Karya : Nisa Rahmalia
Bahagianya setiap shubuh menjelang, segelas susu
cokelat telah siap disantap. Terkadang ditemani roti selai strawberry,
terkadang pula dengan gorengan panas yang baru diangkat dari wajan. Isteriku
memang sholehah, seperti namanya Sholeha. Semua yang kusuka dia siapkan dengan
senang hati dengan penuh senyum tulus saat ku tatap wajah lembutnya.
Pagi yang indah terkalahkan oleh pesona isteriku
yang sudah cantik menunggu kepulanganku dari mesjid setelah melaksanakan sholat
shubuh. Mataku berbinar melihatnya, wajahnya tetap lembut dan selalu berias
hanya untukku. Aku selalu berfikir kapan dia menyediakan semua keperluanku,
keperluan anak-anakku, makanan yang sehat untukku dan untuk anak-anakku, apakah
dia lelah? Ataukah bosan?
Semenjak aku menikahinya semua waktuku berubah
seratus delapan puluh derajat. Kesholehannya yang membuatku terus mengejarnya.
Rumah kami hanya terhalangi oleh beberapa rumah tua dan sebuah bangunan
sekolah. Akan tetapi, aku hanya bisa menemuinya pada waktu ‘Idul Fitri saja.
kesholehannya yang menata waktuku menjadi seperti itu.
“Kamu bukan mahramku, maka tidak baik jika kita
terlalu sering bertemu” ucapnya dengan seulas senyum di teras rumah ketika
‘Idul Fitri sepuluh tahun yang lalu.
“Aku tidak akan mengajakmu keluar rumah, Sholeha.
Aku akan menemuimu disini, ditemani Abah dan Umi-mu” tegasku padanya.
Dia hanya tersenyum lembut, kerudungnya yang lebar
menyapu wangi hari keberkahan saat itu. Semakin aku mengagumi gadis itu,
semakin aku ingin mengejarnya sekalipun ada yang harus aku korbankan.
Dengan keberanian aku menghadap Abi yang sedang
mengkaji sebuah buku di suatu malam “Aku ingin menikahi Sholeha, Abi!” wajah Abi
merautkan ribuan pertanyaan. Sedikit demi sedikit ia merubah posisi duduknya.
Buku yang beliau baca secara perlahan diletakkan diatas meja, kacamata tebalnya
ia lepas secara perlahan seolah tak ada rantai yang menggantung di lehernya.
“Abi, aku ingin menikahi Sholeha” ucapku dengan
penuh keyakinan.
Deheman Abi terasa menyeramkan malam itu. Abangku
yang sedang duduk di dekat kami menoleh dan langsung pergi dari tempatnya, ia
tahu pembicaraan itu hanya untuk kami berdua.
“Kapan kau ingin menikahinya, Irfan?” tanyanya
membuatku ingin menangis bahagia.
“Secepatnya!” jawabku singkat.
Keluarga kami memang sudah kenal satu sama lain,
sebelum aku dan Sholeha menjadi manusia dewasa kami pernah bertemu bahkan
bermain ketika ada acara pengajian atau hari-hari besar seperti ‘Idul Fitri
atau ‘Idul Adha. Semakin dewasa, Sholeha semakin cantik dan semakin sholehah
seperti namanya. Sebagai lelaki dewasa aku semakin mengaguminya. Secara terbuka
aku mengungkapkan rasa cinta itu kepada Sholeha, juga kepada kedua orangtuaku.
“Umi, restui aku dan Sholeha jika kita menikah
nanti, ya! Karna do’a Umi yang selalu aku tunggu agar surga menjadi harapan
kami” ibuku tersenyum dan mengusap kepalaku dengan lembut.
“Jadilah suami yang sholeh untuknya, karena
perempuan yang sholehah hanya untuk laki-laki yang sholeh” ucapnya dengan
panacaran mata tegas.
Ijab kabul pun terlaksana dengan secara sederhana,
keluarga yang hadir saat itu terus mengucurkan do’a-do’anya untuk kami. Saat
ijab kabul usiaku baru menginjak 21 tahun sedangkan Sholeha baru berumur 20
tahun saat itu pula kami masih belajar di perguruan tinggi. Pada dua tahun
pertama usia pernikahan kami, seluruh keperluan masih tanggung jawab orang tua
masing-masing termasuk biaya kuliah. Walau keadaan keuangan kami masih minim
saat itu, aku tidak mengizinkan Sholeha untuk KB. Aku yakin Allah mengetahui
kesiapan kami mempunyai anak, jika Ia berkehendak maka dengan Kun Fayakun-nya
mudah menjadikan benih dalam rahim Sholeha. Ditahun ketiga ketika aku dan
Sholeha menjadi guru honorer dengan siap aku memutuskan agar kedua orang tua
kami tidak terus mengalirkan uangnya untuk kami.
“Umi!” ucapku pada Sholeha seusai makan malam di
rumahku.
“Iya ada apa Abi?” dengan gesit ia menghampiriku
tentu dengan senyum yang selalu lembut di bibirnya.
“Abi punya cerita untuk Umi, apa Umi mau mendengar
cerita Abi?” tanyaku padanya.
“Tentu Abi, Umi ingin sekali mendengar cerita Abi!”
Sholeha mengubah posisi duduknya, matanya menatapku dengan berbinar, ia telah
siap mendengar ceritaku.
“Umi, ada dua orang gadis cantik jelita nan rupawan,
kedua gadis itu mempunyai bunga rose cantik yang sangat mereka cintai” perlahan
aku mengela nafas panjang untuk menjeda ceritaku “lalu gadis cantik jelita nan
rupawan yang pertama memetik bunga rose tersebut karena rasa sayang yang
menggebu, gadis itu tak mau ada orang yang mengambil bunga rose dari halaman
rumahnya. Dengan lembut dia mengusap bunga rose tersebut, mengajaknya tidur
bersama, memeluknya, menciuminya setiap hari”
“Lalu?” tanya isteriku.
“Setelah itu gadis cantik jelita nan rupawan yang
kedua pun sangat menyayangi bunga rose yang dimilikinya. Akan tetapi sikap
gadis yang kedua ini berbeda dengan gadis yang pertama. Gadis cantik jelita nan
rupawan yang kedua memagari bunga rose agar tidak dimakan oleh binatang, dia
menyiraminya setiap pagi dan sore, hingga tumbuh subur dan berkembang biak.
Setiap orang yang melewati rumahnya selalu mencium harum bunga rose, mereka
selalu melihatnya dengan terpesona. Ketika orang-orang ingin memetiknya mereka
berfikir berulang-ulang karena bunga rose tersebut milik gadis cantik jelita
nan rupawan tersebut.” Sholeha mendengarkan ceritaku dengan seksama, matanya semakin
berbinar, bibirnya pun semakin merekahkan senyum.
Kini usia pernikahan kami hampir menginjak di usia dua
belas tahun. Akan tetapi sikap Sholeha sama seperti pertama kali aku
menikahinya. Berbeda dengan mitos-mitos yang selalu aku dengar yang katanya
semakin tua usia pernikahan maka semakin jarang pula melihat keindahan isteri.
Hal itu sama sekali tidak benar untuk kehidupanku. Semakin bertambah usia,
semakin aku menyayanginya, semakin pula aku melihatnya dengan anggun walau dia
telah melahirkan 2 orang putra untukku.
“Abi, apa Umi boleh kuliah lagi?” tanyanya padaku,
wajahnya sedikit ragu menatapku “karna Umi fikir, Haikal dan Rezki sudah cukup
untuk Umi tinggalkan, Umi pun akan mengambil kelas karyawan. Itu pun jika Abi
mengizinkan”
“Umi, apa umi masih ingat cerita bunga rose?”
“Masih ingat Abi, gadis cantik jelita nan rupawan
itu kan? Abi, sebetulnya umi belum paham maksud cerita tersebut, bunga rose itu
siapa?”
Aku mencari posisi duduk agar bisa menatap wajah
isteriku “Bunga rose itu Abi, nah gadis cantik jelita nan rupawan itu Umi,
sekarang Abi nanya ke Umi, Umi memilih menjadi gadis yang pertama atau yang
kedua”
“Gadis kedua” jawab Sholeha “karena Umi ingin
melihat Abi sukses dan orang-orang tau hal itu, Abi juga harus menyebarkan
keharuman seperti bunga rose itu untuk masyarakat, menjadi Abi yang sangat
berharga untuk keluarga dan masyarakat”
“Memang Umi ini isteri yang sholehah, ya?” kagumku
padanya.
“Abi bisa saja ya merayu Umi. Kalau begitu Umi harus
dirumah saja ya, Bi?” tanyanya kembali.
“Gadis cantik jelita nan rupawan itu harus menyiram
bunga rose agar bunga rose bisa tumbuh dan berkembang, akan tetapi gadis cantik
itu harus menyiram dan mewarat bunga rose dengan tekhnik yang benar agar bunga
rose tidak mati” uacapku padanya.
“Maksud Abi?” dengan kening yang mengerut Sholeha sedikit
kebingungan.
“Umi harus banyak belajar lagi agar bisa merawat
bunga rose tumbuh dan berkembang dengan baik dan menjadi harum sepanjang masa”
“Umi boleh kuliah, Abi?” aku mengangguk tegas
kepadanya. Sholeha mencium punggung telapak tanganku mengucap terimakasih
kepadaku.
“Terimakasih Abi, Umi janji akan merawat bunga rose
dan menyiraminya agar menjadi bunga yang harum sepanjang masa” aku pun mencium
keningnya yang lembut.
Kini setiap pagi di hari sabtu dan minggu aku
mengantarkannya ke salah satu universitas pilihannya. Sholeha memilih fakultas
pendidikan sama seperti yang ia pilih saat mengambil Strata Satu. Walaupun
kesibukan Sholeha bertambah dengan tugas-tugas kuliah dan tugas mengajarnya,
Sholeha tetap sama seperti saat pertama kami menikah.
Dia berusaha menyirami bunga rose dan keturunanya
dengan segala usahanya. Meski waktu yang dimiliki hanya sedikit dia tetap
mencabuti rumput liar disekeliling bunga rose, dia merawatnya dan terus
menjaganya. Tak tampak sedikitpun keletihan yang terpancar dari wajahnya, kulihat
senyum selalu menghiasi wajahnya saat menyiram bunga rose. Semga bunga rose
tumbuh dan berkembang juga menyebarkan wanginya sepanjang masa.
No comments:
Post a Comment