Karya : Nisa Rahmalia
Bandung Islamic University
Agama menurut menurut M. Natsir harus dijadikan pondasi dalam mendirikan suatu negara. Agama, bukanlah semata-mata suatu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa. Islam itu adalah lebih dari sebuah sistem peribadatan. Ia adalah satu kebudayaan/peradaban yang lengkap dan sempurna.
Yang dituju oleh Islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan tiap-tiap orang, hingga meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah dan perundang-undangan. Tapi adalah ajaran Islam juga, bahwa dalam soal-soal keduniawian, orang diberi kemerdekaan mengemukakan pendirian dan suaranya dalam musyawarah bersama seperti dalam firman Allah SWT.: “Dan hendaklah urusan mereka diputuslan dengan musyawarah!” QS. Asy-syura (26): 38.
Berbicara tentang negara, Natsir berpendapat bahwa negara adalah suatu ‘institution’ yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus. Institution adalah suatu badan, organisasi yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri serta diakui oleh umum.
Negara harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyarakat. Karena itu, dasar pun harus sesuatu faham yang hidup, yang dijalankan sehari-hari, yang terang dan dapat dimengerti dalam menyusun hidup sehari-hari, yang terang dan dapat dimengerti dalam menyusun hidup sehari-hari rakyat perorangan maupun kolektif.
Maka di dalam menyusun suatu UUD bagi negara, dan untuk mencapai hasil yang memuaskan, perlulah bertolak dari pokok pikiran yang pasti, yakni UUD bagi negara Indonesia harus menempatkan negara dalam hubungan yang seerat-eratnya dengan masyarakat yang hidup di negeri ini. Tegasnya, UUD negara itu haruslah berurat dan berakar dalam kalbu, yakni berurat berakar dalam akal pikiran, alam perasaan dan alam kepercayaan serta falsafah hidup dari rakyat dalam negeri ini. Dasar negara yang tidak memenuhi syarat yang demikian itu, tentulah menempatkan negara terombang-ambing, labil dan tidak duduk di atas sendi-sendi yang pokok[1].
Menurut Yusril Ihza Mahendra agama yang diterjemahkan Natsir cenderung penafsiran doktrin sosial politik Islam secara elastis dan fleksibel, karena doktirn memberikan pemahaman yang bersifat umum dan tidak secara terperinci maka ijtihad harus digalakkan. Setiap zaman berbeda maka ijtihad ulama dahulu dapat diperbaharui sesuai tuntutan zaman, Natsir menyimpulkan bahwa Islam merupakan aliran pemikiran Theistic Democracy yaitu demokrasi yang berlandaskan ketuhanan dimana keputusan mayoritas rakyat harus berdasarkan nilai-nilai ketuhanan[2].
Taufik Abdullah berpendapat bahwa sosok Natsir seorang idealis dalam arti bukan pemimpi, akan tetapi idealis dalam pengertian filosofis, yakin dalam kesadaran iman dan tauhid. Karena itu dia mengatakan peneguhan iman, aqidah dan lainnya, penguatan inilah yang menjadi dasar masyarakat dalam kehidupan bernegara[3].
Tarmizi Taher juga menyatakan bahwa Natsir merupakan sedikit diantara manusia Indonesia yang multi dimensional dan begitu kompleks. Natsir muslim yang mampu secara intelektual memiliki warisan pemikir Islam, dia mampu mengamalkan nilai-nilai ke-Islamannya dan memadukan dengan wacana pemikiran timur dan barat. Meskipun secara politis Natsir kalah dalam memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara secara konstitusional, dia menerimanya dengan lapang dada dan sebaliknya dengan ikhlas menerima Pancasila sebagai ideologi. Disini Natsir nampaknya sampai kesimpulan, tidak ada pertentangan antara Islam dengan Pancasila, sila-sila yang ada didalamnya selaras. Karena itu tidak perlu dipertentangkan lagi, kegigihan Natsir membela dan menjelaskan Pancasila kepada masyarakat Internasional disetiap kunjungan mancanegaranya merupakan bukti nyatanya[4].
Perbedaan antara konsep negara Islam dan konsep tatanan masyarakat Islam adalah jika dalam konsep negara Islam, politik dan agama adalah bagian-bagian dari suatu totalitas Islam. Sedangkan dalam konsep tatanan masyarakat Islam, politik hanyalah pengungkapan sampingan daripada semangat Islam. Jadi konsep negara Islam lebih Islami dibanding konsep tatanan masyarakat Islam.
Natsir lebih menyukai negara Islam, karena menurutnya untuk menyusun suatu tatanan masyarakat dibutuhkan suatu negara. Disebut apa kepala negara Islam itu tidaklah menjadi persoalan, yang lebih penting adalah adanya hak rakyat untuk mendaulatnya, bahkan dengan kekerasan bila memang diperlukan. Kepala Negara harus bermusyawarah dengan ’mereka yang patut diajak bermusyawarah’. Bagaimana bentuk sistem permusyawaratannya, itu urusan rakyat yang bersangkutan. Bisa saja permusyawaratan itu dengan segala orang atau dengan suatu parlemen yang terdiri dari wakil-wakil partai. Walaupun begitu, Natsir merasa bahwa sistem parlemen barat tidaklah cocok untuk negara-negara yang bukan barat.
Dia bertanya ’Apakah Islam itu demokrasi?’, dijawabnya sendiri, ’Islam bukan seratus persen demokrasi, dan Islam bukan pula seratus persen otokrasi. Islam adalah Islam. Sebuah negara Islam akan melarang semua yang dilarang oleh Al-Quran: minuman keras, perjudian, pencurian, pelacuran, tahyul dan syirik[5].
Dengan demikian Islam menjadi tujuan dan negara adalah alat untuk mewujudkan ajaran Islam. Natsir berkeyakinan, negara sebagai kekuatan eksekutif mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk menjalankan hukum-hukum dan menjamin terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan yang dicita-citakan Islam. Di sini negara berfungsi sebagai alat untuk menerapkan hukum- hukum yang telah ada. Tanpa adanya negara sulit diharapkan adanya ketaatan pada hukum-hukum itu. Dengan demikian pendekatan Natsir terhadap pelaksanaan syariat atau hukum-hukum Islam dalam masyarakat menekankan pada pendekatan legal formal. Artinya ia menganggap perlu adanya kekuasaan pemaksa yang sah dan diakui keberadaannya yang diperlukan untuk, dalam batas-batas tertentu, memaksa individu untuk patuh dan taat pada hukum-hukum yang telah ditetapkan.
Islam menanamkan nilai-nilai kebaikan sampai membentuk suatu akar yang kuat dari keseluruhan ajarannya bersumber kepada tauhid. Tauhid yang memiliki makna keyakinan terhadap Tuhanlah yang memiliki otoritas kedaulatan yang dominan diatas kedaulatan-kedaulatan lainnya.
Masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari banyak menggunakan otoritas ketuhanan yang diturunkan dalam agama melalui al-qur’an dan hadis. Orang melakukan pencurian misalnya bukan takut kepada hukum-hukum pidana, karena jelas masyarakat banyak yang tidak paham akan hukum pidana tersebut. Ketakutan mereka untuk tidak melakukan itu dikarenakan ketauhidan yang mereka miliki dimana ketika itu dilakukan maka akan melanggar hukum-hukum Allah. Inilah mengapa Natsir bersikeras mengemukakan Islam sebagai Ideologi, jika tidak ada yang membatasi secara jelas mana haram dan halal mungkin suatu negara akan hancur secara perlahan-lahan.
Batasan wilayah yang besar, jumlah penduduk yang beragam akan memperumit aparat pemerintah dalam menegakkan hukum-hukum yang ada. Sedangkan dengan ketauhidan masyarakat akan tersadarkan sendiri dalam pola tingkah laku kesehariannya, berdampak pada keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga pada titik ketauhidan yang tinggi tidak perlu adanya negara, sementara dalam mengawali perjuangan mencapainya peran negara sebagai lembaga formal masih diperlukan. Atas landasan inilah Natsir melakukan perjuangan politik secara kelembagaan dengan memakai nilai-nilai ketauhidan.[6]
Menurut Natsir, agama dan negara tidak bisa dipisahkan karena pada pokoknya urusan kenegaraan merupakan bagian integral risalah Islam. Kemudian beliau menguti Nash Al-quran : “Sesungguhnya Aku menjadikan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” Q.S Adz-dzariyat : 56. Bertitik tolak dari ayat diatas Natsir berkesimpulan bahwa seorang hamba diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah swt untuk kejayaan dunia dan akhirat.
[1] Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Dakwah, 2001(c), hal., 198, 200
[2] Yusril Ihza Mahendra “Mohammad Natsir dan Sayyid Abul A’ala Maududi, Telaah Tentang Dinamik Islam dan Transformasinya ke Dalam Ideologi Sosial Politik”. Anwar Harjono, et. al., Op.cit., hal., 63-74.
[3] Taufik Abdullah. “Diskusi Tentang Agama dan Kebangsaan”
[4] Tarmizi Taher. “Pemikiran dan Perjuangan Natsir”, hal. 14
[5] G. H. Jansen, Islam Militan. Terjemahan oleh Armahedi Mahzar, Bandung: Pustaka, 1983 hal. 250-252.
[6] Mohammad, Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara (Pidato di Depan Sidang Majelis Konstituante Untuk Menentukan Dasar Negara RI, 1957-1959), Bandung: Sega Arsy, 2004 (d), hal., 72-78.
No comments:
Post a Comment