Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

15 February 2013

Kita Berkeliling Dunia

Ada sebongkah senyuman yang tergurat dari wajahmu. Keningmu yang selalu mengerut dari lelucon-lelucon garingku tersibak oleh angin dingin 18oC di dalam ruangan yang penuh dengan peralatan kesayangan kita. Kamera HDV yang berdiri tegak menfokuskan lensa ke arahku yang tetap memandangmu dari jauh mata memandang. Keheningan yang kuinginkan agar masuk ke dalam ulu hatimu pun hanya angan-angan semata, kebisingan sahabat-sahabatku yang sedang asik mensetting berbagai alat shooting mengaburkan konsentrasiku. Namun satu yang kuingat darimu, senyummu merekahkan hatiku. 

“Sedang apa?” tanya kau dari ujung laptopmu ke sebuah chatting media sosial. Mungkin ada kegerogian sendiri saat kau bertanya langsung kepadaku, pikirku. 

“Sedang nongkrong, liat orang kece” tulisku dengan cermat “dan itu adalah kamu” ujarku dalam hati. 

“Terimakasih” ketikmu, dan kau memandangku, melihatku dengan senyummu lagi. 

“Iya, sama-sama” 

Diantara kebisingan aku menikmati kata demi kata yang kau tulis, aku mencermati dan merasakan detik demi detik waktu berdetak. Aku tak ingin beranjak dari layar laptop. Menunggu pesanmu kembali yang menghancurkan kebisingan menjadi kemanjaanku bersama waktu. 

“Kamu tertarik go aboard Zahra?” lanjutnya di chatting siang itu. 

“Iya Riz, Banyak negara yang ingin aku pijaki” 

“Salah satunya?” 

“Jerman, Belanda, Australia, Inggris, Spanyol, Paris” 

“Mekkah?” 

“Itu nomor pertama” tegasku.

Jarak kita seakan terpisah oleh samudera dan terpisah lantunan detik. Namun nyatanya udara mengikat kita dalam satu ruang, tak hampa, karena dikelilingi orang yang selalu meneguhkan saat kita lemah, menyejukan saat gersang melanda dan menyinari saat gelap menyelimuti.

“Aku ingin melihat dunia tahun depan, kau mau?” Riz menghancurkan lamunanku.

“Boleh, taun depan kita mulai keliling dunia” jawabku 

“Iya, kamu mau kemana dulu? 

“Aku mau ke New Zealand lalu ke Ausie” 

“Negara yang akan aku kunjungi pertama adalah Mesir” wajah ketegasannya aku lihat dari spion lonjong motornya. 

“Kenapa?” 

“Ketika aku kesana,” tiba-tiba aku memotongnya “Kairo? Ternyata kamu pernah kesana? Wuidih keren...” ia pun menceritakannya kembali “iya, beberapa tahun lalu, aku pernah menyoreti tembok kedubes RI di London, nah, sesampainya disana aku mau liat tulisan itu”

“keliatan banget Indonesianya” tuturku dengan simbol senyum menyeringai. 

Akhirnya kita bercerita tentang sebuah impian, yaitu keliling dunia, melihat kota-kota bersejarah yang pernah melahirkan ilmuwan-ilmuwan dunia. Hingga akhirnya Spanyol menjadi tempat terakhir kami untuk bertemu dan menapaki janji dengan harapan yang sangat besar. 

“Spanyol yah taun depan” 

“Oke, siapa takut” jawabku. 

Satu diantara cerita kita adalah memuat negara-negara yang ingin dikunjungi, setiap hari dia mengingatkanku untuk tetap menatap dan menata masa depan dengan optimis. Itu yang membuatku tak ingin kehilangannya. Mengajariku betapa dunia akan indah jika kita bernyanyi untuk orang lain. Indah dan selalu menjadi catatanku di setiap waktu berjalan. Kita harus bertemu di satu titik impian kita. Impian adalah sebuah harapan sehingga kehidupan akan terasa bergairah.

14 February 2013

2x5 tahun, Riz

Matanya bundar, bulu mata lentik dan panjang. Tubuhnya gempal setinggi badanku. Dia berlari dengan tas gendong dan sepatu kets kesayangannya. Berlari bersama angin senja yang menyapu. 

“Riz, kau mau kemana?” tanyaku padanya 

“Saya mau bermain sepakbola dulu, Za!” jawabnya “tidak akan lama kok!” 

Aku cemberut, tercermin diatas genangan air hujan yang telah berlalu sore itu. Riz pergi tergesa-gesa ke arah teman-temannya yang sudah siap menunggunya hendak bermain sepakbola di alun-alun kota. 

Aku  menunggunya dengan setia ditemani secarik kertas dan sebuah pena hitam. Duduk di taman kota, melihat sekeliling yang ramai dengan para pedagang kaki lima. Mereka mengadukan nasib hingga petang tiba.

Di penghujung senja aku tetap setia temani buku-buku dan coretan kecil hasil karyaku, tapi Riz belum tampak walau batang hidungnya. 

“Riz, lama sekali!” gerutuku setibanya di taman kota. 

“Saya hanya pergi 2x45 menit, Za” jawabnya dengan santai “dan saya tidak akan meninggalkanmu lagi selama itu” janjinya padaku. 

“Baiklah! Ayo kita pulang, sebentar lagi adzan maghrib!” ajakku dengan menarik tangannya. 

Kami berjalan menelusuri pasar yang mulai lengang. Dia berjalan disampingku. Bau keringatnya menusuk, tercium sampai ujung dada. Dia terus memainkan bola yang dipegangnya. Melempar sesekali ke arahku. 

“Zaa, sini dulu!” Riz berteriak dari arah belakangku, aku tak menyadarinya dia tertinggal olehku. 

Aku memutar badan “Ada apa?” teriakku kembali sambil menghampirinya. 

“Sini liat! Gelangnya bagus kan?” dia membeli dua buah gelang, perpaduan antara warna cokelat dan hitam dengan besi yang menghiasinya “satu untukmu dan satu untuk saya” 

Riz memberiku sebuah gelang “Ayo pakai! Agar kamu bisa menemukanku kembali jika suatu saat kita tak bersama!” pintanya padaku. Dengan seulas senyum aku memakai gelang pemberiannya. 

“Oh ya, di belakang gelang itu bertuliskan nama kita, lihatlah!” pintanya lagi dengan pancaran mata bias mentari senjanya. 

“Gelangnya bagus dan aku pakai dan... makasih Riz” jawabku di senja itu dengan langkah yang semakin cepat. 

Kami berpisah di depan rumahku, dia menghilang dari pantauan mata. Dia berlari dengan cepat ke arah terminal kota untuk bergegas menaiki angkutan umum menuju rumahnya. Dia berbalik lagi ke arahku “Sampai jumpa besok Za!” tangannya melambaikan ke arahku dan aku membalas lambaiannya. 

**** 

Aku tersenyum mengingat kejadian 10 tahun lalu, Riz memberiku sebuah gelang. Tak sengaja aku menemukan gelang yang telah kusam dimakan usia itu saat aku membereskan berkas pada lemari tua milik ayah. Dibelakang besi itu bertuliskan “Riz & Zaa”. 

Saat itu kami masih berseragam putih merah, kami senang berlari berkeliling kota yang masih lengang dari kendaraan. Jalannya masih tua dan masih banyak hilir mudik orang mengendarai sepeda ontel, termasuk kakekku yang suka menjemputku dengan ontel kesayangannya lalu Riz meminta kakek memboncengnya juga. Kami selalu menikmati sore bersama sesaat pelajaran usai.

Kami sering bermain dingdong di tempat bermain games dan rental komputer yang berjarak 500 m dari arah sekolah kami. Dia sering membelikanku es Ningnong rasa alpukat dengan 250 rupiahnya. Kami sering berjalan kaki untuk melihat pemandangan kota di taman kota atau sekedar melihat para pedagang burung di alun-alun setelah melaksanakan les tambahan sebelum Ujian Nasional tiba. Lalu membeli gulali berbentuk burung dan ayam. Rasanya sangat manis dan terkadang zat pewarnanya melekat pada bibir kami sehingga warna merah atau hijaunya menjadi bulian kami. 

“Za, kamu senang bermain denganku?” tanyanya suatu sore ditengah alun-alun sambil menjilat es potong seharga 250 rupiah. 

“Iya Riz, mana mungkin aku tak senang bermain denganmu. Aku tak punya alasan tak senang bermain denganmu, kalau aku nggak senang bermain denganmu, aku akan main dengan teman-temanku yang lain” jawabku saat itu. 

“Syukurlah!” bisiknya. 

Riz berjanji tak akan meninggalkanku kecuali 2x45 menit “Tenang aja Za, aku nggak akan meninggalkanmu, kecuali kalau aku bermain sepakbola sama teman-teman, mana mungkin kamu bermain sepakbola, bukan?” 

Apa ia masih mengingatku? Masih mengingat persahabatan kita? Masih mengingat janjinya? Aku tak tahu! Entah dimana keberadaannya kini. Kita terpisahkan jarak dan aku tak pernah tahu letak tepat rumahnya. 

Kami tak pernah bertemu lagi setelah pertemuan terakhir. 

“Za, di kelas baruku sekarang ada perempuan bernama Cinta” ceritanya padaku sesaat aku pulang dari asrama. 

“Benarkah?” tanyaku padanya “nama yang bagus, seperti nama tokoh pada film bioskop” ulasku padanya. 

“Iya benar! Film Ada Apa Dengan Cinta. Tapi wajahnya tak secantik dirimu” terangnya padaku, aku tersipu malu. 

“Za, gelangnya masih kau pakai?” 

“Ini!” aku memperlihatkan pergelangan tangan kiriku. 

“Bagus.. bagus..” senyumnya terulas beberapa detik “Kalau saja kamu tak masuk pesantren, kita bisa bermain lagi seperti dulu, mengelilingi taman kota, dan apa kamu tahu alun-alun sudah semakin indah, Za” jelasnya padaku menceritakan alun-alun yang sering kita nikmati bersama. 

“Aku sudah terlanjur masuk pesantren, Riz. Mudah-mudahan kita bisa bermain bersama lagi dan bisa lebih lama lagi” ujarku padanya. 

Kala itu maghrib menjelang dan hujan pun menghujam perlahan. Dia pergi ke arah terminal dan aku masih terpaku di gerbang rumah. Pertemuan itu tak kusangka menjadi yang terakhir kalinya. 

Aku tersenyum sendiri saat melihat lebih dalam lagi gelang pemberiannya. Ingin rasanya bertemu Riz. Apa wajahnya masih bulat dan bulu matanya masih hitam pekat dan lentik? Ternyata aku merindukannya! 

Kukenakan lagi gelang itu dan membersihkannya dari usang yang menempel. Tak bermaksud agar bertemu lagi dengannya tapi untuk membasuh kerinduan kepadanya. Biarlah dia menghilang atau melupakanku, ternyata Riz pergi bukan 2x45 menit tapi 2x5 tahun. 



*Untuk teman yang sampai kini, aku belum bertemu dengannya, Apa Kabar Aji?


13 February 2013

Riz : Aku Tidak Mencintaimu


Kita duduk dibawah pudarnya awan yang menaungi. Melihat masa lalu yang turut pudar ditelan masa. Aku duduk tegap di atas kursi rotan dan kau duduk memangku kaki kananmu di sebelahku. Tanganku erat memeluk satu sama lain. Bibirku berusaha mengulas senyum setiap kau melihatku. Ada kekikukan setelah genap satu tahun kau meninggalkan. Disaat satu hari kau akan menggenapkan masa kampusmu dan satu minggu sebelum kuciran dari topi toga dipindahkan. Saat itu mataku seperti kue bakpao yang tambun setelah kau mengungkapkan bahwa “setiap orang memiliki hak untuk mencintai, dan aku tidak bisa berbicara banyak tentang hal ini dan sungguh aku ke Bandung adalah untuk belajar dan mencari pengalaman, jika ada perempuan yang mencintaiku seperti kamu, maka bahagianya seseorang yang mencintaimu melebihi aku mencintaimu.

Pesan singkat itu kau berikan satu jam setelah aku mengirimimu sebuah surat sederhana yang sebetulnya telah aku tulis beberapa bulan saat kita, -aku dan kau duduk dan becanda bersama-. Disaat kau menggombaliku dan selalu menjadikanku pelarian terakhir saat kau bersuka atau berduka. Aku menaruh sebuah rasa yang kusebut kagum. Hingga akhirnya aku pun menjadikan kau pelarian terakhir untuk mengeluhkan segala kegelisahan, membagi suka dan duka kepadamu.

Kau mengajakku memetakan sebuah kehidupan, mengelilingi dunia adalah impian bersama. Kau menunjukkan beberapa peta yang hendak kau tapaki. Aku melihatmu menggebu menggapai semua itu dan merangsangku agar aku pun sampai bersamamu.

@@@

“Kemana saja kau selama ini?” lamunanku pecah dengan pertanyaan atau entah pernyataan lelaki yang duduk menikmati langit di sebelahku.

Aku tetap menatap langit dari balkon di lantai 12. Aku menata kembali kacamata yang mulai longgar oleh keringat. Perlahan aku menggerakan bibirku yang beberapa saat terkurung oleh hampanya kerinduan. “Aku disini, tidak kemana-mana”

Posisi kakinya bergeser menjauh beberapa senti dari wedges yang aku kenakan. Lelaki itu berdiri mendekati pembatas balkon dan menatap sesekali ke bawah gedung. Dan tidak melihatku sama sekali.

I was fine, Riz” ucapku dengan senyum yang kuulas. Tiba-tiba aku ingin menatapnya kembali setelah beberapa menit lalu kau menatapku di Lobi gedung ini. Itu pertemuan pertama kita semenjak kita memutuskan untuk pergi, aku pergi dan kau pergi.

“Kamu wanita tegar, saya tahu kamu akan baik-baik saja” wajahnya menatapku sekilas cahaya menyentuh, lelaki itu kembali pada pandangan ke satu sudut yang tak aku ketahui.

“Kau yang mengajarkan aku, Riz” lelaki itu yang mengajarkanku betapa aku harus menjadi wanita tegar dan harus sukses dengan tungkai kaki yang kumiliki, tanpanya.

“Maaf” ujung telingaku mendengar dengan samar.

Aku mendekati pembatas yang sedari tadi ia pegang, aku berdiri tepat disebelahnya. “Cinta itu bukan untuk mengucapkan maaf, Riz. Cinta itu bukan kesalahan bukan juga kebenaran. Cinta itu holliness, kesucian. Itu masa laluku. Masa lalu adalah hal yang sangat jauh dari kehidupan. Masa lalu itu seperti kematian sudah tiada dan hanya bisa dikenang saja. Tidak ada yang bisa mengembalikan masa lalu.”

Helaan napasnya mengumbar dengan kasar. “Entah apa yang telah aku lakukan kepadamu saat itu. Setelah nama kita mempunyai gelar, kau tiba-tiba menghilang, aku mencarimu namun kamu tetap seperti bersembunyi,” lelaki itu mengubah posisi berdirinya sehingga ia menatapku separuh badan. “selama ini kamu kemana?”

Badanku tetap berdiri memandang kota Bandung yang begitu luas, melihat awan yang memudarkan putihnya. “Aku ada dan aku baik-baik saja. Riz, Cinta itu bukan pencarian”

“Saya datang agar saya tidak menyesali kembali perlakuan saya padamu, Aku mencintaimu, Za”

Tangisku di hujung dada. Ada rasa dalam senja yang aku tunggu satu tahun lalu. Aku menunggu kalimat itu muncul dari hatinya. Menunggu hingga aku letih dan lunglai di makan rayap.

“Riz, aku mencintaimu” mataku berusaha menatapnya setelah aku memupuk keberanian. “tapi aku mencintaimu sebelum aku menulis surat itu kepadamu, karena aku tahu yang kucinta mencinta yang lain, yang kurindu merindu yang lain, aku mencintaimu dulu bukan untuk sekarang”

Aku kembali mengulas senyum untuknya. Menghadirkan sebuah ketegaran diantara ruang kami yang telah lama mati tertimbun keraguan. Biarkan masa laluku tersimpan di sebuah ruang. Aku menutup rapat dengan keberanianku. Biarkan lelaki itu menikmati pudarnya cinta. Cintaku hanya pada masa lalu. Masa laluku sudah tiada dan hanya pantas untuk dikenang bukan untuk dinikmati kembali.

“Terimakasih, Riz” Aku meninggalkannya di sebuah ruang, diatas kubikan tanah yang kita pijaki. Matahari tidak memudar, tetap hangat menegarkanku dan menyinarinya.



2 June 2012

Retrograde Abdi

by : Nisa Rahmalia 

Gunung Guntur masih diselimuti kabut tebal pagi ini. Aku terpaku disudut sebuah atap bangunan asrama yang sudah setahun ini dijadikan tempat menjemur semua pakaian santri puteri. Dengan kaki merapat karena dingin pagi kota Garut sangat menusuk. Jelas dihadapanku sebuah ciptaan Sang Maha Kuasa. Mantel yang kukenakan basah oleh embun yang jatuh beriringan dengan sinar mentari yang membiaskan cahaya pada genangan air cucian dibawah jemuran. 

Dibawahku tampak kerbau sudah mulai bekerja dengan para petani yang setia mengolah padi menjadi beras. Hamparan hijau yang sangat menyegarkan, karena tak pernah kudapat ditengah hiruk pikuk kota Bandung. Dari kejauhan pepohonan rimbun tampak kecil dibawah kaki Gunung Guntur. Perlahan suara santri yang mengantri makan pagi mulai terdengar riuh. Aku merindukannya. Merindukan setelah sekian tahun meninggalkan tempat ini dan sekarang kembali ke tempat bersejarah bagi hidupku. 

Aku memejamkan mata, menghirup pagi yang segar, mendengar kicau burung, mendengar air mengalir dari irigasi sawah. Ini yang aku rindukan. Ada masa lalu tertinggal disini. Masa lalu yang indah saat bersama Abdi. 

Dia mengajakku bercengkerama di bawah saung di tengah sawah belakang kelas. Disana burung bangau silih berganti menyapa dengan gemulainya menari diantara kami. Sesekali bangau terbang menyapa para petani. Dia mengajakku bermain dengan ilalang yang tumbuh lebat. Bernyanyi dengan gitar kesayangannya dan sesekali kabur dari asrama hanya untuk saling menukar surat cinta. 

Dulu aku santri nakal, beberapa kali pernah mengintipnya dari kaca asrama yang tinggi, sehingga aku harus menggeserkan lemari agar bisa melihatnya bermain sepakbola di halaman utama. Tiba-tiba mata batin kita berbicara. Kau melihatku dan aku dengan malu tersenyum lalu menghilang dari pandanganmu. 

Seringkali saat sore menjelang, diatas kasur tingkat aku melihatmu lari sore dengan sahabat-sahabatmu. Dia sering mengenakan celana kotak biru dongker ketika lari sore, hingga aku ingat hal itu. Lambaian tanganmu di tengah lapangan utama seakan membuatku jatuh pingsan. 

Suatu siang aku pingsan dan dibawa ke UGD rumah sakit Garut, saat mataku terbuka kau telah duduk temaniku dan menyambutku dengan senyuman cerahmu “Kau baik-baik saja, Fatimah?” tanyamu khawatir saat itu. Kau memberiku air susu hangat yang dibeli dimalam hari sesaat sebelum orangtuaku datang. Tapi kau pergi entah kemana saat mereka ada disampingku. Katamu malu jika bertemu dengan orang tuaku. Padahal aku ingin mengenalkanmu, mengenalkan orang yang telah menjagaku dari siang hingga malam tiba. 

Abdi, mungkin kita hanya sebuah cerita saja. hari ini dibawah mentari yang menghangatkan tiba-tiba saja aku mengingatmu. Mengingat apa yang telah kau beri untukku. Begitu baik kau untukku. Tapi berubah 180o sesaat kau jatuh pingsan saat latihan syufu. Aku menyesali hari itu, karna aku tak sempat menemuimu di rumah sakit saat kau mengeram kesakitan. 

Apa kau mengingatku, Abdi? Padahal beberapa hari lagi, ada seorang teman yang akan melamarku. Semenjak Abdi jatuh pingsan dan mengalami hilang ingatan, kami tak pernah bersua lagi. 

“Abdi...!” sapaku sesaat kau kembali dari rumah sakit. Kau hanya mengerutkan kening dan mencoba mengingatku. Kulihat hari itu kau mengepalkan tangan karena amarah pada fikiranmu yang tak kunjung sembuh. 

“Fatimah!” dia mengingatku tapi persekian detik dia berlalu seperti angin berhembus. Kau berlalu tanpa menghiraukanku. Temanku memelukku erat, membasuh airmataku karena dia tahu betapa sakitnya aku, karena kau tak mengenaliku lebih jauh lagi. 

“Abdi, kau mengenaliku?” untuk yang kesekian kalinya aku bertanya lagi saat bertemu di mini market sekolah. 

“Aku mengingatmu, aku ingat!! Aku ingat!!” jawabmu dengan tegas pula kau berlari dengan sepatu yang kuberi beberapa bulan sebelum kau terluka. Kau berbalik dari jauh dan memandangku dengan kerut keningmu. 

Aku membeli gantungan kunci berlogo klub bola kesayangannya “Aku tak punya banyak uang, jadi hanya ini yang bisa aku beli untukmu!” 

“Aku tak menyukai Barcelona” sekali lagi Abdi membuatku menangis, dia melempar gantungan kunci jauh 3 meter dari wajahku. 

Kakaknya mengatakan bahwa Abdi mengalami Retrograde Amnesia, sebuah penyakit hilang ingatan pada peristiwa-peristiwa detail yang pernah ia alami. Airmataku tak bisa terbendung dihadapannya. Kacamataku berembun, bibirku bergetar, kakak perempuannya memelukku, seolah kami telah kenal begitu lama. 

Dear Abdi, 

Aku tunggu kau hari ini di saung belakang kelas. Bawa gitar kesayanganmu. 

Fatimah 


Aku menulis surat pada selembar tissue ketika melihatnya berjalan ke arah kelasnya. Kau mengambil tissue itu dan seperti biasa menghilang seperti angin. Tak ada ucap sepatah kata pun darinya. Bangau terus menari dihadapanku. Sambil menunggu aku menulis sebuah puisi untuknya 

Kau puisiku berbaris diantara sajak yang hampir patah 
Menjadi syair tanpa tanda baca 
Semuanya tandas dan tandus dimakan usia 
Kau nadaku yang tak berirama 
Hukum relativitas tak berguna untukku 
Begitu juga rumusan baku pada sistem keuangan 
Semua nyaris hilang 
Sama sepertimu yang tak bernyawa 
Walau bagaimana pun 
Walau Retrograde mengubah taqdir kita 
Walau ilalang tak tumbuh subur lagi 
Kau tetap menjadi Hamba 
Sama denganku Hamba yang selalu melakukan khilaf 
Dengarlah aku ingin bernyanyi 
Dengan suara parau 
Jika kau tetap tak mendengarku 
Biarlah angin membawa suaraku 
Dengan ribuan atom yang menjadikan partikel dalam ruang sendu 
Kau tetap puisku yang berbaris menjadi sebuah kalimat dalam hitungan detik. 




Sampai suara adzan Ashar berkumandang, kau tak nampak untuk menyembuhkan lukamu, menyembuhkan Retrograde agar kita selamanya, saling bertukar cerita dan bertukar surat cinta dengan diam-diam tanpa diketahui teman-teman. 

Kau memutuskan pindah sekolah ke tempat yang jauh dari Garut, agar kau bisa terapi disana. Berkat bantuan Aqo, salah satu sahabatnya, beberapa surat cinta Abdi untukku beberapa waktu yang lalu diselipkan didalam ranselnya. Aku pun menyimpan beberapa surat cinta Abdi sampai saat ini, dan pernah terbaca oleh Galuh, calon tunanganku, tapi tak sampai hati dia memarahiku karena aku menceritakan semua history Abdi. 

Semilir angin tetap menyelimuti dengan lambat laun matahari semakin meninggi. Aku larut dalam ingatan masa lalu bersama Abdi. Sambil melihat hamparan hijau aku mencoba menarik nafas untuk merefleksikan kembali ketegangan-ketegangan urat persendian. 

Biipp.. ada BBM dari Wisnu 
“Dimana Fatimah? Bentar lagi shooting mau dimulai, kamu mau ikut atau istirahat di ruangan” 

Aku kembali ke asrama untuk melakukan praktikum terakhir mata kuliah Produksi Film. Shooting film yang kelima kalinya selama menjalankan studi Strata 1 di Unisba. Setelah menjadi sutradara di shooting film keempat, kini teman-teman memilihku menjadi Pimpinan Produksi yang merangkap sebagai penulis skenario. 

Karena kelelahan, suhu badan naik drastis saat pertama kali menginjakan kaki di Garut. Hari pertama pengambilan gambar, aku terbaring diatas kasur tapi hari ini aku putuskan untuk melihat shooting film dan sengaja kami mengambil semua pemeran dari santri yang telah kami gembleng selama 3 minggu lamanya. Sekedar untuk menambah pengalaman baru bagi mereka di dunia perfilman. 

“Ikut ke lapangan, Fatimah?” tanya Afthon sebagai sutradara film kali ini. 

Aku mengulas senyum hangat kepadanya “Iya dong! Mau liat anak-anak acting, penasaran nih!” jawabku padanya. 

“Good Job!” ucapnya. 

Ditengah shooting aku kabur ke belakang kelas. Masih ada saung disana, tapi sudah lebih bagus, aku lihat ada beberapa potong kue ubi dan sebuah teko butut disana. Tiba-tiba ada petani menghampiriku. 

“Cari siapa neng?” tanyanya padaku dengan kebingungan tampak pada raut wajahnya. 

“Eng-enggak kok Pak, sa-ya cu-man nengok aja kesini, sa-ya alumni pesantren” jawabku dengan terbata-bata karena kaget disapa tiba-tiba. 

“Ooohh.. alumni, sok atuh neng mangga calik![1]” pinta petani padaku 

“Iya Pak, terimakasih. Enggak akan lama kok Pak, cuman nengok aja!” jawabku sambil berlalu. 

Aku pergi berjalan diatas tanah setapak yang sedikit becek. Lalu pergi ke arah timur pesantren, dengan bantuan sebuah camera digital ditangan aku mengambil beberapa gambar yang masih kental aroma desanya. Aku melewati sebuah bangunan yang dulu tumbuh ilalang setinggi 100 meter. 

Kembali dari jalan-jalan singkat aku duduk bersama Afthon di balik layar televisi yang memuat gambar dari kamera satu. Aku memperhatikan santri beracting di depan kamera. Sesekali take harus di ulang karena salah intonasi atau salah bergerak, hal itu biasa untuk pemula. Sesekali aku turun ke lapangan membantu mereka agar sesuai dengan keinginan sutradara. Dan tak jarang pula aku menjadi objek di depan kamera terlebih dahulu. 

Kembali lagi aku duduk, dan mataku tertuju pada bangunan didepan mata. Abdi. Ucapku dalam hati. Bukan, itu bukan Abdi. Untuk apa Abdi ada disini? Untuk menyapaku? Untuk melihatku praktikum? Aku tak tahu nomor kontaknya, aku tak memberi kabar kepadanya. Semakin jelas wajah itu mendekat dan terus mendekat, matanya semakin dekat semakin tampak hitam, hidungnya semakin jelas tajamnya, tidak ada fatamorgana. Mataku mengikutinya dan terus mengerutkan kening, hingga matanya tepat pada lensa mataku. 

Lututku lemas, tak mampu berdiri menyapanya. Dia melihatku dan terus berlalu ke arah asrama putera. Wajahku memutar 90o ke arahnya. Wajahnya tetap menatap kedepan meski beberapa detik dia menangkap mataku. Abdi. Dia ada disini. 

Saat cofeebreak tiba, aku berjalan menuju asrama. Di dapur asrama secangkir teh hangat dalam gelas beling transparan terlihat sangat cokelat keemasan tepat didepan seorang pria bertubuh tegap dengan koran yang dibacanya. Dengan tegar aku menghampirinya. 

“Assalamu’alaikum” sapaku. 

“Wa’alaikumsalam” jawabnya dengan sedikit kaget dan ragu. Dia menatap wajahku dan mengerutkan keningnya “Fatimah!?” ucapnya dengan suara rendah. 

“Abdi, kau mengingatku?” 

“Iya, tentu aku mengingatmu!” jawabnya tanpa ragu tapi aku ragu sejauh mana ia mengingatku. Sejauh aku mengingatnya? Atau sejauh ia mengingatku dengan lemparan gantungan kunci Barcelona? 

“Syukurlah, aku kira kau tak ingat padaku!” dengan mata penuh harap agar ia mengingatku lebih jauh dan lebih dalam lagi. 

“Kau yang selalu memaksaku agar aku mengingatmu beberapa tahun yang lalu” ucapnya. 

Dia mengingatku sejauh dia mengingat gantungan kunci yang dilemparnya. Bibirku ngilu, panas badanku tiba-tiba naik beberapa celcius, mataku menjatuhkan airmata. 

“Kamu tidak apa-apa, Fatimah?” tanyanya sesaat air mataku jatuh, persis seperti dia bertanya saat aku terbaring di UGD. 

“Oh.. engg-nggak apa-apa Abdi, kemarin aku sedikit demam dan sekarang sedikit memaksakan diri, oh iya kenapa kamu ada disini?” alih pembicaraan menjadi jurus jitu untuknya. 

“Baru 2 bulan aku mengajar Bahasa Inggris disini, menggantikan Mr. Adam karena dia harus pergi ke Arizona untuk satu tahun” ujarnya. 

Kami pun sedikit bertukar cerita tentang kedatanganku ke pesantren dan kehadirannya disini. Aku tak sampai hati terus berlanjut pada cerita yang lebih dalam. Dan tak ingin menceritakan masa lalu itu. 

Sesampai di ruang tamu aku beristirahat sejenak untuk menarik nafas, tiba-tiba Galuh datang dari Bandung dengan sebungkus makanan ringan. 

“Fatimah, sakit apa sayangku?” tanyanya padaku dengan kekhawatiran lalu menatapku dengan seksama. 

“Cuman kecapean aja, aa!” jawabku. 

“Sudah makan obat?” seketika teman-teman menggoda kami karena perhatian Galuh memang sangat luar biasa untukku 

“Udah, jangan gitu aa, malu ama temen-temen” ucapku padanya. 

“Biarin aja sayang, mereka belum merasakan sayang kepada seseorang sih” ucapnya dengan tawa khasnya. 

Kami pun larut dengan cerita kami, Galuh dengan pekerjaannya sebagai Sound Engginering di sebuah perusahaan perfilman dan aku dengan cerita sakitku dihari pertama shooting. Aku tak mempertemukan Abdi dengan Galuh meski saat itu mereka ada ditempat yang sama. Biar saja mereka berperan dengan perannya yang begitu spesial bagi masa laluku dan untukku hari ini. 

Dengan yakin aku dan Galuh bertunangan setelah kepulanganku dari Garut dan kami memutuskan untuk segera menikah seteleh selesai aku wisuda. Bagiku Galuh lebih luar biasa dari Abdi dan aku sangat bersyukur dia memilihku untuk menjadi calon ibu bagi anak-anaknya kelak. 




[1] Silahkan duduk! 

Bunga Rose Untuk Isteriku


Karya : Nisa Rahmalia


Bahagianya setiap shubuh menjelang, segelas susu cokelat telah siap disantap. Terkadang ditemani roti selai strawberry, terkadang pula dengan gorengan panas yang baru diangkat dari wajan. Isteriku memang sholehah, seperti namanya Sholeha. Semua yang kusuka dia siapkan dengan senang hati dengan penuh senyum tulus saat ku tatap wajah lembutnya.
Pagi yang indah terkalahkan oleh pesona isteriku yang sudah cantik menunggu kepulanganku dari mesjid setelah melaksanakan sholat shubuh. Mataku berbinar melihatnya, wajahnya tetap lembut dan selalu berias hanya untukku. Aku selalu berfikir kapan dia menyediakan semua keperluanku, keperluan anak-anakku, makanan yang sehat untukku dan untuk anak-anakku, apakah dia lelah? Ataukah bosan?
Semenjak aku menikahinya semua waktuku berubah seratus delapan puluh derajat. Kesholehannya yang membuatku terus mengejarnya. Rumah kami hanya terhalangi oleh beberapa rumah tua dan sebuah bangunan sekolah. Akan tetapi, aku hanya bisa menemuinya pada waktu ‘Idul Fitri saja. kesholehannya yang menata waktuku menjadi seperti itu.
“Kamu bukan mahramku, maka tidak baik jika kita terlalu sering bertemu” ucapnya dengan seulas senyum di teras rumah ketika ‘Idul Fitri sepuluh tahun yang lalu.
“Aku tidak akan mengajakmu keluar rumah, Sholeha. Aku akan menemuimu disini, ditemani Abah dan Umi-mu” tegasku padanya.
Dia hanya tersenyum lembut, kerudungnya yang lebar menyapu wangi hari keberkahan saat itu. Semakin aku mengagumi gadis itu, semakin aku ingin mengejarnya sekalipun ada yang harus aku korbankan.
Dengan keberanian aku menghadap Abi yang sedang mengkaji sebuah buku di suatu malam “Aku ingin menikahi Sholeha, Abi!” wajah Abi merautkan ribuan pertanyaan. Sedikit demi sedikit ia merubah posisi duduknya. Buku yang beliau baca secara perlahan diletakkan diatas meja, kacamata tebalnya ia lepas secara perlahan seolah tak ada rantai yang menggantung di lehernya.
“Abi, aku ingin menikahi Sholeha” ucapku dengan penuh keyakinan.
Deheman Abi terasa menyeramkan malam itu. Abangku yang sedang duduk di dekat kami menoleh dan langsung pergi dari tempatnya, ia tahu pembicaraan itu hanya untuk kami berdua.
“Kapan kau ingin menikahinya, Irfan?” tanyanya membuatku ingin menangis bahagia.
“Secepatnya!” jawabku singkat.
Keluarga kami memang sudah kenal satu sama lain, sebelum aku dan Sholeha menjadi manusia dewasa kami pernah bertemu bahkan bermain ketika ada acara pengajian atau hari-hari besar seperti ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha. Semakin dewasa, Sholeha semakin cantik dan semakin sholehah seperti namanya. Sebagai lelaki dewasa aku semakin mengaguminya. Secara terbuka aku mengungkapkan rasa cinta itu kepada Sholeha, juga kepada kedua orangtuaku.
“Umi, restui aku dan Sholeha jika kita menikah nanti, ya! Karna do’a Umi yang selalu aku tunggu agar surga menjadi harapan kami” ibuku tersenyum dan mengusap kepalaku dengan lembut.
“Jadilah suami yang sholeh untuknya, karena perempuan yang sholehah hanya untuk laki-laki yang sholeh” ucapnya dengan panacaran mata tegas.
Ijab kabul pun terlaksana dengan secara sederhana, keluarga yang hadir saat itu terus mengucurkan do’a-do’anya untuk kami. Saat ijab kabul usiaku baru menginjak 21 tahun sedangkan Sholeha baru berumur 20 tahun saat itu pula kami masih belajar di perguruan tinggi. Pada dua tahun pertama usia pernikahan kami, seluruh keperluan masih tanggung jawab orang tua masing-masing termasuk biaya kuliah. Walau keadaan keuangan kami masih minim saat itu, aku tidak mengizinkan Sholeha untuk KB. Aku yakin Allah mengetahui kesiapan kami mempunyai anak, jika Ia berkehendak maka dengan Kun Fayakun-nya mudah menjadikan benih dalam rahim Sholeha. Ditahun ketiga ketika aku dan Sholeha menjadi guru honorer dengan siap aku memutuskan agar kedua orang tua kami tidak terus mengalirkan uangnya untuk kami.
“Umi!” ucapku pada Sholeha seusai makan malam di rumahku.
“Iya ada apa Abi?” dengan gesit ia menghampiriku tentu dengan senyum yang selalu lembut di bibirnya.
“Abi punya cerita untuk Umi, apa Umi mau mendengar cerita Abi?” tanyaku padanya.
“Tentu Abi, Umi ingin sekali mendengar cerita Abi!” Sholeha mengubah posisi duduknya, matanya menatapku dengan berbinar, ia telah siap mendengar ceritaku.
“Umi, ada dua orang gadis cantik jelita nan rupawan, kedua gadis itu mempunyai bunga rose cantik yang sangat mereka cintai” perlahan aku mengela nafas panjang untuk menjeda ceritaku “lalu gadis cantik jelita nan rupawan yang pertama memetik bunga rose tersebut karena rasa sayang yang menggebu, gadis itu tak mau ada orang yang mengambil bunga rose dari halaman rumahnya. Dengan lembut dia mengusap bunga rose tersebut, mengajaknya tidur bersama, memeluknya, menciuminya setiap hari”
“Lalu?” tanya isteriku.
“Setelah itu gadis cantik jelita nan rupawan yang kedua pun sangat menyayangi bunga rose yang dimilikinya. Akan tetapi sikap gadis yang kedua ini berbeda dengan gadis yang pertama. Gadis cantik jelita nan rupawan yang kedua memagari bunga rose agar tidak dimakan oleh binatang, dia menyiraminya setiap pagi dan sore, hingga tumbuh subur dan berkembang biak. Setiap orang yang melewati rumahnya selalu mencium harum bunga rose, mereka selalu melihatnya dengan terpesona. Ketika orang-orang ingin memetiknya mereka berfikir berulang-ulang karena bunga rose tersebut milik gadis cantik jelita nan rupawan tersebut.” Sholeha mendengarkan ceritaku dengan seksama, matanya semakin berbinar, bibirnya pun semakin merekahkan senyum.
Kini usia pernikahan kami hampir menginjak di usia dua belas tahun. Akan tetapi sikap Sholeha sama seperti pertama kali aku menikahinya. Berbeda dengan mitos-mitos yang selalu aku dengar yang katanya semakin tua usia pernikahan maka semakin jarang pula melihat keindahan isteri. Hal itu sama sekali tidak benar untuk kehidupanku. Semakin bertambah usia, semakin aku menyayanginya, semakin pula aku melihatnya dengan anggun walau dia telah melahirkan 2 orang putra untukku.
“Abi, apa Umi boleh kuliah lagi?” tanyanya padaku, wajahnya sedikit ragu menatapku “karna Umi fikir, Haikal dan Rezki sudah cukup untuk Umi tinggalkan, Umi pun akan mengambil kelas karyawan. Itu pun jika Abi mengizinkan”
“Umi, apa umi masih ingat cerita bunga rose?”
“Masih ingat Abi, gadis cantik jelita nan rupawan itu kan? Abi, sebetulnya umi belum paham maksud cerita tersebut, bunga rose itu siapa?”
Aku mencari posisi duduk agar bisa menatap wajah isteriku “Bunga rose itu Abi, nah gadis cantik jelita nan rupawan itu Umi, sekarang Abi nanya ke Umi, Umi memilih menjadi gadis yang pertama atau yang kedua”
“Gadis kedua” jawab Sholeha “karena Umi ingin melihat Abi sukses dan orang-orang tau hal itu, Abi juga harus menyebarkan keharuman seperti bunga rose itu untuk masyarakat, menjadi Abi yang sangat berharga untuk keluarga dan masyarakat”
“Memang Umi ini isteri yang sholehah, ya?” kagumku padanya.
“Abi bisa saja ya merayu Umi. Kalau begitu Umi harus dirumah saja ya, Bi?” tanyanya kembali.
“Gadis cantik jelita nan rupawan itu harus menyiram bunga rose agar bunga rose bisa tumbuh dan berkembang, akan tetapi gadis cantik itu harus menyiram dan mewarat bunga rose dengan tekhnik yang benar agar bunga rose tidak mati” uacapku padanya.
“Maksud Abi?” dengan kening yang mengerut Sholeha sedikit kebingungan.
“Umi harus banyak belajar lagi agar bisa merawat bunga rose tumbuh dan berkembang dengan baik dan menjadi harum sepanjang masa”
“Umi boleh kuliah, Abi?” aku mengangguk tegas kepadanya. Sholeha mencium punggung telapak tanganku mengucap terimakasih kepadaku.
“Terimakasih Abi, Umi janji akan merawat bunga rose dan menyiraminya agar menjadi bunga yang harum sepanjang masa” aku pun mencium keningnya yang lembut.
Kini setiap pagi di hari sabtu dan minggu aku mengantarkannya ke salah satu universitas pilihannya. Sholeha memilih fakultas pendidikan sama seperti yang ia pilih saat mengambil Strata Satu. Walaupun kesibukan Sholeha bertambah dengan tugas-tugas kuliah dan tugas mengajarnya, Sholeha tetap sama seperti saat pertama kami menikah.
Dia berusaha menyirami bunga rose dan keturunanya dengan segala usahanya. Meski waktu yang dimiliki hanya sedikit dia tetap mencabuti rumput liar disekeliling bunga rose, dia merawatnya dan terus menjaganya. Tak tampak sedikitpun keletihan yang terpancar dari wajahnya, kulihat senyum selalu menghiasi wajahnya saat menyiram bunga rose. Semga bunga rose tumbuh dan berkembang juga menyebarkan wanginya sepanjang masa.