13 February 2013

Riz : Aku Tidak Mencintaimu


Kita duduk dibawah pudarnya awan yang menaungi. Melihat masa lalu yang turut pudar ditelan masa. Aku duduk tegap di atas kursi rotan dan kau duduk memangku kaki kananmu di sebelahku. Tanganku erat memeluk satu sama lain. Bibirku berusaha mengulas senyum setiap kau melihatku. Ada kekikukan setelah genap satu tahun kau meninggalkan. Disaat satu hari kau akan menggenapkan masa kampusmu dan satu minggu sebelum kuciran dari topi toga dipindahkan. Saat itu mataku seperti kue bakpao yang tambun setelah kau mengungkapkan bahwa “setiap orang memiliki hak untuk mencintai, dan aku tidak bisa berbicara banyak tentang hal ini dan sungguh aku ke Bandung adalah untuk belajar dan mencari pengalaman, jika ada perempuan yang mencintaiku seperti kamu, maka bahagianya seseorang yang mencintaimu melebihi aku mencintaimu.

Pesan singkat itu kau berikan satu jam setelah aku mengirimimu sebuah surat sederhana yang sebetulnya telah aku tulis beberapa bulan saat kita, -aku dan kau duduk dan becanda bersama-. Disaat kau menggombaliku dan selalu menjadikanku pelarian terakhir saat kau bersuka atau berduka. Aku menaruh sebuah rasa yang kusebut kagum. Hingga akhirnya aku pun menjadikan kau pelarian terakhir untuk mengeluhkan segala kegelisahan, membagi suka dan duka kepadamu.

Kau mengajakku memetakan sebuah kehidupan, mengelilingi dunia adalah impian bersama. Kau menunjukkan beberapa peta yang hendak kau tapaki. Aku melihatmu menggebu menggapai semua itu dan merangsangku agar aku pun sampai bersamamu.

@@@

“Kemana saja kau selama ini?” lamunanku pecah dengan pertanyaan atau entah pernyataan lelaki yang duduk menikmati langit di sebelahku.

Aku tetap menatap langit dari balkon di lantai 12. Aku menata kembali kacamata yang mulai longgar oleh keringat. Perlahan aku menggerakan bibirku yang beberapa saat terkurung oleh hampanya kerinduan. “Aku disini, tidak kemana-mana”

Posisi kakinya bergeser menjauh beberapa senti dari wedges yang aku kenakan. Lelaki itu berdiri mendekati pembatas balkon dan menatap sesekali ke bawah gedung. Dan tidak melihatku sama sekali.

I was fine, Riz” ucapku dengan senyum yang kuulas. Tiba-tiba aku ingin menatapnya kembali setelah beberapa menit lalu kau menatapku di Lobi gedung ini. Itu pertemuan pertama kita semenjak kita memutuskan untuk pergi, aku pergi dan kau pergi.

“Kamu wanita tegar, saya tahu kamu akan baik-baik saja” wajahnya menatapku sekilas cahaya menyentuh, lelaki itu kembali pada pandangan ke satu sudut yang tak aku ketahui.

“Kau yang mengajarkan aku, Riz” lelaki itu yang mengajarkanku betapa aku harus menjadi wanita tegar dan harus sukses dengan tungkai kaki yang kumiliki, tanpanya.

“Maaf” ujung telingaku mendengar dengan samar.

Aku mendekati pembatas yang sedari tadi ia pegang, aku berdiri tepat disebelahnya. “Cinta itu bukan untuk mengucapkan maaf, Riz. Cinta itu bukan kesalahan bukan juga kebenaran. Cinta itu holliness, kesucian. Itu masa laluku. Masa lalu adalah hal yang sangat jauh dari kehidupan. Masa lalu itu seperti kematian sudah tiada dan hanya bisa dikenang saja. Tidak ada yang bisa mengembalikan masa lalu.”

Helaan napasnya mengumbar dengan kasar. “Entah apa yang telah aku lakukan kepadamu saat itu. Setelah nama kita mempunyai gelar, kau tiba-tiba menghilang, aku mencarimu namun kamu tetap seperti bersembunyi,” lelaki itu mengubah posisi berdirinya sehingga ia menatapku separuh badan. “selama ini kamu kemana?”

Badanku tetap berdiri memandang kota Bandung yang begitu luas, melihat awan yang memudarkan putihnya. “Aku ada dan aku baik-baik saja. Riz, Cinta itu bukan pencarian”

“Saya datang agar saya tidak menyesali kembali perlakuan saya padamu, Aku mencintaimu, Za”

Tangisku di hujung dada. Ada rasa dalam senja yang aku tunggu satu tahun lalu. Aku menunggu kalimat itu muncul dari hatinya. Menunggu hingga aku letih dan lunglai di makan rayap.

“Riz, aku mencintaimu” mataku berusaha menatapnya setelah aku memupuk keberanian. “tapi aku mencintaimu sebelum aku menulis surat itu kepadamu, karena aku tahu yang kucinta mencinta yang lain, yang kurindu merindu yang lain, aku mencintaimu dulu bukan untuk sekarang”

Aku kembali mengulas senyum untuknya. Menghadirkan sebuah ketegaran diantara ruang kami yang telah lama mati tertimbun keraguan. Biarkan masa laluku tersimpan di sebuah ruang. Aku menutup rapat dengan keberanianku. Biarkan lelaki itu menikmati pudarnya cinta. Cintaku hanya pada masa lalu. Masa laluku sudah tiada dan hanya pantas untuk dikenang bukan untuk dinikmati kembali.

“Terimakasih, Riz” Aku meninggalkannya di sebuah ruang, diatas kubikan tanah yang kita pijaki. Matahari tidak memudar, tetap hangat menegarkanku dan menyinarinya.



2 comments:

  1. subhanallah,, kamu memang wanita tegar dan dia yang mengajarimu,, :)

    ReplyDelete