a.
Hipotesis Bahasa Menurut Sapir - Whorf
Sudah kita ketahui bahwa kelebihan
manusia adalah berfikir. Selama dekade terakhir ini ada perdebatan sengit
antara bahasa dan pikiran. Ada yang berpendapat bahwa bahasa dan pikiran adalah
suatu etentitas yang berdiri sendiri-sendiri. Sebagian lagi ada yang
berpendapat bahwa bahasa dan pikiran tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Banyak orang yang mendukung mengenai pendapat kedua ini. Salah satu gagasan
yang terkenal mengenai hubungan antara perbedaan bahasa (antara “peta” dan
realitas) secara antarbudaya adalah hipotesis Sapir – Whorf yang sering disebut
tesis Whorfian.[1]
Edward Sapir adalah
seorang antropolog linguistik yang mengajar di Universitas Yale, Sapir
berpendapat bahwa bahasa dan budaya tidak bisa dipisahkan seperti koin yang
tidak bsia dipisahkan diantara kedua gambarnya.
Ilustrasi di atas
menunjukan kaitan timbal balik antara bahasa dengan budaya. Budaya adalah
sebuah realitas yang ditentukan dengan bahasa, dan bahasa adalah sesuatu yang
diwariskan secara kultural. Namun demikian, Sapir lebih menekankan bahwa bahasa
yang menjadi penentu cara persepsi kita akan kenyataan. Lebih lanjut,
Sapir menegaskan pendapatnya dengan menyatakan, “hilangkan komunitas sosial,
maka individu tidak akan pernah dapat belajar untuk berbicara, artinya
mengkomunikasikan ide sesuai dengan tradisi dari masyarakat tertentu”.
Sapir memandang bahwa
kajian-kajian dalam Linguistik yang umumnya berkisar tentang pemahaman mengenai
simbol, istilah atau terminologi Linguistik sebaiknya mulai beralih dan lebih
terfokus kepada upaya memahami elemen-elemen bahasa yang menunjang terjadinya
kesepahaman antara pengujar dan pendengar. Hal ini diperkuat oleh pendapat
Sapir –yang berbeda dengan Sausurre – yang menyatakan bahwa bahasa itu ada
sejauh penggunaannya. Dikatakan dan didengar, ditulis dan dibaca.[2]
Sedangkan Benjamin L.
Worf adalah seorang ahli penanggulangan ahli, yang dikenal Sapir lewat
kuliahnya yang diikuti Whorf. Karena minatnya sangat besar dalam bahasa, maka
Whorf pun melakukan penelitian, antara lain tentang bahasa Indian Hopi.
Hipotesis Sapir – Whorf
menyatakan bahwa dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa dalam budaya
kita. “Kramsch (2001:11, 77) juga mengemukakan bahwa
orang berbicara dengan cara yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara
yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda
karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia luar di
sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula”[3]
Menurut Edward Sapir
dan Benyamin Whorf, bahasa tidak saja berperan sebagai suatu mekanisme untuk
berlangsungnya komunikasi, tetapi juga sebagai pedoman ke arah kenyataan sosial.[4]
Dengan kata lain, bahasa tidak saja menggambarkan persepsi, pemikiran dan
pengalaman, tetapi juga dapat menentukan dan membentuknya. Dengan arti lain
orang-orang yang berbeda bahasa : Indonesia, Inggris, Jepang, China, Korea, dan
lain sebagainya cenderung melihat realitas yang sama dengan cara yang berbeda
pula. Implikasinya bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan aksen tertentu
terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya penekanan, mempertajam,
memperlembut, mengagungkan, melecehkan dan lain sebagainya[5].
Prinsip demikian tidak
jauh berbeda dari pokok bahasan bidang studi sosiolinguistik (sosiologi bahasa)
yang mempelajari hubungan antara struktur bahasa atau tindakan berujar (speech
performance) dengan struktur sosial (dalam bentuk interaksi). Hubungan itu
dapat dilihat sebagai berikut[6] :
1. Bahasa dan cara
berujar (speech) merupakan indikator atau petunjuk atau pencerminan ciri-ciri
struktur sosial. Misalnya status sosial atau posisi kelas sosial dapat
ditunjukkan dari penggunaan kata-kata dalam bahasa. Dengan cara analisis
demikian kita dapat menentukan kedudukan individu dalam struktur sosial.
2. Struktur sosial
yang menentukan cara berujar atau perilaku bahasa. Dalam hal ini terjadi
perubahan-perubahan pada standar bahasa baku dan dialek dengan berubahnya
konteks dan topik pembicaraan.
Para peneliti membagi
hipotesis Whorf menjadi dua bagian, yaitu :
1.
Determinisme
Linguistik
Bahasa
memandang bahwa struktur bahasa mengendalikan pikiran dan norma – norma budaya.
Dengan arti lain manusia hanyalah sekedar hidup disuatu bagian kecil dunia yang
dimungkinkan bahasa yang digunakannya. Jadi dunia yang kita ketahui terutama
ditentukan oleh bahasa yang diajarkan oleh budaya kita. Maka perbedaan bahasa
mempresentasiakn juga perbedaan dasar dalam pandangan dunia berbagai budaya.
2.
Relativitas
Linguistik
Bahasa
mengasumsikan bahwa karakteristik bahasa dan norma budaya saling mempengaruhi.
Dengan arti lain, budaya dikontrol dan sekaligus mengontrol bahasa. Berdasarkan
interpretasi ini bahasa menyediakan kategori-kategori konseptual yang
mempengaruhi bagaimana persepsi penggunaannya dikode dan disimpan.
Beberapa uraian para
ahli dalam hipotesis ini adalah sebagai berikut :
1.
Bahasa
Mempengaruhi Pikiran
Pemahaman
terhadap kata mempengaruhi pandangan terhadap realitas. Pikiran dapat
terkondisikan oleh bahasa yang digunakan manusia.
2.
Pikiran
Mempengaruhi Bahasa
Pendukung
pendapat ini adalah Jean Peaget, yang meneliti kognitif anak. Ia melihat bahwa
aspek koginit anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakan oleh anak
3.
Bahasa dan
Pikiran Saling Mempengaruhi
Hubungan timbal balik antara pikiran dan
bahasa ditemukan oleh Benyamin Vigotski. Seorang ahli semantik yang
memperbaharui penelitian Jean Piageat yang mengatakan bahwa bahasa dan pikiran
saling mempengaruhi. Hal ini diterima oleh ahli kognitif.[7]
b. Implikasi Hipotesis Bahasa Sapir – Whorf
Bahasa memberikan
pandangan perseptual dan sekaligus memaksakan pandangan konseptual tertentu.
Bahasa pula merupakan kacamata untuk melihat realitas budaya. Maka hipotesis
bahasa Sapir – Whorf mempunyai implikasi dari pada kebudayaan saat ini,
diantaranya :
1. Jika
suatu komunitas budaya menggunakan banyak kosakata untuk suatu hal atau suatu
aktivitas, maka hal atau aktivitas tersebut adalah penting dalam komunikasi
budaya tersebut.
Misalnya : kata salju dalam budaya
Eskimo diantaranya, Qana (salju yang sedang turun, serpihan salju), Akilukak
(salju lunak), Aput (salju diatas tanah), Kaguklaich (salju yang
tertiup angin membentuk jajaran dam Qinuqsuq (timbunan salju)
2. Lebih
dari cara mempengaruhi mempersepsi objek dan lingkungan kita, bahasa dan
pikiran juga mempengaruhi tindakan kita.
Misalnya : salah satu temuan menunjukkan
bahwa orang Inggris menekankan waktu dan jumlah sedangkan pembicara orang
Navaho menekankan ciri-ciri bentuk.
3. Adanya
hubungan yang erat antara bahasa dan pikiran adalah sebenarnya bahasa (lewat
penciptaan kata-kata, istilah-istilah, dan julukan-julukan baru) dapat
digunakan oleh suatu rezim atau sekelompok orang untuk merendahkan,
mendiskriminasi dan menguasai kelompok orang lainnya.
Misalnya : Orang Amerika menggunakan
kata Negro untu kelompok yang berkulit hitam.
[1] Jufrizal. Hipotesis
Sapir-Whorf dan Struktur Informasi Klausa Pentopikalan Bahasa Minangkabau.
(Denpasar : Program Pasca Sarjana Universitas Udayana –tidak diterbitkan- ,
2004). Hal. 12
[2] Nn.
Pandangan Sapir Terhadap Bahasa.
[3] Jufrizal.....
Hal. 10
[4]
Samovar,et.al. Understanding Intercultural Communication.
(Belmont California : Wodsworth Publishing Company, 1981). Hal. 135
[5] Dedy
Mulyana..... Hal. 120
[6] Lusiana
Andriani Lubis .... Hal. 20
[7] Wahyu
Widiarso. Pengaruh Bahasa Terhadap Pikiran Kajian Hipotesis Benyamin Whorf
dan Edward Sapir. (Fakultas Psikologi UGM : Tidak diterbitkan, 2005). Hal.
10
jadi yang lebih masuk akal yang mana? yg determinasi atau yg relativity? thx ya..
ReplyDelete