Ada sebongkah senyuman yang tergurat dari wajahmu. Keningmu yang selalu mengerut dari lelucon-lelucon garingku tersibak oleh angin dingin 18oC di dalam ruangan yang penuh dengan peralatan kesayangan kita. Kamera HDV yang berdiri tegak menfokuskan lensa ke arahku yang tetap memandangmu dari jauh mata memandang. Keheningan yang kuinginkan agar masuk ke dalam ulu hatimu pun hanya angan-angan semata, kebisingan sahabat-sahabatku yang sedang asik mensetting berbagai alat shooting mengaburkan konsentrasiku. Namun satu yang kuingat darimu, senyummu merekahkan hatiku.
“Sedang apa?” tanya kau dari ujung laptopmu ke sebuah chatting media sosial. Mungkin ada kegerogian sendiri saat kau bertanya langsung kepadaku, pikirku.
“Sedang nongkrong, liat orang kece” tulisku dengan cermat “dan itu adalah kamu” ujarku dalam hati.
“Terimakasih” ketikmu, dan kau memandangku, melihatku dengan senyummu lagi.
“Iya, sama-sama”
Diantara kebisingan aku menikmati kata demi kata yang kau tulis, aku mencermati dan merasakan detik demi detik waktu berdetak. Aku tak ingin beranjak dari layar laptop. Menunggu pesanmu kembali yang menghancurkan kebisingan menjadi kemanjaanku bersama waktu.
“Kamu tertarik go aboard Zahra?” lanjutnya di chatting siang itu.
“Iya Riz, Banyak negara yang ingin aku pijaki”
“Salah satunya?”
“Jerman, Belanda, Australia, Inggris, Spanyol, Paris”
“Mekkah?”
“Itu nomor pertama” tegasku.
Jarak kita seakan terpisah oleh samudera dan terpisah lantunan detik. Namun nyatanya udara mengikat kita dalam satu ruang, tak hampa, karena dikelilingi orang yang selalu meneguhkan saat kita lemah, menyejukan saat gersang melanda dan menyinari saat gelap menyelimuti.
“Aku ingin melihat dunia tahun depan, kau mau?” Riz menghancurkan lamunanku.
“Boleh, taun depan kita mulai keliling dunia” jawabku
“Iya, kamu mau kemana dulu?
“Aku mau ke New Zealand lalu ke Ausie”
“Negara yang akan aku kunjungi pertama adalah Mesir” wajah ketegasannya aku lihat dari spion lonjong motornya.
“Kenapa?”
“Ketika aku kesana,” tiba-tiba aku memotongnya “Kairo? Ternyata kamu pernah kesana? Wuidih keren...” ia pun menceritakannya kembali “iya, beberapa tahun lalu, aku pernah menyoreti tembok kedubes RI di London, nah, sesampainya disana aku mau liat tulisan itu”
“keliatan banget Indonesianya” tuturku dengan simbol senyum menyeringai.
Akhirnya kita bercerita tentang sebuah impian, yaitu keliling dunia, melihat kota-kota bersejarah yang pernah melahirkan ilmuwan-ilmuwan dunia. Hingga akhirnya Spanyol menjadi tempat terakhir kami untuk bertemu dan menapaki janji dengan harapan yang sangat besar.
“Spanyol yah taun depan”
“Oke, siapa takut” jawabku.
Satu diantara cerita kita adalah memuat negara-negara yang ingin dikunjungi, setiap hari dia mengingatkanku untuk tetap menatap dan menata masa depan dengan optimis. Itu yang membuatku tak ingin kehilangannya. Mengajariku betapa dunia akan indah jika kita bernyanyi untuk orang lain. Indah dan selalu menjadi catatanku di setiap waktu berjalan. Kita harus bertemu di satu titik impian kita. Impian adalah sebuah harapan sehingga kehidupan akan terasa bergairah.
No comments:
Post a Comment