Karya : Nisa Rahmalia
Islamic Bandung University
Kewenangan merupakan
syaraf yang berfungsi sebagai penggerak dari berbagai kegiatan-kegiatan.
Wewenang dalam diri yang bersifat formal harus didukung pula dengan wewenang
bersifat informal, untuk mendapatkan kerjasama yang baik dengan bawahan.
Wewenang juga sangat dipengaruhi oleh Ilmu Pengetahuan, kepemimpinan dan
pengalaman. Wewenang berfungsi untuk menjalankan kegiatan-kegiatan yang ada
dalam sebuah organisasi.
Mary
Parker Follett mengatakan bahwa kewenangan dari pimpinan dapat hilang apabila
ia (pimpinan) tidak mendapat persesuaian dengan para bawahannya. Oleh karena
itu Mary P. Follett menganjurkan bahwa suatu kerja sama (team work) antara
pimpinan dan bawahan adalah mutlak. Kepemimpinan dan kewenangan bukan merupakan
pengertian yang tunggal (single) tetapi jamak (plural), karena menyangkut
banyak orang yang bekerja dalam organisasi itu.
Kewenangan
(authority) menurut Miss M.P.Follett bukan kedudukan (position), bukan
suatu hak yang legal (menurut hukum) dan juga bukan sekedar mengepalai
orang-orang ataupun mengeluarkan perintah. Kewenangan (authority) adalah
usaha mempengaruhi bawahan yang merupakan suatu integrasi atas dasar konsensus
secara suka rela. Apabila bawahan diberikan pengertian dengan
kenyataan-kenyataan yang ada dan diajak berbicara bersama dalam suatu situasi
yang baik, tidak perlu perintah selalu diberikan, tetapi dengan memberikan
suatu prosedur kerja yang baik adalah lebih efektif daripada selalu
mengeluarkan perintah. Atas dasar teorinya ini Miss P. Follett tidak hanya
meletakkan asas-asas hubungan antar manusia (human relation) dalam
administrasi/managemen, tetapi juga dinamika daripada kelompok pekerjaan dan
teknik daripada hubungan perburuhan yang modern.
Kewenangan atau
otoritas merupakan sebuah hak untuk melimpahkan sebuah pekerjaan untuk mencapai
suatu tujuan. Kewenangan pun akan menjadi nyata jika diterima. Chester Barnard, mengatakan kewenangan terletak pada
persetujuan yang mempunyai daya kekuatan (potentiality of assent) yaitu
yang tersebar luas berujud kesetiaan, kesadaran anggota tentang tujuan bersama daripada
organisasi itu. Maksudnya ialah kesetiaan dan kesadaran melaksanakan tujuan
daripada suatu program, sekalipun para pejabat yang terendah mempunyai
kewenangan yang nyata (actual power) untuk mengambil keputusan yang
terakhir dalam batas wewenangnya.
Kewenangan
merupakan suatu fungsi kemauan untuk bekerjasama. Barnard menyebutkan empat
syarat yang harus dipenuhi sebelum seseorang menerima sebuah pesan yang
bersifat otoritatif, yaitu :
1. Orang tersebut memahami pesan yang dimaksud, karena apabila yang dikirim pesan tidak
memahami pesan yang dimaksud secara jelas, maka tidak bisa merespon pesanya
secara benar (miscommunication).
2. Orang tersebut percaya bahwa suatu pesan tersebut tidak
bertentangan dengan tujuan organisasi, karena
pesan yang disampaikan disini yaitu sebuah pesan secara otoritatif (mempunyai
kewenangan/kekuasaan) jadi jelas tidak bertentangan dengan tujuan organisasi.
3. Orang tersebut percaya bahwa pada saat ia memutuskan untuk
bekerjasama, bahwa pesan yang dimaksud sesuai dengan minatnya, karena apabila tidak sesuai dengan minatnya maka
pesan tersebut akan diabaikan
4. Orang tersebut mempunyai kemampuan fisik dan mental untuk
melaksanakan pesan, karena
agar bisa menindak lanjuti apa yang telah disampaikan.[1]
Empat premis
diatas terkenal dengan Teori Penerimaan Kewenangan, yakni kewenangan yang
berasal dari tingkat atas organisasi. Barnard menunjukan bahwa banyak pesan
tidak dapat dianalisis akan tetapi kebanyakan arahan, perintah dan pesan
perusasif termasuk ke dalam zona acuh tak acuhnya seseorang (zone of indifference).
Untuk
menggambarkan gagasan tentang zone of
indifference, bayangkanlah suatu garis horizontal yang mmepunyai skala 0%
sebagai titik pusatnya dan 100% dikedua ujungnya. Semakin lebar zona tersebut,
semakin menjauh ia memanjang menuju ujung-ujungnya. Kemauan 100% untuk
bekerjasama memperlihatkan zona yang memanjang dengan kedua arahnya menuju skala
100%. Suatu penolakan yang mutlak (arahan, perintah, permohonan) menunjukann
suatu zona yang arahnya nol.
Mau Penolakan Mau
Wewenang yang
dikemukakan dalam sebuah pesan dalam sebuah organisasi dirancang untuk
memperlebar zona acuh tak acuh pegawainya. Maka setiap bawahan akan berbeda
respon dalam zona tersebut, ada bawahan yang menerima dengan legowo, ada bawahan yang sedikit
menerima bahkan adapula yang dengan jelas menolaknya.
Dalam hal ini
maka Barnard di akhir tahun 1930 mengembangkan komunikasi sebagai suatu
dinamika yang penting dalam ilmu perilaku organisasi. Maka agar wewenang
seseorang dapat diterima oleh bawahannya diperlukan :
1. Kekuasaan (power), yaitu kekuatan untuk melakukan
hak tersebut, dengan cara mempengaruhi individu, kelompuk ataupun keputusan.
Menurut jenisnya kekuasaan dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Kekuasaan
posisi, besarnya kekuasaan tergantung pada posisi orang tersebut. Semakin
tinggi posisi maka semakin tinggi kekuasaannya.
b. Kekuasaan
pribadi, kekuasaan ini berasal dari pengikut. Semakin banyak pengikutnya maka
semakin tinggi kekuasaannya.
2. Tanggung jawab
dan akuntabilitas, tanggung jawab atau responsibility ialah memenuhi kewajiban
untuk melakukan sesuatu yang timbul bila seorang bawahan menerima wewenang dari
atasan. Akuntabilitas permintaan pertanggungjawaban untuk diperhatikan bahwa
wewenang yang diberikan harus sama dengan besarnya tanggung jawab yang akan
diberikan, dan memberikan kebebasan atas keputusan-keputusan yang akan diambil.
3. Pengaruh (influence) ialah transaksi dimana
seseorang akan dibujuk oleh orang lain untuk melaksanakan suatu kegiatan yang
sesuai dengan harapan orang yang mempengaruhi. Pengaruh dapat timbul dari
status jabatan, kekuasaan atau penguasaan komunikasi yang lebih baik.
Barnard
menyamakan kewenangan dengan komunikasi yang efektif. Penolakan suatu
komunikasi sama dengan penolakan kewenangan komunikator. Dengan menerima suatu
pesan atu perintah dari orang lain, seseorang memberikan kewenangan kepada
perumus pesan dan karenanya menerima kedudukannya sebagai bawahan.[2]
Karena
itulah Tannenbaum menyatakan bahwa “luas kewenangan yang dimiliki seorang
atasan ditentukan oleh luas penerimaan” bawahannya. Keputusan untuk tidak
menerima kewenangan dan pesan seorang atasan karena tak menghasilakan
keuntungan yang memadai, dapat menghasilkan kerugian seperti penghukuman,
kerugian uang atau pertentangan sosial. Dalam beberapa organisasi kekhawatiran
akan tindakan-tindakan pemaksaan itu mungkin menghasilkan kemauan untuk
menerima suatu pesan, sedangkan kerugian tersebut malah tidak mengahsilkannya.
Terlepas
dari kaitan yang erat antara kewenangan dan komunikasi, Barnard menganggap
teknik-teknik komunikasi (tertulis dan lisan) penting untuk mencapai tujuan
organisasi akan tetapi menganggap teknik-teknik tersebut sebagai sumber masalah
organisasi.[3]
“teknik-teknik komunikasi menentukan bentuk dan ekonomi internal organisasi.
ketiadaan teknik yang sesuai akan menghilangkan kemungkinan menerima tujuan
sebagai suatu dasar organisasi”. maka, terutama Barnad-lah yang menjadikan
komunikasi sebagai suatu bagian yang penting dari teori organisasi dan
manajemen. Tampaknya ia sepenuhnya yakin bahwa komunikasi merupakan kekuatan
organisasi.
Dalam
bukunya yang berjudul The Funcionts of
Executive Barnard menjelaskan bahwa pengertian dan pemahaman pesan dalam
berkomunikasi harus terjadi sebelum otoritas itu dapat dikomunikasikan dari
atasan kepada bawahannya. Chester Barnard mendaftar tujuh faktor komunikasi
yang berperan dalam menciptakan dan memelihara otoritas yang objektif di dalam
sebuah organisasi :
1. Saluran
komunikasi harus diketahui secara pasti
2. Harus ada
saluran komunikasi formal dalam setiap organisasi
3. Komunikasi harus
berjalan secara efektif dan efisien
4. Garis komunikasi
formal keseluruhannya hendaknya dipergunakan secara normal
5. Orang-orang yang
bekerja sebagai pengatur jalur komunikasi haruslah orang yang cakap
6. Garis komunikasi
seharusnya tidak dapat gangguan sementara organisasi sedang berfungsi
7. Setiap
komunikasi haruslah disahkan
No comments:
Post a Comment