985 ia pergi Lahore, salah satu kota di India yang menjadi pusat kebudayaan, pengetahuan dan seni. Di kota inilah Iqbal bergabung dengan para sastrawan yang sering diundang Mu’syawarah, yaitu sebuah pertemuan dimana para penyair membacakan sajak-sajaknya. Hal ini merupakan tradisi yang masih berkembang di Pakistan dan India.
Di kota Lahore Iqbal melanjutkan pendidikan sarjananya dan mengajar filsafat di Goverment College. Pada tahun 1897 Iqbal memperoleh gelar B.A., kemudian ia mengambil program M.A dalam bidang filsafat. Pada saat itulah ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold (orientalis Inggris yang terkenal) yang mengajarkan filsafat di College tersebut.
Dengan dukungan Arnold, Iqbal terkenal sebagai salah satu pengajar yang berbakat dan penyair Lahore sehingga sajak-sajaknya banyak diminati. Pada tahun 1905, ia studi di Cambridge pada R. A Nicholshon yaitu seorang spesialis dalam sufisme dan seorang Neo-Hegelian, yaitu John M.E McTaggart. Iqbal kemudian belajar di Heidelberg dan Munich. Di Munich, ia menyelesaikan doktornya pada tahun 1908 dengan disertasi yang berjudul The Development of Metaphysic in Persia. Disertasi ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di London, lalu Iqbal menghadiahkan buku tersebut kepada gurunya yaitu Sir Thomas Arnold.
Setelah mendapatkan gelar doktor, ia kemudian kembali ke London untuk belajar keadvokatan sambil mengajar bahasa dan kesustraan Arab di Universitas London. Tidak jemu-jemunya Muhammad Iqbal mengadakan perbincangan tentang persoalan keilmuan dan filsafat. Disamping itu, Iqbal memberikan ceramah di berbagai kesempatan tentang Islam, dan kajiannya tersebut di terbitkan dalam surat kabar.
Pada tahun 1908, Iqbal kembali ke Lahore dan mengajar di Goverment College dalam mata kuliah filsafat dan sastra Inggris. Untuk beberapa tahun, ia menjabat sebagai Dekan Fakultas Kajian-Kajian Ketimuran dan ketua juurusan Kajian-kajian Filosofis. Selain itu, Iqbal pun menjadi anggota dalam komisi-komisi yang meneliti masalah perbaikan pendidikan di India. Akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama, Iqbal beralih profesi dalam bidang Hukum. Profesi ini berlangsung sampai ia sering sakit yaitu pada tahun 1934, empat tahun sebelum ia meninggal
Dalam bidang politik, Iqbal juga mengambil bagian, bahkan menjadi tulang punggung partai Liga Muslim India. Pada tahun 1926 ia terpilih menjadi anggota Majelis Legislatif di Punjab, sementara itu, kegiatannya di Liga Muslim India tidak berhenti. Pada tahun 1930 ia menjadi presiden Liga Muslim India. Ketika konferensi tahunan Liga Muslim India di Allahabad tanggal 29 Desember 1930, Iqbal adalah orang yang pertama kali menyerukan dibaginya India, sehingga kaum Muslim mempunyai negara otonom., hal itu tidak bertentangan dengan kaum muslim dan pan-islam. Dengan pemikiran tersebut, Iqbal dikenal dengan Bapak Pakistan.
Pada tahun 1931 dan 1932, Iqbal mengikuti konferensi Meja Bundar di London, pada konferensi tersebut membahas tentang konstitusi baru bagi India. Pada tahun berikutnya ia mengikuti konferensi Meja Bundar ke-3 yang pada saat itu ketika ia kembali, ia lewat spanyol untuk menyaksikan peninggalan-peninggalan umat Islam di tempat tersebut. Kunjungannya memberikan inspirasi dan ia mengubah sajak-sajaknya dan salah satu sajaknya yang terkenal adalah di mesjid Kordova.
Pada tahun 1922 seorang wartawan Inggris mengusulkan kepada pemerintahannya untuk memberikan gelar Sir kepada Iqbal. Iqbal pun mendapat undangan penguasa Inggris untuk pertama kalinya, meski pada mulanya Iqbal menolak undangan tersebut.
Saat Pakistan masih memerlukan karya-karayanya, pada tahun 1935 isterinya meninggal dunia. Musibah ini membekas sangat mendalam dan membawa kesedihan berlarut-larut kepada Iqbal. Akhirnya berbagai penyakit menimpa kepada Iqbal sehingga kondisi fisiknya semakin melamah. Akan tetapi semangatnya dalam menuliskan pemikiran-pemikirannya tidak pernah turun. Pada tahun 1938 sakitnya bertambah parah, ia merasa ajalnya sangat dekat, namun Iqbal menyempatkan diri berpesan kepada sahabat-sahabatnya. “Katakanlah kepadamu tanda seorang Mu’min, jika maut datang akan merekah senyum di bibir”
Ketika fajar 21 april 1938, dalam usia 60 tahun menurut kalender masehi atau 63 tahun dalam kalender hijriah, Iqbal berpulang ke rahmatullah.
Ibunda Iqbal juga dikenal sangat relegius. Ia membekali kelima anaknya, tiga putri dan dua putra, dengan pendidikan dasar dan disiplin keislaman yang kuat. Di bawah bimbingan kedua orangtuanya yang taat inilah Iqbal tumbuh dan dibesarkan. Kelak di kemudian hari, Iqbal sering berkata bahwa pandangan dunianya tidaklah dibangun melalui spekulasi filosofis, tetapi diwarisi dari kedua orangtuanya tersebut.
Pendidikan Muhammad Iqbal dimulai sejak kanak-kanak, beliau belajar kepada ayahnya yang dikenal pula sebagai seorang ulama. Kemudian Iqbal mengikuti pelajaran al-Quran dan pendidikan Islam lainnya secara klasik di sebuah surau. Selanjutnya Iqbal dimasukan ayahnya ke Scotch Mission College di Sialkot agar ia mendapatkan bimbingan dari Maulawi Mir Hasan (teman ayahnya yang ahli bahasa Persia dan Arab).
Pada tahun 1985 ia pergi Lahore, salah satu kota di India yang menjadi pusat kebudayaan, pengetahuan dan seni. Di kota inilah Iqbal bergabung dengan para sastrawan yang sering diundang Mu’syawarah, yaitu sebuah pertemuan dimana para penyair membacakan sajak-sajaknya. Hal ini merupakan tradisi yang masih berkembang di Pakistan dan India.
Di kota Lahore Iqbal melanjutkan pendidikan sarjananya dan mengajar filsafat di Goverment College. Pada tahun 1897 Iqbal memperoleh gelar B.A., kemudian ia mengambil program M.A dalam bidang filsafat. Pada saat itulah ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold (orientalis Inggris yang terkenal) yang mengajarkan filsafat di College tersebut.
Dengan dukungan Arnold, Iqbal terkenal sebagai salah satu pengajar yang berbakat dan penyair Lahore sehingga sajak-sajaknya banyak diminati. Pada tahun 1905, ia studi di Cambridge pada R. A Nicholshon yaitu seorang spesialis dalam sufisme dan seorang Neo-Hegelian, yaitu John M.E McTaggart. Iqbal kemudian belajar di Heidelberg dan Munich. Di Munich, ia menyelesaikan doktornya pada tahun 1908 dengan disertasi yang berjudul The Development of Metaphysic in Persia. Disertasi ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di London, lalu Iqbal menghadiahkan buku tersebut kepada gurunya yaitu Sir Thomas Arnold.
Setelah mendapatkan gelar doktor, ia kemudian kembali ke London untuk belajar keadvokatan sambil mengajar bahasa dan kesustraan Arab di Universitas London. Tidak jemu-jemunya Muhammad Iqbal mengadakan perbincangan tentang persoalan keilmuan dan filsafat. Disamping itu, Iqbal memberikan ceramah di berbagai kesempatan tentang Islam, dan kajiannya tersebut di terbitkan dalam surat kabar.
Pada tahun 1908, Iqbal kembali ke Lahore dan mengajar di Goverment College dalam mata kuliah filsafat dan sastra Inggris. Untuk beberapa tahun, ia menjabat sebagai Dekan Fakultas Kajian-Kajian Ketimuran dan ketua juurusan Kajian-kajian Filosofis. Selain itu, Iqbal pun menjadi anggota dalam komisi-komisi yang meneliti masalah perbaikan pendidikan di India. Akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama, Iqbal beralih profesi dalam bidang Hukum. Profesi ini berlangsung sampai ia sering sakit yaitu pada tahun 1934, empat tahun sebelum ia meninggal
Dalam bidang politik, Iqbal juga mengambil bagian, bahkan menjadi tulang punggung partai Liga Muslim India. Pada tahun 1926 ia terpilih menjadi anggota Majelis Legislatif di Punjab, sementara itu, kegiatannya di Liga Muslim India tidak berhenti. Pada tahun 1930 ia menjadi presiden Liga Muslim India. Ketika konferensi tahunan Liga Muslim India di Allahabad tanggal 29 Desember 1930, Iqbal adalah orang yang pertama kali menyerukan dibaginya India, sehingga kaum Muslim mempunyai negara otonom., hal itu tidak bertentangan dengan kaum muslim dan pan-islam. Dengan pemikiran tersebut, Iqbal dikenal dengan Bapak Pakistan.
Pada tahun 1931 dan 1932, Iqbal mengikuti konferensi Meja Bundar di London, pada konferensi tersebut membahas tentang konstitusi baru bagi India. Pada tahun berikutnya ia mengikuti konferensi Meja Bundar ke-3 yang pada saat itu ketika ia kembali, ia lewat spanyol untuk menyaksikan peninggalan-peninggalan umat Islam di tempat tersebut. Kunjungannya memberikan inspirasi dan ia mengubah sajak-sajaknya dan salah satu sajaknya yang terkenal adalah di mesjid Kordova.
Pada tahun 1922 seorang wartawan Inggris mengusulkan kepada pemerintahannya untuk memberikan gelar Sir kepada Iqbal. Iqbal pun mendapat undangan penguasa Inggris untuk pertama kalinya, meski pada mulanya Iqbal menolak undangan tersebut.
Saat Pakistan masih memerlukan karya-karayanya, pada tahun 1935 isterinya meninggal dunia. Musibah ini membekas sangat mendalam dan membawa kesedihan berlarut-larut kepada Iqbal. Akhirnya berbagai penyakit menimpa kepada Iqbal sehingga kondisi fisiknya semakin melamah. Akan tetapi semangatnya dalam menuliskan pemikiran-pemikirannya tidak pernah turun. Pada tahun 1938 sakitnya bertambah parah, ia merasa ajalnya sangat dekat, namun Iqbal menyempatkan diri berpesan kepada sahabat-sahabatnya. “Katakanlah kepadamu tanda seorang Mu’min, jika maut datang akan merekah senyum di bibir”
Ketika fajar 21 april 1938, dalam usia 60 tahun menurut kalender masehi atau 63 tahun dalam kalender hijriah, Iqbal berpulang ke rahmatullah.
B. Karya-karya Muhammad Iqbal
Diperkirakan Muhammad Iqbal meninggalkan karya tidak kurang dari 21 karya monumental, yaitu :
1. ‘Ilm Al-Iqtishad, (1903)
2. Development of Methapyisic in Persia : A Contribution to The History of Muslim philoshopy, (1908)
3. Islam as a Moral and Political Ideal, (1909)
4. Asrar-i Khudi [Rahasia Pribadi], (1915)
5. Rumuz-i Bekhudi [Rahasia Peniadaan Diri], (1918)
6. Payam-i Masyriq [Pesan dari Timur], (1923)
7. Bang-i Dara [seruan dari Pejalanan], (1924)
8. Self in The Light of relativity Speeches and Statements of Iqbal, (1925)
9. Zahoor-i ‘Ajam [Kidung Persia], (1927)
10. Khusal Khan Khatak, (1928)
11. A Plea for Deeper study of Muslim Scientific, (1929)
12. Presendential Addres to the All India Muslim Leaque, (1930)
13. Javid Nama (Kitab Keabadian), (1932)
14. McTaggart Phiiloshopy, (1932)
15. The Reconstruction of Religious Thought in Islam [Pembangunan Kembali Pemikiran Keagamaan dalam Islam], (1934)
16. Letters of Iqbal To Jinnah, (1934)
17. Bal-i Jibril [Sayap Jibril], (1935)
18. Pas Chich Bayad Kard Aqwam-i Sharq, (1936)
19. Matsnawi Musafir, (1936)
20. Zarb-i Kalim [Tongkat/Pukulan Nabi Musa], (1936)
21. Armughan-i Hejaz [Hadiah dari Hejaz], (1938)
C. Filsafat Muhammad Iqbal
Iqbal adalah filosof Muslim yang banyak dipengaruhi oleh banyak filosof Barat seperti Thomas Aquinas, Bergson, Nietzsche, Hegel dan masih banyak lagi yang lainnya. Diantara sekian banyak filosof, menurut Donny Gahral, Nietzsche dan Bergsonlah yang paling banyak mempengaruhi Iqbal, oleh karena itu pemikiran kedua filosof ini akan dipaparkan sebagai berikut:
Nietzsche dan Bergson sangat mempengaruhi Iqbal khususnya konsepnya tentang hidup sebagai kehendak kreatif yang terus bergerak menuju realisasi. Manusia sebagai kehendak kreatif tidak bisa dibelenggu oleh hukum mekanis maupun takdir sebagai rencana Tuhan terhadap manusia yang ditetapkan sebelum penciptaan. Namun semangat relegius Iqbal menyelamatkannya dari sikap atheisme yang dianut Nitzsche sebagai konsekuensi kebebasan kreatif manusia. Iqbal masih mempertahankan Tuhan dan mengemukakan argumentasi yang bisa mendamaikan kemahakuasaan Tuhan dengan kebebasan manusia.
Iqbal juga menolak konsep Nitzsche maupun Bergson tentang kehendak sebagai sesuatu yang buta, khaotis, tanpa tujuan. Iqbal mengatakan bagaimanapun orang sadar bahwa dalam kehendaknya ia memiliki tujuan karena kalau tidak buat apa ia berkehendak, namun Iqbal menolak tujuan sebagai tujuan yang bukan ditetapkan oleh manusia sendiri melainkan oleh takdir atau hukum evolusionistik.
1. Ego atau Khudi
Konsep tentang hakikat ego atau individualitas merupakan konsep dasar dari filsafat Iqbal, dan menjadi alas penopang keseluruhan struktur pemikirannya. Masalah ini dibahas dalam karyanya yang ditulis dalam bahasa Persia dengan bentuk matsnawi berjudul Asrar-i Khudi; kemudian dikembangkan dalam berbagai puisi dan dalam kumpulan ceramah yang kemudian dibukukan dengan judul The Reconstruction of Relegious Thought in Islam.
Menurut Iqbal, arti harfiah khudi adalah ego atau self atau individualitas, merupakan suatu kesatuan yang riil atau nyata yang menjadi pusat dan landasan dari semua kehidupan, dan merupakan suatu iradah kreatif yang terarah secara rasional. Arti terarah secara rasional, menjelaskan bahwa hidup bukanlah suatu arus tak terbentuk, melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur, suatu kegiatan sintesis yang melingkupi serta memusatkan kecenderungan-kecenderungan yang bercerai-berai dari organisme yang hidup ke arah suatu tujuan konstruktif. Iqbal menerangkan bahwa khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan kehidupan. Hal ini tercantum pada beberapa matsnawinya dalam Asrar-i Khudi.
Ego bagi Iqbal adalah kausalitas pribadi yang bebas. Ia mengambil bagian dalam kehidupan dan kebebasan Ego mutlak. Sementara itu, aliran kausalitas dari alam mengalir ke dalam ego dan dari ego ke alam. Karena itu, ego dihidupkan oleh ketegangan interaktif dengan lingkungan. Dalam keadaan inilah Ego Mutlak membiarkan munculnya ego relatif yang sanggup berprakarsa sendiri dan membatasi kebebasan ini atas kemauan bebasnya sendiri. Menurut Iqbal, nasib sesuatu tidak ditentukan oleh sesuatu yang bekerja di luar. Takdir adalah pencapaian batin oleh sesuatu, yaitu kemungkinan-kemungkinan yang dapat direalisasikan yang terletak pada kedalaman sifatnya. Iqbal menyatakan bahwa ego harus berjuang mempertahankan individualitas dan memperkuatnya.
Untuk memperkuat ego dibutuhkan cinta (intuisi) dan ketertarikan, sedangkan yang memperlemahnya adalah ketergantungan pada yang lain. Untuk mencapai kesempurnaan ego, maka setiap individu mesti menjalani tiga tahap.
Pertama, setiap individu harus belajar mematuhi dan secara sabar tunduk kepada kodrat makhluk dan hukum-hukum Ilahiah. Kedua, belajar berdisiplin dan diberi wewenang untuk mengendalikan dirinya melalui rasa takut dan cinta kepada Tuhan seraya tidak bergantung pada dunia. Ketiga, menyelesaikan perkembangan dirinya dan mencapai kesempurnaan spiritual (Insan Kamil). Dalam Filsafat Islam (Nasution, 2002 : 187), mengemukakan bahwa :
“Tujuan ego bukanlah membenaskan diri dari batas-batas individualitas, melainkan memberi batasan tentang dirinya yang tegas. Tujuan terakhir ego, bukanlah melihat sesuatu, tetapi menjadi sesuatu.”
Pencarian ego adalah pencarian untuk mendapatkan definisi yang lebih tepat mengenai dirinya. Tindakannya bukan sekedar tindakan intelektual, tetapi suatu tindakan vital yang memperdalam seluruh wujud ego serta mempertajam kemauannya dengan keyakinan kreatif. Yang memberi pengertian, bahwa dirinya bukanlah dikenal dengan konsep-konsep yang ada, tetapi dibangun kembali dengan kerja yang tidak ada putus-putusnya.
Iqbal membandingkan watak ego dengan watak alam. Menurutnya alam bukanlah seoonggok kematerialan murni yang mengisi sebuah rongga, akan tetapi ia merupakan suatu struktur peristiwa-peristiwa, suatu cara tata laku yang sistematis, sama organisnya dengan ego yang hakiki. Alam bagi ego Ilahiat sama dengan watak bagi ego manusia. Dengan bahasa Al-qur’an : “alam adalah manusia, merupakan suatu penafsiran bahwa alam adalah kegiatan kreatif dari Ego Yang Mutlak. Pada suatu saat tertentu gerakannya ke muka bersifat terbatas, tetapi karena ego memiliki gerakan yang bershifat organis, maka bersifat kreatif.
2. Ketuhanan
Tuhan sebagai objek kajian metafisika memiliki kekhususan dibanding kedua objek metafisika lainnya. Apabila manifestasi lahiriah dari semesta maupun jiwa dapat ditangkap indra, maka hal yang sama tidak berlaku bagi realitas ketuhanan. Tuhan adalah suatu yang mutlak tidak ditangkap indra.
Metafisika yang mengkaji tentang Tuhan disebut filsafat ketuhanan (teologi naturalis) untuk membedakannya dari teologi adikodrati atau teologi wahyu. Apabila filsafat ketuhanan mengambil Tuhan sebagai titik akhir atau kesimpulan seluruh pengkajiannya, maka teologi wahyu sebagai titik awal pembahasannya.
Filsafat ketuhanan berurusan dengan pembuktian kebenaran adanya Tuhan yang didasarkan pada penalaran manusia. Filsafat ketuhanan tidak mempersoalkan eksistensi Tuhan, disiplin tersebut hanya ingin menggarisbawahi bahwa apabila tidak ada penyebab pertama yang tidak disebabkan maka kedudukan benda-benda yang relatif-kontigen tidak dapat dipahami akal.
Paling tidak, terdapat tiga argumen besar dalam filsafat ketuhanan: argumen kosmologis, argumen teologis, dan argumen ontologis. Argumen kosmologis mengemukakan bahwa Tuhan harus ada, karena kalau tidak maka akan ada rangkaian kausalitas yang tak terhingga untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa. Argumen teologis mengemukakan bahwa dari struktur finalitas realitas dapat ditariik kesimpulan adanya Sang Pencipta yang menetapkan struktur tersebut. Sedangkan argumen ontologis mengemukakan bahwa Tuhan ada karena kita memikirkannya dan memprediksikan eksistensi terhadap Dirinya.
Iqbal secara tegas menolak argumen-argumen para filosof skolastik tersebut. Baginya argumen-argumen ini telah menemui kegagalan. Di samping tampak sebagai suatu interpretasi pengalaman yang dibuat-dibuat, menurutnya argumen-argumen itu mengundang pula kesesatan logis. Iqbal mengungkapkan bahwa di antara penyebab kegagalan argumen-argumen ini adalah karena dipaksakannya dualisme epistemologis, yaitu pemisahan antara pikiran dan wujud (being). Padahal dalam argumen-argumen itu sendiri sesungguhnya telah tersirat bahwa pikiran dan wujud pada akhirnya merupakan satu kesatuan.
Iqbal sepakat dengan Kant bahwa rasio manusia memiliki keterbatasan dalam mengetahui hakikat Tuhan. Namun keterbatasan rasio tidak menjadikan Iqbal seorang skeptis seperti Kant, ia tetap meyakini bahwa manusia mampu memperoleh pengetahuan tentang Tuhan secara langsung melalui proses intuisi dalam pengalaman relegius. Dalam hal ini konsep intuisi Iqbal berbeda dengan konsep intuisi kaum mistikus. Apabila kaum mistikus menekankan kontak langsung dengan Tuhan lewat proses intuisi, Iqbal menolaknya dengan mengatakan bahwa apa yang pertama-tama tersingkap secara kuat lewat intuisi adalah keberadaan ego atau diri yang kreatif dan bebas.
Filsafat ketuhanan Iqbal berbeda dengan filsafat ketuhanan kontemplatif karena Iqbal berangkat dari filsafat manusia yang menekankan pengetahuan langsung tentang keberadaan ego atau diri yang bebas-kreatif. Metafisika gerak Iqbal mengemukakan bahwa manusia bukanlah benda statis tetapi suatu aktivitas gerak dinamis-kreatif yang terus merindu akan kesempurnaan. Hidup keberagamaan sendiri menurut Iqbal adalah suatu proses evolusi yang dapat dibagi menjadi tiga tahap, iman, pemikiran dan penemuan.
Pada tahap pertama yaitu tahap iman kita menerima apa yang difirmankan Tuhan tanpa keraguan sedikitpun. Pendeknya segala sesuatu yang berasal dari Tuhan adalah mutlak benar karena berasal dari Tuhan dan bukan konstruksi manusia. Pada tahap kedua yaitu tahap pemikiran. Kita tidak sekadar menatati secara buta firman Tuhan melainkan mulai memikirkan maksud dari firman tersebut atau singkatnya kita mencoba memahami secara rasional apa yang kita percayai. Dan pada tahap ketiga yaitu tahap penemuan kita mencapai kontak langsung dengan realitas ultim yang merupakan sumber semua hukum dan kenyataan.
Menurut Iqbal agama bukan sekadar sekumpulan ajaran untuk menekan aktivitas nafsu instingtif manusia (agama sebagai instrumen moral) seperti diklaim para psikoanalisis (Freud, Jung). Bagi Iqbal, agama lebih dari sekadar etika yang berfungsi membuat orang terkendali secara moral. Fungsi sesungguhnya adalah mendorong proses evolusi ego manusia di mana etika dan pengendalian diri menurut Iqbal hanyalah tahap awal dari keseluruhan perkembangan ego manusia yang selalu mendampakan kesempurnaan. Dengan kata lain, agama justru mengintegrasikan kembali kekuatan-kekuatan pribadi seseorang.
Nasution (2002 : 191) mengatakan “Tuhan adalah “Hakikat sebagai suatu keseluruhan”, dan hakikat sebagai suatu keseluruhan pada dasarnya bersifat spritual, dalam arti suatu individu dan suatu ego. Tegasnya, Ia adalah Ego Mutlak, karena Dia meliputi segalanya, tidak ada sesuatupun di luar Dia.”
Ego Mutlak merupakan Ego tertinggi, untuk menekankannya Iqbal membatasi Ego Mutlak dalam Q.S Al-ikhlas ayat 1-5. Selain itu, Iqbal mengambil batasan dari Al-Qur’an tentang identifikasi Tuhan tertera dalam Q.S An-Nur ayat 35.
Adapun mengenai tanda-tanda Tuham Iqbal mengajukan waktu sebagai tanda-tanda Tuhan yang teramat penting. Dalam al-Qur’an dijelaskan dalam Q.S An-nahl ayat 12 yang artinya adalah :
dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (Nya).
Jadi, menurut Al-Quran, pengertian siang dan malam adalah satu dari tanda-tanda penting Tuhan, demikian pula Nabi pernah mengidentifikasikan Tuhan dengan Dahr (waktu) : “ Janganlah memaki waktu (la tasubbu al-dahr), karena waktu adalah Tuhan. Tak terhingganya waktu sehingga manusia berkewajiban merenungkan tanda-tanda Tuhan itu. Hal ini menyebabkan masalah waktu senantiasa menarik perhatian ahli-ahli pikir serta juga kaum sufi Islam.
Atribut Illahiat lainnya yang dikemukakan Iqbal adalah ‘Pengetahuan dan Kemahakuasaan Tuhan.” Menurut pandangan Iqbal, alam semesta bukanlah suatu yang lain. Sebab dari pandangan ego yang mencakup segala yang ada itu ‘yang lain’
Sifat-sifat Tuhan, selain hal yang diatas, kata Iqbal adalah ‘Tuhan sebagai menggenggam segala kebaikan di tangan-Nya.’, sebagian disebutkan di dalam Al-quran. Maka, menggabungkan anatra kebaikan dan kemahakuasaannya Tuhan adalah keyakinan bahwa tata laku manusia mempunyai kemungkinan untuk menjadi lebih baik.
Dari uraian di atas, tampak bahwa Super-Ego yang dipahami Iqbal bukanlah transenden seperti Tuhan dipahami oleh kaum Theis madzhab klasik, dan bukan pula imanen dalam arti yang dipahami oleh kaum patheis tradisional. Ia merupakan kenyataan personal dan bukan suatu daya yang bersifat impersonal.
3. Materi dan Kausalitas
Menurut Iqbal, kodrat realitas yang sesungguhnya adalah rohaniah dari semua yang sekuler sebenarnya adalah suci dalam akar-akar perwujudannya. Iqbal dalam hal ini mensitir hadits nabi “Seluruh bumi ini adalah mesjid”. Adapun materi adalah ego-ego berderajat rendah dan dari sana muncul ego yang berderajat lebih tinggi, apabila penggabungan dan interaksi mereka mencapai suatu derajat koordinasi tertentu. Ia mengatakan bahwa fakta yang berderajat lebih tinggi muncul dari yang lebih rendah yang tidak mengurangi nilai dan kehormatannya. Bagi Iqbal yang menjadi masalah bukanlah asal akan tetapi kesanggupan, arti dan pencapaian terakhir dari pemunculannya itu.
Iqbal menunjuk kepada evolusi kehidupan, bahwa pada mulanya yang mental dikuasai oleh yang fisik, tetapi sementara kekuasaannya tumbuh, ia cenderung untuk menguasai yang fisik dan pada akhirnya mungkin sampai pada suatu posisi dimana ia mencapai kebebasan sepenuhnya.
Iqbal selalu menekankan bahwa kehidupan manusia merupakan ego yang selalu berproses, yang berarti juga ada perkembangan ego, yang berjuang untuk meningkatkan dirinya ke arah individualitas yang lebih kompleks dan lebih sempurna. Dalam puisinya, Iqbal mengakatakan bahwa “Setiap atom merupakan tunas kebesaran. Hidup tanpa gejolak meramalkan kematian”. Dengan demikian, menurut Iqbal alam semesta bukanlah merupakan produk yang sudah selesai, tidak berubah diciptakan sekali untuk seterusnya. Akan tetapi, alam semesta merupakan kenyataan dalam gerak maju. Jauh dari wujud yang tak berdaya dan statis, materi selalu mengalir dan berubah. Alam semesta bukanlah benda, melainkan perbuatan aliran dari khaos ke kosmos, munculnya kehidupan dan kesadaran yang merupakan hasil suatu proses evolusi. Proses ini tidak pernah mempunyai batas, sebab tidak ada akhir untuk maju.
Mengenai fungsi ego yang memberi arah, Iqbal mengambil dasar al-quran surat Al-isra ayat 85 yang artinya : “dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila Dia ditimpa kesusahan niscaya Dia berputus asa.”
4. Moral
Filsafat Iqbal merupakan filsafat yang meletakan kepercayaannya kepada manusia yang dilihatnya mempunyai kemungkinan yang tak terbatas, mempunyai kemampuan untuk mengubah dunia dan dirinya sendiri, serta mempunyai kemampuan untuk ikut memperindah dunia. Hal itu dimungkinkan karena manusia merupakan wujud penampakan diri dari Aku Yang Akbar, hal ini merupakan keunikan manusia sebagaimana dijelaskan Al-Quran :
Artinya : Kemudian Tuhannya memilihnya* Maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk. (Q.S Thaha : 122)
*Maksudnya: Allah memilih Nabi Adam a.s. untuk menjadi orang yang dekat kepada-Nya.
1. ‘Ilm Al-Iqtishad, (1903)
2. Development of Methapyisic in Persia : A Contribution to The History of Muslim philoshopy, (1908)
3. Islam as a Moral and Political Ideal, (1909)
4. Asrar-i Khudi [Rahasia Pribadi], (1915)
5. Rumuz-i Bekhudi [Rahasia Peniadaan Diri], (1918)
6. Payam-i Masyriq [Pesan dari Timur], (1923)
7. Bang-i Dara [seruan dari Pejalanan], (1924)
8. Self in The Light of relativity Speeches and Statements of Iqbal, (1925)
9. Zahoor-i ‘Ajam [Kidung Persia], (1927)
10. Khusal Khan Khatak, (1928)
11. A Plea for Deeper study of Muslim Scientific, (1929)
12. Presendential Addres to the All India Muslim Leaque, (1930)
13. Javid Nama (Kitab Keabadian), (1932)
14. McTaggart Phiiloshopy, (1932)
15. The Reconstruction of Religious Thought in Islam [Pembangunan Kembali Pemikiran Keagamaan dalam Islam], (1934)
16. Letters of Iqbal To Jinnah, (1934)
17. Bal-i Jibril [Sayap Jibril], (1935)
18. Pas Chich Bayad Kard Aqwam-i Sharq, (1936)
19. Matsnawi Musafir, (1936)
20. Zarb-i Kalim [Tongkat/Pukulan Nabi Musa], (1936)
21. Armughan-i Hejaz [Hadiah dari Hejaz], (1938)
C. Filsafat Muhammad Iqbal
Iqbal adalah filosof Muslim yang banyak dipengaruhi oleh banyak filosof Barat seperti Thomas Aquinas, Bergson, Nietzsche, Hegel dan masih banyak lagi yang lainnya. Diantara sekian banyak filosof, menurut Donny Gahral, Nietzsche dan Bergsonlah yang paling banyak mempengaruhi Iqbal, oleh karena itu pemikiran kedua filosof ini akan dipaparkan sebagai berikut:
Nietzsche dan Bergson sangat mempengaruhi Iqbal khususnya konsepnya tentang hidup sebagai kehendak kreatif yang terus bergerak menuju realisasi. Manusia sebagai kehendak kreatif tidak bisa dibelenggu oleh hukum mekanis maupun takdir sebagai rencana Tuhan terhadap manusia yang ditetapkan sebelum penciptaan. Namun semangat relegius Iqbal menyelamatkannya dari sikap atheisme yang dianut Nitzsche sebagai konsekuensi kebebasan kreatif manusia. Iqbal masih mempertahankan Tuhan dan mengemukakan argumentasi yang bisa mendamaikan kemahakuasaan Tuhan dengan kebebasan manusia.
Iqbal juga menolak konsep Nitzsche maupun Bergson tentang kehendak sebagai sesuatu yang buta, khaotis, tanpa tujuan. Iqbal mengatakan bagaimanapun orang sadar bahwa dalam kehendaknya ia memiliki tujuan karena kalau tidak buat apa ia berkehendak, namun Iqbal menolak tujuan sebagai tujuan yang bukan ditetapkan oleh manusia sendiri melainkan oleh takdir atau hukum evolusionistik.
1. Ego atau Khudi
Konsep tentang hakikat ego atau individualitas merupakan konsep dasar dari filsafat Iqbal, dan menjadi alas penopang keseluruhan struktur pemikirannya. Masalah ini dibahas dalam karyanya yang ditulis dalam bahasa Persia dengan bentuk matsnawi berjudul Asrar-i Khudi; kemudian dikembangkan dalam berbagai puisi dan dalam kumpulan ceramah yang kemudian dibukukan dengan judul The Reconstruction of Relegious Thought in Islam.
Menurut Iqbal, arti harfiah khudi adalah ego atau self atau individualitas, merupakan suatu kesatuan yang riil atau nyata yang menjadi pusat dan landasan dari semua kehidupan, dan merupakan suatu iradah kreatif yang terarah secara rasional. Arti terarah secara rasional, menjelaskan bahwa hidup bukanlah suatu arus tak terbentuk, melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur, suatu kegiatan sintesis yang melingkupi serta memusatkan kecenderungan-kecenderungan yang bercerai-berai dari organisme yang hidup ke arah suatu tujuan konstruktif. Iqbal menerangkan bahwa khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan kehidupan. Hal ini tercantum pada beberapa matsnawinya dalam Asrar-i Khudi.
Ego bagi Iqbal adalah kausalitas pribadi yang bebas. Ia mengambil bagian dalam kehidupan dan kebebasan Ego mutlak. Sementara itu, aliran kausalitas dari alam mengalir ke dalam ego dan dari ego ke alam. Karena itu, ego dihidupkan oleh ketegangan interaktif dengan lingkungan. Dalam keadaan inilah Ego Mutlak membiarkan munculnya ego relatif yang sanggup berprakarsa sendiri dan membatasi kebebasan ini atas kemauan bebasnya sendiri. Menurut Iqbal, nasib sesuatu tidak ditentukan oleh sesuatu yang bekerja di luar. Takdir adalah pencapaian batin oleh sesuatu, yaitu kemungkinan-kemungkinan yang dapat direalisasikan yang terletak pada kedalaman sifatnya. Iqbal menyatakan bahwa ego harus berjuang mempertahankan individualitas dan memperkuatnya.
Untuk memperkuat ego dibutuhkan cinta (intuisi) dan ketertarikan, sedangkan yang memperlemahnya adalah ketergantungan pada yang lain. Untuk mencapai kesempurnaan ego, maka setiap individu mesti menjalani tiga tahap.
Pertama, setiap individu harus belajar mematuhi dan secara sabar tunduk kepada kodrat makhluk dan hukum-hukum Ilahiah. Kedua, belajar berdisiplin dan diberi wewenang untuk mengendalikan dirinya melalui rasa takut dan cinta kepada Tuhan seraya tidak bergantung pada dunia. Ketiga, menyelesaikan perkembangan dirinya dan mencapai kesempurnaan spiritual (Insan Kamil). Dalam Filsafat Islam (Nasution, 2002 : 187), mengemukakan bahwa :
“Tujuan ego bukanlah membenaskan diri dari batas-batas individualitas, melainkan memberi batasan tentang dirinya yang tegas. Tujuan terakhir ego, bukanlah melihat sesuatu, tetapi menjadi sesuatu.”
Pencarian ego adalah pencarian untuk mendapatkan definisi yang lebih tepat mengenai dirinya. Tindakannya bukan sekedar tindakan intelektual, tetapi suatu tindakan vital yang memperdalam seluruh wujud ego serta mempertajam kemauannya dengan keyakinan kreatif. Yang memberi pengertian, bahwa dirinya bukanlah dikenal dengan konsep-konsep yang ada, tetapi dibangun kembali dengan kerja yang tidak ada putus-putusnya.
Iqbal membandingkan watak ego dengan watak alam. Menurutnya alam bukanlah seoonggok kematerialan murni yang mengisi sebuah rongga, akan tetapi ia merupakan suatu struktur peristiwa-peristiwa, suatu cara tata laku yang sistematis, sama organisnya dengan ego yang hakiki. Alam bagi ego Ilahiat sama dengan watak bagi ego manusia. Dengan bahasa Al-qur’an : “alam adalah manusia, merupakan suatu penafsiran bahwa alam adalah kegiatan kreatif dari Ego Yang Mutlak. Pada suatu saat tertentu gerakannya ke muka bersifat terbatas, tetapi karena ego memiliki gerakan yang bershifat organis, maka bersifat kreatif.
2. Ketuhanan
Tuhan sebagai objek kajian metafisika memiliki kekhususan dibanding kedua objek metafisika lainnya. Apabila manifestasi lahiriah dari semesta maupun jiwa dapat ditangkap indra, maka hal yang sama tidak berlaku bagi realitas ketuhanan. Tuhan adalah suatu yang mutlak tidak ditangkap indra.
Metafisika yang mengkaji tentang Tuhan disebut filsafat ketuhanan (teologi naturalis) untuk membedakannya dari teologi adikodrati atau teologi wahyu. Apabila filsafat ketuhanan mengambil Tuhan sebagai titik akhir atau kesimpulan seluruh pengkajiannya, maka teologi wahyu sebagai titik awal pembahasannya.
Filsafat ketuhanan berurusan dengan pembuktian kebenaran adanya Tuhan yang didasarkan pada penalaran manusia. Filsafat ketuhanan tidak mempersoalkan eksistensi Tuhan, disiplin tersebut hanya ingin menggarisbawahi bahwa apabila tidak ada penyebab pertama yang tidak disebabkan maka kedudukan benda-benda yang relatif-kontigen tidak dapat dipahami akal.
Paling tidak, terdapat tiga argumen besar dalam filsafat ketuhanan: argumen kosmologis, argumen teologis, dan argumen ontologis. Argumen kosmologis mengemukakan bahwa Tuhan harus ada, karena kalau tidak maka akan ada rangkaian kausalitas yang tak terhingga untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa. Argumen teologis mengemukakan bahwa dari struktur finalitas realitas dapat ditariik kesimpulan adanya Sang Pencipta yang menetapkan struktur tersebut. Sedangkan argumen ontologis mengemukakan bahwa Tuhan ada karena kita memikirkannya dan memprediksikan eksistensi terhadap Dirinya.
Iqbal secara tegas menolak argumen-argumen para filosof skolastik tersebut. Baginya argumen-argumen ini telah menemui kegagalan. Di samping tampak sebagai suatu interpretasi pengalaman yang dibuat-dibuat, menurutnya argumen-argumen itu mengundang pula kesesatan logis. Iqbal mengungkapkan bahwa di antara penyebab kegagalan argumen-argumen ini adalah karena dipaksakannya dualisme epistemologis, yaitu pemisahan antara pikiran dan wujud (being). Padahal dalam argumen-argumen itu sendiri sesungguhnya telah tersirat bahwa pikiran dan wujud pada akhirnya merupakan satu kesatuan.
Iqbal sepakat dengan Kant bahwa rasio manusia memiliki keterbatasan dalam mengetahui hakikat Tuhan. Namun keterbatasan rasio tidak menjadikan Iqbal seorang skeptis seperti Kant, ia tetap meyakini bahwa manusia mampu memperoleh pengetahuan tentang Tuhan secara langsung melalui proses intuisi dalam pengalaman relegius. Dalam hal ini konsep intuisi Iqbal berbeda dengan konsep intuisi kaum mistikus. Apabila kaum mistikus menekankan kontak langsung dengan Tuhan lewat proses intuisi, Iqbal menolaknya dengan mengatakan bahwa apa yang pertama-tama tersingkap secara kuat lewat intuisi adalah keberadaan ego atau diri yang kreatif dan bebas.
Filsafat ketuhanan Iqbal berbeda dengan filsafat ketuhanan kontemplatif karena Iqbal berangkat dari filsafat manusia yang menekankan pengetahuan langsung tentang keberadaan ego atau diri yang bebas-kreatif. Metafisika gerak Iqbal mengemukakan bahwa manusia bukanlah benda statis tetapi suatu aktivitas gerak dinamis-kreatif yang terus merindu akan kesempurnaan. Hidup keberagamaan sendiri menurut Iqbal adalah suatu proses evolusi yang dapat dibagi menjadi tiga tahap, iman, pemikiran dan penemuan.
Pada tahap pertama yaitu tahap iman kita menerima apa yang difirmankan Tuhan tanpa keraguan sedikitpun. Pendeknya segala sesuatu yang berasal dari Tuhan adalah mutlak benar karena berasal dari Tuhan dan bukan konstruksi manusia. Pada tahap kedua yaitu tahap pemikiran. Kita tidak sekadar menatati secara buta firman Tuhan melainkan mulai memikirkan maksud dari firman tersebut atau singkatnya kita mencoba memahami secara rasional apa yang kita percayai. Dan pada tahap ketiga yaitu tahap penemuan kita mencapai kontak langsung dengan realitas ultim yang merupakan sumber semua hukum dan kenyataan.
Menurut Iqbal agama bukan sekadar sekumpulan ajaran untuk menekan aktivitas nafsu instingtif manusia (agama sebagai instrumen moral) seperti diklaim para psikoanalisis (Freud, Jung). Bagi Iqbal, agama lebih dari sekadar etika yang berfungsi membuat orang terkendali secara moral. Fungsi sesungguhnya adalah mendorong proses evolusi ego manusia di mana etika dan pengendalian diri menurut Iqbal hanyalah tahap awal dari keseluruhan perkembangan ego manusia yang selalu mendampakan kesempurnaan. Dengan kata lain, agama justru mengintegrasikan kembali kekuatan-kekuatan pribadi seseorang.
Nasution (2002 : 191) mengatakan “Tuhan adalah “Hakikat sebagai suatu keseluruhan”, dan hakikat sebagai suatu keseluruhan pada dasarnya bersifat spritual, dalam arti suatu individu dan suatu ego. Tegasnya, Ia adalah Ego Mutlak, karena Dia meliputi segalanya, tidak ada sesuatupun di luar Dia.”
Ego Mutlak merupakan Ego tertinggi, untuk menekankannya Iqbal membatasi Ego Mutlak dalam Q.S Al-ikhlas ayat 1-5. Selain itu, Iqbal mengambil batasan dari Al-Qur’an tentang identifikasi Tuhan tertera dalam Q.S An-Nur ayat 35.
Adapun mengenai tanda-tanda Tuham Iqbal mengajukan waktu sebagai tanda-tanda Tuhan yang teramat penting. Dalam al-Qur’an dijelaskan dalam Q.S An-nahl ayat 12 yang artinya adalah :
dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (Nya).
Jadi, menurut Al-Quran, pengertian siang dan malam adalah satu dari tanda-tanda penting Tuhan, demikian pula Nabi pernah mengidentifikasikan Tuhan dengan Dahr (waktu) : “ Janganlah memaki waktu (la tasubbu al-dahr), karena waktu adalah Tuhan. Tak terhingganya waktu sehingga manusia berkewajiban merenungkan tanda-tanda Tuhan itu. Hal ini menyebabkan masalah waktu senantiasa menarik perhatian ahli-ahli pikir serta juga kaum sufi Islam.
Atribut Illahiat lainnya yang dikemukakan Iqbal adalah ‘Pengetahuan dan Kemahakuasaan Tuhan.” Menurut pandangan Iqbal, alam semesta bukanlah suatu yang lain. Sebab dari pandangan ego yang mencakup segala yang ada itu ‘yang lain’
Sifat-sifat Tuhan, selain hal yang diatas, kata Iqbal adalah ‘Tuhan sebagai menggenggam segala kebaikan di tangan-Nya.’, sebagian disebutkan di dalam Al-quran. Maka, menggabungkan anatra kebaikan dan kemahakuasaannya Tuhan adalah keyakinan bahwa tata laku manusia mempunyai kemungkinan untuk menjadi lebih baik.
Dari uraian di atas, tampak bahwa Super-Ego yang dipahami Iqbal bukanlah transenden seperti Tuhan dipahami oleh kaum Theis madzhab klasik, dan bukan pula imanen dalam arti yang dipahami oleh kaum patheis tradisional. Ia merupakan kenyataan personal dan bukan suatu daya yang bersifat impersonal.
3. Materi dan Kausalitas
Menurut Iqbal, kodrat realitas yang sesungguhnya adalah rohaniah dari semua yang sekuler sebenarnya adalah suci dalam akar-akar perwujudannya. Iqbal dalam hal ini mensitir hadits nabi “Seluruh bumi ini adalah mesjid”. Adapun materi adalah ego-ego berderajat rendah dan dari sana muncul ego yang berderajat lebih tinggi, apabila penggabungan dan interaksi mereka mencapai suatu derajat koordinasi tertentu. Ia mengatakan bahwa fakta yang berderajat lebih tinggi muncul dari yang lebih rendah yang tidak mengurangi nilai dan kehormatannya. Bagi Iqbal yang menjadi masalah bukanlah asal akan tetapi kesanggupan, arti dan pencapaian terakhir dari pemunculannya itu.
Iqbal menunjuk kepada evolusi kehidupan, bahwa pada mulanya yang mental dikuasai oleh yang fisik, tetapi sementara kekuasaannya tumbuh, ia cenderung untuk menguasai yang fisik dan pada akhirnya mungkin sampai pada suatu posisi dimana ia mencapai kebebasan sepenuhnya.
Iqbal selalu menekankan bahwa kehidupan manusia merupakan ego yang selalu berproses, yang berarti juga ada perkembangan ego, yang berjuang untuk meningkatkan dirinya ke arah individualitas yang lebih kompleks dan lebih sempurna. Dalam puisinya, Iqbal mengakatakan bahwa “Setiap atom merupakan tunas kebesaran. Hidup tanpa gejolak meramalkan kematian”. Dengan demikian, menurut Iqbal alam semesta bukanlah merupakan produk yang sudah selesai, tidak berubah diciptakan sekali untuk seterusnya. Akan tetapi, alam semesta merupakan kenyataan dalam gerak maju. Jauh dari wujud yang tak berdaya dan statis, materi selalu mengalir dan berubah. Alam semesta bukanlah benda, melainkan perbuatan aliran dari khaos ke kosmos, munculnya kehidupan dan kesadaran yang merupakan hasil suatu proses evolusi. Proses ini tidak pernah mempunyai batas, sebab tidak ada akhir untuk maju.
Mengenai fungsi ego yang memberi arah, Iqbal mengambil dasar al-quran surat Al-isra ayat 85 yang artinya : “dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila Dia ditimpa kesusahan niscaya Dia berputus asa.”
4. Moral
Filsafat Iqbal merupakan filsafat yang meletakan kepercayaannya kepada manusia yang dilihatnya mempunyai kemungkinan yang tak terbatas, mempunyai kemampuan untuk mengubah dunia dan dirinya sendiri, serta mempunyai kemampuan untuk ikut memperindah dunia. Hal itu dimungkinkan karena manusia merupakan wujud penampakan diri dari Aku Yang Akbar, hal ini merupakan keunikan manusia sebagaimana dijelaskan Al-Quran :
Artinya : Kemudian Tuhannya memilihnya* Maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk. (Q.S Thaha : 122)
*Maksudnya: Allah memilih Nabi Adam a.s. untuk menjadi orang yang dekat kepada-Nya.
Artinya : “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al-An’am:165)
Sudah menjadi tanggung jawab manusia untuk mengambil bagian dengan cita-cita yang lebih tinggi dari alam sekitarnya dan turut menentukan nasibnya sendiri. Manusialah yang dapat mengambil inisiatif menyiapkan dirinya dalam menghadapi tantangan alam dan mengerahkan seluruh kekuatannya supaya dapat menggunakan tenaga-tenaga alam itu untuk tujuannya sendiri. Kalau manusia tidak mengambil inisiatif dan tidak mau merubah dirinya ke tingkat yang lebih tinggi maka dirinya akan mengeras seperti batu dan ada pada tingkat benda mati.
5. Insan Kamil
Iqbal menafsirkan insan kamil atau manusia utama, setiap manusia potensial adalah suatu mikrokosmos, dan bahwa insan yang telah sempurna kerohaniannya menjadi cermin dari sifat-sifat Tuhan, sehingga orang suci dia menjadi khalifah atau wakil Tuhan.
Manusia dengan segala kelemahannya masih lebih tinggi derajatnya dibandingkan alam, karena manusia mengemban suatu amanah yang sangat luar biasa, sehingga ada manusia yang diberi nama Insan Kamil.
Iqbal mengatakan, bahwa manusia merupakan suatu pribadi atau ego yang berdiri sendiri, tetapi belumlah dia menjadi pribadi yang utama. Dia yang dekat kepada Tuhan adalah yang utama. Semakin dekat semakin utama. Sedangkan semakin jauh jaraknya dengan Tuhan, berkuranglah bobot kepribadiannya. Pribadi sejati bukanlah pribadi yang menguasai tentang alam benda, akan tetapi pribadi yang yang dilingkupi sifat-sifat Tuhan dalam khudinya.
Adapun tentang kehidupan, Iqbal mengatakan bahwa proses yang terus menerus maju ke depan dan esensinya ialah penciptaan terus menerus dari gairah dan cita-cita. Penciptaan gairah-gairah baru dan cita-cita yang baru tentulah selamanya mewujudkan ketegangan-ketegangan yang konstan.
Hal-hal yang dapat memperkuat pribadi menurut Iqbal, ialah ;
a. Cinta kasih,
b. Semangat atau keberanian, termasuk bekerja kreatif dan orisinal, artinya asli dari hasil kreasinya sendiri dan mandiri,
c. Toleransi
d. Faqr, yang artinya tidak mengharapkan imbalan dan ganjaran-ganjaran yang akan diberikan dunia.
Sedangkan hal-hal yang dapat melemahkan pribadi adalah takut, suka minta-minta, perbudakan dan sombong. Dalam pusinya Javid Namah, Iqbal menyatakan bahwa hidup yang baik adalah hidup yang penuh dengan usaha perjuangan, bukan suatu cara hidup yang menarik diri dan memencikan diri, bukan yang malas dan menganggap remeh kehidupan ini. Manusia sepanjang hayatnya hendaklah berusaha sungguh-sungguh untuk selalu maju dan bersifat kreatif.
Dari beberapa komponen untuk memperkuat diri, Iqbal menyatakan bahwa Faqr merupakan komponen yang terpenting. Jiwa faqr membuat manusia menjadi semacam pejuang rohani yang gigih. Ia merupakan juga semacam perisai yang melindungi pemegannya dalam setiap langkahnya, karena terus menerus berusaha sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. Iqbal tidak setuju dengan makna Faqr yang menyebabkan sikap isolasi diri, menhindar dan melarikan diri dari kenyataan.
Mengenai semangat dan keberanian, tidaklah hanya untuk menguatkan jasmani saja, akan tetapi untuk menguatkan rohani yaitu bahaya dari kehilangan iman dan kehilangan nilai-nilai kita sendiri disaat segala sesuatu tidak berjalan beres.
Dengan sikap toleransi, memungkinkan manusia mukmin atau manusia sejati untuk mengembangkan dirinya dan memperkokoh individualitas memlalui kontak yang aktif dengan lingkungannya. Manakala sang mukmin menguasai dunia, ia tetap tangguh dengan landasan moral insaninya. Harga dirinya memberikan kesanggupan dan keberanian untuk menjelajahi kehidupan baru, toleransi serta penghormatannya terhadap hak dan pribadi orang lain membuatnya peka terhadap tuntutan sesama manusia.
5. Insan Kamil
Iqbal menafsirkan insan kamil atau manusia utama, setiap manusia potensial adalah suatu mikrokosmos, dan bahwa insan yang telah sempurna kerohaniannya menjadi cermin dari sifat-sifat Tuhan, sehingga orang suci dia menjadi khalifah atau wakil Tuhan.
Manusia dengan segala kelemahannya masih lebih tinggi derajatnya dibandingkan alam, karena manusia mengemban suatu amanah yang sangat luar biasa, sehingga ada manusia yang diberi nama Insan Kamil.
Iqbal mengatakan, bahwa manusia merupakan suatu pribadi atau ego yang berdiri sendiri, tetapi belumlah dia menjadi pribadi yang utama. Dia yang dekat kepada Tuhan adalah yang utama. Semakin dekat semakin utama. Sedangkan semakin jauh jaraknya dengan Tuhan, berkuranglah bobot kepribadiannya. Pribadi sejati bukanlah pribadi yang menguasai tentang alam benda, akan tetapi pribadi yang yang dilingkupi sifat-sifat Tuhan dalam khudinya.
Adapun tentang kehidupan, Iqbal mengatakan bahwa proses yang terus menerus maju ke depan dan esensinya ialah penciptaan terus menerus dari gairah dan cita-cita. Penciptaan gairah-gairah baru dan cita-cita yang baru tentulah selamanya mewujudkan ketegangan-ketegangan yang konstan.
Hal-hal yang dapat memperkuat pribadi menurut Iqbal, ialah ;
a. Cinta kasih,
b. Semangat atau keberanian, termasuk bekerja kreatif dan orisinal, artinya asli dari hasil kreasinya sendiri dan mandiri,
c. Toleransi
d. Faqr, yang artinya tidak mengharapkan imbalan dan ganjaran-ganjaran yang akan diberikan dunia.
Sedangkan hal-hal yang dapat melemahkan pribadi adalah takut, suka minta-minta, perbudakan dan sombong. Dalam pusinya Javid Namah, Iqbal menyatakan bahwa hidup yang baik adalah hidup yang penuh dengan usaha perjuangan, bukan suatu cara hidup yang menarik diri dan memencikan diri, bukan yang malas dan menganggap remeh kehidupan ini. Manusia sepanjang hayatnya hendaklah berusaha sungguh-sungguh untuk selalu maju dan bersifat kreatif.
Dari beberapa komponen untuk memperkuat diri, Iqbal menyatakan bahwa Faqr merupakan komponen yang terpenting. Jiwa faqr membuat manusia menjadi semacam pejuang rohani yang gigih. Ia merupakan juga semacam perisai yang melindungi pemegannya dalam setiap langkahnya, karena terus menerus berusaha sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. Iqbal tidak setuju dengan makna Faqr yang menyebabkan sikap isolasi diri, menhindar dan melarikan diri dari kenyataan.
Mengenai semangat dan keberanian, tidaklah hanya untuk menguatkan jasmani saja, akan tetapi untuk menguatkan rohani yaitu bahaya dari kehilangan iman dan kehilangan nilai-nilai kita sendiri disaat segala sesuatu tidak berjalan beres.
Dengan sikap toleransi, memungkinkan manusia mukmin atau manusia sejati untuk mengembangkan dirinya dan memperkokoh individualitas memlalui kontak yang aktif dengan lingkungannya. Manakala sang mukmin menguasai dunia, ia tetap tangguh dengan landasan moral insaninya. Harga dirinya memberikan kesanggupan dan keberanian untuk menjelajahi kehidupan baru, toleransi serta penghormatannya terhadap hak dan pribadi orang lain membuatnya peka terhadap tuntutan sesama manusia.
BAB III
KESIMPULAN
1. Muhammad Iqbal merupakan seorang filsuf yang yang mempunyai keahlian di bidang hukum, politik, sastra dan seorang reformis yang terkenal pada tahun 1980-an. Beliau dibesarkan dengan religiusitas yang tinggi. Ayahandanya merupakan seorang yang shaleh dan cerdas, serta memiliki tingkat keingintahuannya yang tinggi. Disamping itu, ibundanya menanamkan pendidikan agama terlebih dahulu kepada anak-anaknya termasuk Muhammad Iqbal.
2. Muhammad Iqbal sangat cinta akan pendidikan, tampak dari latar belakang pendidikannya yang dimulai sejak masa kanak-kanak sampai beliau wafat. Beliau meraih gelar B.A di Lahore, lalu beliau menyelesaikan gelar doktornya di Munich. Beliau juga mengabdi di college tempat meraih gelar B.A-nya.
3. Sekitar kurang lebih 21 karya yang beliau keluarkan selama hidupnya. Salah satu karyanya yang terkenal adalah The Reconstruction of Religious Thought in Islam [Pembangunan Kembali Pemikiran Keagamaan dalam Islam], (1934).
4. Pemikiran filsafat yang menjadi pondasi Muhammad Iqbal adalah khudi yang berarti ego atau individualitas. Ego merupakan sesuatu yang dinamis-kreatif dan terus berkembang untuk mencapai kesempurnaan. Ego dikenal bukanlah karena konsep-konsep yang telah ada dari Ego yang Mutlak, akan tetapi dikenal dengan kerja yang terus menerus dilakukan.
5. Mengenai ketuhanan, Iqbal berpendapat bahwa Tuhan merupakan Ego Mutlak yang Maha Kuasa yang merupakan Ego tertinggi dengan membatasi dalam Q.S Al-Ikhlas ayat 1-5, dan menidentifkasi Ego Mutlak dengan waktu seperti tertera dalam Q.S An-Nahl ayat 12.
6. Materi dan kausalitas menurut Iqbal erat kaitannya karena materi atau alam benda yang ada merupakan suatu akibat dari sebab-sebab. Alam semesta bukanlah merupakan produk yang sudah selesai, tidak berubah diciptakan sekali untuk seterusnya. Akan tetapi, alam semesta merupakan kenyataan dalam gerak maju. Jauh dari wujud yang tak berdaya dan statis, materi selalu mengalir dan berubah. Alam semesta bukanlah benda, melainkan perbuatan aliran dari khaos ke kosmos, munculnya kehidupan dan kesadaran yang merupakan hasil suatu proses evolusi. Proses ini tidak pernah mempunyai batas, sebab tidak ada akhir untuk maju.
7. Moral dan Insan Kamil merupakan satu keterkaitan dimana dengan moral yang baik maka Insan Kamil akan terwujud. Manusia menjadi insan kamil bukanlah manusia yang mengetahui alam benda akan tetapi manusia yang dilingkupi sifat-sifat Tuhan. Semakin dekat dengan Tuhan, maka akan semakin dekat pula kepada insan kamil begitupun sebaliknya, jika semakin jauh dengan Tuhan, maka semakin turun bobot kepribadiannya.
2. Muhammad Iqbal sangat cinta akan pendidikan, tampak dari latar belakang pendidikannya yang dimulai sejak masa kanak-kanak sampai beliau wafat. Beliau meraih gelar B.A di Lahore, lalu beliau menyelesaikan gelar doktornya di Munich. Beliau juga mengabdi di college tempat meraih gelar B.A-nya.
3. Sekitar kurang lebih 21 karya yang beliau keluarkan selama hidupnya. Salah satu karyanya yang terkenal adalah The Reconstruction of Religious Thought in Islam [Pembangunan Kembali Pemikiran Keagamaan dalam Islam], (1934).
4. Pemikiran filsafat yang menjadi pondasi Muhammad Iqbal adalah khudi yang berarti ego atau individualitas. Ego merupakan sesuatu yang dinamis-kreatif dan terus berkembang untuk mencapai kesempurnaan. Ego dikenal bukanlah karena konsep-konsep yang telah ada dari Ego yang Mutlak, akan tetapi dikenal dengan kerja yang terus menerus dilakukan.
5. Mengenai ketuhanan, Iqbal berpendapat bahwa Tuhan merupakan Ego Mutlak yang Maha Kuasa yang merupakan Ego tertinggi dengan membatasi dalam Q.S Al-Ikhlas ayat 1-5, dan menidentifkasi Ego Mutlak dengan waktu seperti tertera dalam Q.S An-Nahl ayat 12.
6. Materi dan kausalitas menurut Iqbal erat kaitannya karena materi atau alam benda yang ada merupakan suatu akibat dari sebab-sebab. Alam semesta bukanlah merupakan produk yang sudah selesai, tidak berubah diciptakan sekali untuk seterusnya. Akan tetapi, alam semesta merupakan kenyataan dalam gerak maju. Jauh dari wujud yang tak berdaya dan statis, materi selalu mengalir dan berubah. Alam semesta bukanlah benda, melainkan perbuatan aliran dari khaos ke kosmos, munculnya kehidupan dan kesadaran yang merupakan hasil suatu proses evolusi. Proses ini tidak pernah mempunyai batas, sebab tidak ada akhir untuk maju.
7. Moral dan Insan Kamil merupakan satu keterkaitan dimana dengan moral yang baik maka Insan Kamil akan terwujud. Manusia menjadi insan kamil bukanlah manusia yang mengetahui alam benda akan tetapi manusia yang dilingkupi sifat-sifat Tuhan. Semakin dekat dengan Tuhan, maka akan semakin dekat pula kepada insan kamil begitupun sebaliknya, jika semakin jauh dengan Tuhan, maka semakin turun bobot kepribadiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Binasati, Imam. (2008). Pemikiran Filsafat Muhammad Iqbal. [Online] Tersedia : http://my.opera.com/imam%20binnasati/blog/tambah-tugas. (27 April 2011).
Nasution, Hasyimsyah. (2002). Filsafat Islam. Gaya Media Pratama : Jakarta.
Wahyudi, Untung. (22 April). Biografi Singkat Muhammad Iqbal. [Online]. Tersedia : http://untunx83.multiply.com/journal/item/67. (27 April 2011).
Nn. (2009). Rekontruksi Pendidikan Islam (Kajian Pemikiran Iqbal dan Relavansinya Dengan Pendidikan Islam di Indonesia). Tidak diterbitkan.
Nasution, Hasyimsyah. (2002). Filsafat Islam. Gaya Media Pratama : Jakarta.
Wahyudi, Untung. (22 April). Biografi Singkat Muhammad Iqbal. [Online]. Tersedia : http://untunx83.multiply.com/journal/item/67. (27 April 2011).
Nn. (2009). Rekontruksi Pendidikan Islam (Kajian Pemikiran Iqbal dan Relavansinya Dengan Pendidikan Islam di Indonesia). Tidak diterbitkan.
No comments:
Post a Comment