Sosoknya mendalami sebuah buku. Ku lirik dari jauh. Filsafat nyatanya. Matanya tak berhenti membelalak mengiringi bacaan. Mengayunkan mata dengan indah. Serius. Kulihat lembar demi lembar membukakan mata pikirannya. Mengelilingi alam disaat ilmu menjadi pertaruhan para filsuf. Wajahku mengikutimu mengelilingi alam pikiranmu, bukan filsafat yang ku selami. Menyelamimu ke dasar laut yang cukup keruh, terlalu menerawang sedang penfokus terang tak cukup bercahaya. Nyatanya aku hanya menyelamimu saat air surut.
“Za,” kau mencabut oksigen penyelamanku. Keningku berkerut, tapi kukunci rapat akan kekesalanku karna kau menarik tiba-tiba alat nafasku.
“Iya, ada apa Riz?” wajahku menguntai seulas kasih, senyum pertanda penghormatan kepadanya.
“Buku ini mengingatkanku pada seseorang yang jauh.” Tangannya tetap membuka lembaran demi lembaran peradaban ilmu itu.
“Siapa?” rasa penasaranku tiba-tiba merajai pikiran.
Dia tersenyum, matanya sedikit menengadah, seolah melihat langit-langit dengan sedikit suram. Pikirannya menerawang ke sebuah masa dimana aku tak mengetahuinya. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Tiba-tiba ada cermin yang menundukannya. Tersenyum miris saat ia akan memulai cerita.
“Siapa, Riz?” kepalaku coba memulai ceritanya, tidak bermaksud memaksa namun kepenasaranku memang merajai.
“Ada, seseorang.” Buku filsafat itu kau tutup tiba-tiba dan kau meninggalkanku di kursi seorang diri.
Senyumanku kembali mendarat pada matanya. Menggelayungkan harapan agar ia menceritakan sebuah hal yang belum aku ketahui sebelumnya. Ada warna indah dalam matanya ketika ia menengadah ke langit. Namun ada nyeri yang menyayat dalam ketundukannya.
“Ceritakan kepadaku saat kau mau” ujarku saat ia melangkah menjauh dari tubuhku.
Aku pun dibayang-bayangi seseorang yang ia ingin ceritakan, entah saudaranya atau mungkin seseorang yang ia selami juga. Seperti aku yang sedang menyelaminya dalam diamku. Entahlah!
No comments:
Post a Comment