Kita duduk dibawah pudarnya awan
yang menaungi. Melihat masa lalu yang turut pudar ditelan masa. Aku duduk tegap
di atas kursi rotan dan kau duduk memangku kaki kananmu di sebelahku. Tanganku erat
memeluk satu sama lain. Bibirku berusaha mengulas senyum setiap kau melihatku. Ada
kekikukan setelah genap satu tahun kau meninggalkan. Disaat satu hari kau akan
menggenapkan masa kampusmu dan satu minggu sebelum kuciran dari topi toga
dipindahkan. Saat itu mataku seperti kue bakpao yang tambun setelah kau
mengungkapkan bahwa “setiap orang memiliki hak untuk mencintai, dan aku
tidak bisa berbicara banyak tentang hal ini dan sungguh aku ke Bandung adalah
untuk belajar dan mencari pengalaman, jika ada perempuan yang mencintaiku
seperti kamu, maka bahagianya seseorang yang mencintaimu melebihi aku mencintaimu.”
Pesan singkat itu kau berikan
satu jam setelah aku mengirimimu sebuah surat sederhana yang sebetulnya telah
aku tulis beberapa bulan saat kita, -aku dan kau duduk dan becanda bersama-.
Disaat kau menggombaliku dan selalu menjadikanku pelarian terakhir saat kau
bersuka atau berduka. Aku menaruh sebuah rasa yang kusebut kagum. Hingga akhirnya
aku pun menjadikan kau pelarian terakhir untuk mengeluhkan segala kegelisahan, membagi
suka dan duka kepadamu.
Kau mengajakku memetakan sebuah
kehidupan, mengelilingi dunia adalah impian bersama. Kau menunjukkan beberapa
peta yang hendak kau tapaki. Aku melihatmu menggebu menggapai semua itu dan
merangsangku agar aku pun sampai bersamamu.
@@@
“Kemana saja kau selama ini?”
lamunanku pecah dengan pertanyaan atau entah pernyataan lelaki yang duduk menikmati
langit di sebelahku.
Aku tetap menatap langit dari
balkon di lantai 12. Aku menata kembali kacamata yang mulai longgar oleh
keringat. Perlahan aku menggerakan bibirku yang beberapa saat terkurung oleh
hampanya kerinduan. “Aku disini, tidak kemana-mana”
Posisi kakinya bergeser menjauh
beberapa senti dari wedges yang aku kenakan. Lelaki itu berdiri mendekati
pembatas balkon dan menatap sesekali ke bawah gedung. Dan tidak melihatku sama
sekali.
“I was fine, Riz” ucapku
dengan senyum yang kuulas. Tiba-tiba aku ingin menatapnya kembali setelah
beberapa menit lalu kau menatapku di Lobi gedung ini. Itu pertemuan pertama kita
semenjak kita memutuskan untuk pergi, aku pergi dan kau pergi.
“Kamu wanita tegar, saya tahu
kamu akan baik-baik saja” wajahnya menatapku sekilas cahaya menyentuh, lelaki itu kembali pada pandangan ke satu sudut yang tak aku ketahui.
“Kau yang mengajarkan aku, Riz” lelaki itu yang mengajarkanku betapa aku harus menjadi wanita tegar dan
harus sukses dengan tungkai kaki yang kumiliki, tanpanya.
“Maaf” ujung telingaku mendengar
dengan samar.
Aku mendekati pembatas yang
sedari tadi ia pegang, aku berdiri tepat disebelahnya. “Cinta itu bukan untuk
mengucapkan maaf, Riz. Cinta itu bukan kesalahan bukan juga kebenaran. Cinta itu
holliness, kesucian. Itu masa laluku. Masa lalu adalah hal yang sangat
jauh dari kehidupan. Masa lalu itu seperti kematian sudah tiada dan hanya bisa
dikenang saja. Tidak ada yang bisa mengembalikan masa lalu.”
Helaan napasnya mengumbar dengan
kasar. “Entah apa yang telah aku lakukan kepadamu saat itu. Setelah nama kita
mempunyai gelar, kau tiba-tiba menghilang, aku mencarimu namun kamu tetap seperti bersembunyi,” lelaki itu mengubah posisi berdirinya sehingga ia menatapku separuh
badan. “selama ini kamu kemana?”
Badanku tetap berdiri memandang
kota Bandung yang begitu luas, melihat awan yang memudarkan putihnya. “Aku ada
dan aku baik-baik saja. Riz, Cinta itu bukan pencarian”
“Saya datang agar saya tidak
menyesali kembali perlakuan saya padamu, Aku mencintaimu, Za”
Tangisku di hujung dada. Ada rasa dalam senja yang aku tunggu satu tahun lalu. Aku menunggu kalimat itu muncul dari hatinya. Menunggu hingga aku letih dan lunglai di makan rayap.
Tangisku di hujung dada. Ada rasa dalam senja yang aku tunggu satu tahun lalu. Aku menunggu kalimat itu muncul dari hatinya. Menunggu hingga aku letih dan lunglai di makan rayap.
“Riz, aku mencintaimu”
mataku berusaha menatapnya setelah aku memupuk keberanian. “tapi aku mencintaimu
sebelum aku menulis surat itu kepadamu, karena aku tahu yang kucinta mencinta
yang lain, yang kurindu merindu yang lain, aku mencintaimu dulu bukan untuk
sekarang”
Aku kembali mengulas senyum
untuknya. Menghadirkan sebuah ketegaran diantara ruang kami yang telah lama
mati tertimbun keraguan. Biarkan masa laluku tersimpan di sebuah ruang. Aku menutup
rapat dengan keberanianku. Biarkan lelaki itu menikmati pudarnya cinta. Cintaku
hanya pada masa lalu. Masa laluku sudah tiada dan hanya pantas untuk dikenang bukan
untuk dinikmati kembali.
“Terimakasih, Riz” Aku
meninggalkannya di sebuah ruang, diatas kubikan tanah yang kita pijaki. Matahari
tidak memudar, tetap hangat menegarkanku dan menyinarinya.
subhanallah,, kamu memang wanita tegar dan dia yang mengajarimu,, :)
ReplyDeleteiya...makasih...
Delete