5 June 2012

Pemikiran Quraish Shihab




1. Biografi Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang Sulawesi Selatan, pada 16 Pebruari 1944. Pendidikan dasarnya diselesaikan di Ujungpandang, kemudian melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang sambil “nyantri” di Pondok Pesantren Darul-Hadis al-Faqihiyyah. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Abdurrahman Syihab (1905-1986) adalah lulusan Jami’atul Khair Jakarta, sebuah lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang mengedepankan gagasan Islam modern. Ayahnya ini, selain guru besar dalam bidang tafsir, juga pernah menduduki jabatan Rektor IAIN Alauddin dan tercatat sebagai salah seorang pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Ujungpandang.
Sejak kecil, M. Quraish Shihab telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap al-Quran. Pada umur 6-7 tahun, oleh ayahnya ia harus mengikuti pengajian al-Quran yang diadakan ayahnya sendiri. Pada waktu itu, selain menyuruh membaca al-Quran, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam al-Quran. Di sinilah M. Quraish Shihab, benih-benih kecintaannya kepada al-Quran mulai tumbuh.
Pada tahun 1958, ia berangkat ke Kairo, Mesir, atas bantuan beasiswa dari Pemerintah Daerah Sulawesi (waktu itu wilayah Sulawesi belum dibagi: Sulawesi Utara dan Selatan). Ia diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Sembilan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1967, ia meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis Universitas al-Azhar. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada tahun 1969 ia meraih gelar MA untuk sepesialisasi bidang Tafsir al-Quran dengan judul tesis al-I’jāz al-Tasyrī’iy li al-Qur’ān al-Karīm.
Sekembalinya ke Ujungpandang, M. Quraish Shihab dipercaya untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademik dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin Ujungpandang. Selain itu, ia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus, seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus, seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujungpandang ini, ia sempat melakukan pelbagai penelitian, antara lain: penelitian dengan tema “Penerapan Kerukunan Hidup beragama di Indonesia Timur” (1975) dan “Masalah Wakaf di Sulawesi Selatan” (1978).
Pada tahun 1980, M. Quraish Shihab kembali ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas al-Azhar. Pada tahun 1982, dengan disertasi berjudul Nizm al-Durar li al-Biqā’iy, Tahqīq wa Dirāsah, ia berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Alquran dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtāz ma’a martabāt al-syaraf al-awlā). Ia menjadi orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Alquran di Universitas al-Azhar.
Sekembalinya di Indonesia, sejak tahun 1984, M. Quraish Shihab ditugas-kan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus, ia juga dipercaya untuk menduduki pelbagai jabatan, antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), Anggota Lajnah Pentashih al-Quran Departemen Agama (sejak 1989). Ia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indenesia (ICMI), serta pernah menjabat Menteri Agama Kabinet Pembangunan VII tahun 1998, sebelum Soeharto tumbang pada 21 Mei 1998 oleh gerakan reformasi yang diusung oleh para mahasiswa.
Di sela-sela berbagai kesibukannya, ia masih sempat terlibat dalam pelbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun di luar negeri, dan aktif dalam kegiatan tulis menulis. Beberapa buku yang telah dihasilkannya ialah; Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1984), Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama: Untagma, 1988), Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehdiupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992), Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan, 1994), Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 1997), Yang Tersembunyi (Jakarta: Lentera Hati, 1999), Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2000) dan beberapa buku yang lain. Yang tidak kalah pentingnya, M. Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis menulis di Surat Kabar Pelita, pada setiap hari Rabu. Dia menulis dalam rublik “Pelita Hati”. Dia juga mengasuh rubrik “Tafsir al-Amanah”. Selain itu, dia juga tercatat
sebagai redaksi Majalah “Ulumul Qur’an” dan “Mimbar Ulama”, keduanya terbit di Jakarta. 

2. Al Quran menurut Quraish Shihab
Berbicara mengenai Al Quran, maka kita tidak hanya berbicara tentang hukum syariat. Banyak hal yang terkandung di dalam Al Quran, kisah umat-umat terdahulu, janji-janji Allah akan kebaikan, peringatan dan azab Nya jika manusia berbuat ingkar. Belum lagi rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Dari sistematikanya saja, Al Quran tidak disusun sesuai ayat yang diturunkan, akan tetapi disusun berdasarkan petunjuk dari Allah. Dalam Al Quran pula terdapat keseimbangan antara jumlah bilangan kata dan antonimnya. Misalnya kata al hayah (hidup) dan al maut (mati) masing-masing berjumlah 154, kemudian kata an naf’ (manfaat) dan al madharah (mudhorot) masing-masing berjumlah 50. Begitu juga sebaliknya, kata-kata yang sinonim. Misalnya kata al harts dan az zira’ah (membajak/ bertani) masing-masing diulang sebanyak 14 kali, al jahr dan al ‘alaniyah (nyata) masing-masing diulang 16 kali. 
Tentang isyarat-isyarat ilmiah, banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al Quran. Misalnya diisyaratkannya bahwa "Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari)" (perhatikan QS 10:5); atau bahwa jenis kelamin anak adalah hasil sperma pria, sedang wanita sekadar mengandung karena mereka hanya bagaikan "ladang" (QS 2:223); dan masih banyak lagi lainnya yang kesemuanya belum diketahui manusia kecuali pada abad-abad bahkan tahun-tahun terakhir ini. Dari manakah Muhammad mengetahuinya kalau bukan dari Dia, Allah Yang Maha Mengetahui? 
Al-Quran adalah kitab petunjuk, demikian hasil yang kita peroleh dari mempelajari sejarah turunnya. Ini sesuai pula dengan penegasan Al-Quran: Petunjuk bagi manusia, serta pemisah antara yang hak dan batil (QS 2:185).
Al-Qur’an adalah kitab pedoman yang tiada hentinya sampai akhir masa. Hal itu terbukti bahwa di dalam Al-Qur’an, jika terus dianalisa, akan melahirkan sesuatu yang baru dan relevan dengan segala zaman serta penemuan-penemuan tentang berbagai fenomena. 
Bertolak dari Al-Qur’an itulah pemikiran M. Quraish Shihab berdasar dan berargument. Dalam menganalisa Al-Qur’an, M. Quraish Shihab menggunakan metode klasik, artinya lebih sering menggunakan penafsiran tradisional secara bahasa (tafsir bi al-ma’tsur) dan tidak menggunakan penafsiran dengan rasional (tafsir bi al-ra’yi) selagi penafsiran secara tradisional masih memberikan solusi. Hal itu menjadi bukti bahwa M. Quraish Shihab masih menekankan metode klasik dalam memahami Al-Qur’an. 
M. Quraish Shihab melalui karya-karyanya telah berhasil mengkomunikasikan ide-idenya kepada masyarakat luas. Namun demikian, posisi M. Quraish Shihab dalam kapasitasnya sebagai seorang cendekiawan muslim Indonesia, tidak serta-merta memiliki pemikiran yang tidak dikritisi oleh cendekiawan yang lainnya. Hal itu merupakan suatu keniscayaan dan kewajaran dalam bidang ilmu pengetahuan. 

3. M. Quraish Shihab dan Tafsir Al Misbah 
a. Metode
Untuk mengetahui metode yang digunakan dalam tafsir al- Misbah, perlu kiranya terlebih dahulu melihat langkah-langkah yang ditempuh oleh Quraish Shihab dalam menafsirkan al- Qur'an. Adapun langkah-langkah tersebut sebagai berikut:
Pertama, memberikan kupasan dari aspek bahasa. Dalam hal ini, Quraish Shihab menafsirkan al-Qur'an dengan menganalisis aspek bahasa, baik dari segi kosa kata seperti menafsirkan kata "shirath" yang berasal dari kata "sirath" bermakna "menelan". Pemaknaan "shirath" dengan "jalan" berarti jalan yang lebar karena sedemikian lebarnya sehingga bagaikan menelan si pejalan, maupun aspek struktur bahasa (gramatika) seperti ketika menafsirkan ذلك الكتاب ل ريب فيه هدى للمتقين (itulah al-Kitab, tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi orang-orang bertaqwa), menurutnya, ayat ini menggunakan isyarat jauh untuk menunjukkan al-Qur'an. Di tempat lain, semua yang menunjukkan kepada al-Qur'an menggunakan isyarat dekat. 
Tujuan penggunaan isyarat jauh memberi kesan bahwa kitab suci ini menduduki tempat yang tinggi dan sangat jauh dari jangkauan manusia, karena ia bersumber dari Allah Yang Maha Tinggi. Sedang kata al-kitab dengan dibubuhi al pada awalnya dipahami dalam arti kesempurnaan.
Kedua, menafsirkan ayat demi ayat dan surah demi surah secara berurutan, serta tidak ketinggalan mengutip asbab al- Nuzul. Artinya penafsiran yang dilakukan dengan perpedoman terhadap susunan ayat dan surah-surah dalam mushaf, dengan dimulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah dan seterusnya sampai surat al-Nas dan menyebutkan asbab al-nuzulnya kalau ada.
Ketiga, Mengutip pendapat-pendapat penafsir sebelumnya. Mengenai dengan pengutipan pendapat-pendapat penafsir sebelumnya, Quraish cukup kritis dalam menerima pendapat-pendapat tersebut. Apabila pendapat tersebut tidak sesuai menurut logikanya maka pendapatnya ditolak, seperti pendapat yang menafsirkan "fazaadahumu Allahu maradha" dalam arti doa semoga Allah menambahnya. Menurutnya pendapat ini kurang tepat bukan saja karena adanya kata "maka" tetapi juga karena mendoakan agar keburukan seseorang bertambah, tidaklah merupakan hal yang terpuji bahkan bertentangan dengan sikap Rasul Saw yang seringkali berdoa semoga Allah memberikan petunjuk kepada umatnya yang beriman.
Keempat, mengutip ayat-ayat sebagai pendukung penafsirannya, seperti ayat "fa azallhuma al-Syaithan" (QS. Al-Baqarah [2]: 36) (maka keduanya tergelincir oleh syaithan) ditafsirkan dengan "sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak kami dapati padanya kemauan yang kuat"(QS. Thaha [20]: 15). Jadi, maksud dari faazallahuma bahwa tergelincir Nabi Adam bukan sepenuhnya dalam keadaan sadar namun ia terlupa dengan apa yang diperitahkan oleh Allah.
Kelima, mengutip hadits-hadits Nabi sebagai pendukung penafsirannya, seperti menafsirkan "al-rahman dan al-rahim" (QS.al-Fatihah [1]: 3), menurutnya kedua kata tersebut diambil dari akar kata "rahmat" dengan alasan bahwa timbangan (wazan) kata tersebut dikenal dalam bahasa Arab. Rahmaan setimbang dengan fa'laan, dan rahiim dengan fa'iil. Timbangan rahmaan menunjukkan kepada kesempurnaan atau kesementaraan, sedangkan timbangan rahiim menunjukkan kepada kesinambungan dan kemantapan. Selanjutnya ia mengatakan, kata rahmaan menunjukkan sifat Allah Swt, sedangkan kata rahiim menunjukkan Rasulullah yang menaruh belas kasihan yang amat dalam terhadap umatnya. Untuk menguatkan pendapat ini, ia mengutip sebuah hadits qudsi: "Aku adalah ar-Rahman, aku menciptakan rahim, Kuambilkan untuknya nama yang berakar dari nama-Mu, siapa yang menyambungnya (silaturrahim) akan Aku Sambung (rahmat-Ku) untuknya, dan siapa yang memutuskannya Kuputuskan (rahmat-Ku baginya)" (HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi melalui Abdurrahman Ibn 'Auf).
Selain langkah-langkah tersebut, sebagaimana lazimnya metode tahlili tafsir al-Misbah juga menjelaskan munasabat (kaitan) antara satu ayat dengan ayat yang lain, juga satu surat dengan surat yang lain serta menjelaskan sekilas tentang qira'ah, seperti ketika menafsirkan مالك dengan ملك dalam surat al-Fatihah.
Berdasarkan langkah-langkah yang dilakukan oleh Quraish Shihab dalam menafsirkan al-Qur'an, maka dapat disimpulkan bahwa tafsir al-Misbah mengunakan metode tahlili dalam menafsirkan al-Qur'an karena ia berupaya menjelaskan seluruh aspek yang terkandung dalam al-Qur'an dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju.
Meskipun tafsir al-Misbah dikategorisasi menggunakan metode tahlili namun dalam beberapa masalah tafsir ini tidak murni menerapkan metode tahlili, seperti menggunakan ayat-ayat lain yang setema untuk menjelaskan makna yang dimaksud dari ayat yang ditafsirkan. Misalnya menafsirkan "an'amta" dalam surat al-fatihah ayat 7, menurutnya nikmat dalam ayat tersebut berarti nikmat Islam dan penyerahan diri kepada Allah. Pemaknaan nikmat dengan nikmat Islam ia mengutip surat Ali-Imran [3]: 103, surat adh-Dhuha [93]: 11. sedangkan pemaknaan nikmat dengan penyerahaan diri kepada Allah, ia mengutip surat an-Nisa' [4]: 69.32 Dilihat dari upaya penafsiran tersebut, Quraish Shihab juga menggunakan metode maudhu'i karena dalam menafsirkan suatu ayat ia menggunakan ayat yang setema dengan ayat tersebut yang tujuannya untuk mendapatkan makna yang sesungguhnya.
Selain adanya kecenderungan Quraish Shihab terhadap metode maudhu'i , ia juga menggunakan metode interdispliner, di mana ia menafsikan ayat menggunakan disiplin ilmu-ilmu lain, seperti dalam surat Yasin(36): 80, ia menafsirkan kata "al-syajara al-ahdhar" dengan pohon yang hijau, menunjukkan kepada zat hijau daun yang sangat diperlukan dalam proses asimilasi gas karbon dioksida. Istilah yang digunakan al-Qur'an lebih tepat dikatakan dengan klorofil yang berarti zat hijau daun, karena zat-zat yang dimaksud tidak hanya pada daun tumbuh-tumbuhan, tetapi pada seluruh bagian tumbuhan yang hijau.
Dilihat dari kecenderungan metode, nampak adanya terobosan baru yang diberikan oleh Quraish Shihab dalam menafsirkan al-Qur'an. Atau ia ingin menghilangkan konsekuensi yang diakibatkan oleh metode tahlili seperti parsial dan otomistik yang mengakibatkan lahirnya tafsir yang literal sebagaimana tafsir-tafsir di era afirmatif.
Di samping itu perlu dipertegas di sini, meskipun tafsir al-Misbah mengkomparasikan metode dalam menafsirkan al-Qur'an, namun metode tahlili merupakan metode yang dominan terdapat dalam tafsir al- Misbah.
Penafsiran al-Qur'an dengan menggunakan manhaj tahlili ini memiliki corak dan orientasi pemikiran yangvberbeda-beda, sejalan dengan corak dan orientasi pemikiran masing-masing mufasir. Dalam hal ini al-Farmawi, sebagaimana dikutip oleh Suryadi dalam bukunya Studi Kitab Tafsir, memilahnya dalam tujuh corak dan orientasi: tafsir bil ma’tsur, tafsir bil ra’yi,tafsir sufi,tafsir fiqhi, tafsir falsafi, tafsir 'ilmu, dan tafsir ijtima'i.
Corak dan orientasi yang mewarnai metode tahlili dalam tafsir al-Misbah adalah bil ma’tsur dan kadang-kadang menggunakan bil ra’yi. Dikatakan bil ma’tsur karena tafsir ini sering menggunakan ayat-ayat lain untuk menjelaskan suatu ayat, mengunakan hadits, dan pendapat-pendapat ulama terdahulu. Sedangkan bil ra’yi, karena tafsir ini juga menggunakan logika dan lebih banyak menjelaskan ayat dengan menggunakan analisis bahasa, baik dari makna kosa kata maupun gramatikal.

b. Sistematika Penafsiran
Sistematika penafsiran al-Misbah mengikuti tartib mushafi. Dalam sistematika ini, sang mufassir menguraikan penafsirannya berdasarkan urutan ayat dan surat dalam mushaf Usmani. Sekalipun demikian, pada beberapa bagian tertentu, ia juga menggunakan pendekatan semi tematis. Pendekatan ini terlihat ketika menguraikan penafsiran suatu ayat dengan memberikan sejumlah ayat-ayat lain yang berhubungan sebagai penguat penafsirannya. Namun, secara umum tidak keluar dari sistem mushafi.
Sebelum memulai proses penafsiran, Quraish Shihab terlebih dahulu memberikan penjelasan yang berbentuk pengantar terhadap surat yang akan ditafsirkan, dan hal ini juga dilakukan terhadap surat yang akan ditafsirkannya. Pengantar tersebut memuat penjelasan antara lain: Pertama, menjelaskan tentang penamaan surat, dan menyebutkan nama-nama lain dari surat tersebut jika ada, serta memberikan alasan penamaannya dengan merujuk kepada ayat-ayat lain, hadits dan pendapat-pendapat ulama, seperti penamaan terhadap surah al-Fatihah. Kedua, menyebutkan tempat turun surat (Makkiyah, Madaniyyah) serta menyebutkan jumlah ayat dalam satu surat. Ketiga, tema-tema pokok atau tujuan surat dan pendapat-pendapat ulama tentang hal tersebut. Keempat, munasabah antar surat sebelum dan sesudahnya.
Melihat sistematika penyusunan Tafsir al-Misbah ditempuh dengan sistematika tartib mushafi, yakni menafsirkan ayat menurut susunan urutannya dalam mushaf, maka dapat dikatakan bahwa sistematika dalam tafsir ini sama dengan tafsir-tafsir klasik, seperti: tafsir At Thabari, Ibnu Katsir, dan lain-lain.

c. Sumber Penafsiran
Sebagaimana yang disebutkan oleh Quraish Shihab bahwa apa yang dihidangkannya (tafsir al-Misbah) bukan sepenuhnya ijtihadnya. Ini artinya penyusunan tafsir al-Misbah merujuk kepada karya-karya lain, baik dari ulama klasik maupun kotemporer.
Adapun sumber-sumber yang dijadikan oleh Quraish Shihab dalam menulis kitab tafsir ini meliputi: Tafsir Ibrahim Ibn Umar al-Biqa'i (w. 885H-1480M) yang tafsirnya masih berbentuk manuskrip dan dijadikan sebagai referensi dalam menyusun desertasinya. Sementara referensi yang digunakan dalam mencari makna pada tafsir al-Misbah diantaranya: Shahih Bukhari karya Ismail al-Bukhari, Shahih Muslim karya Ibn Hajjaj, Nazham al-Durar karya Ibrahim Ibn Umar al-Biqa'i, Fi Dzilalil al-Qur'an karya Sayyid Qutb, Tafsir al-Mizan karya Husain al-Thabathaba'i, Tafsir Asma al-Husna karya Az-Zajjah, Tafsir al- Qur'an al-A'zim karya Ibn Katsir, Tafsir Jalalain karya as-Suyuti, Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi, al-Kasysyaf an Haqqaiqit Tanjil wa 'Uyunil Aqawil fi Wujuhi Ta'wil karya Zamakhsyari, Nahw Tafsir Maudhu'iy li Suwar al-Qur'an al-Karim karya Muhammad al-Ghazali, ad-Dur al-Mansur karya as-Sayuti, Attahir at-Tanwir.
Diantara banyaknya literatur yang digunakan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah yang paling mendominasi adalah Tafsir al-Mizan karya Husain al Thabathaba'i, sebab hampir ditiap penafsirannya selalu mengutip pendapat Thabathaba’i.

4. M. Quraish Shihab dan Takwil Al Quran
Takwil bisa diartikan pengertian-pengertian tersirat yang diistimbatkan ( diproses ) dari ayat-ayat Al-Qur’an yang memerlukan perenungan dan perkiraan, serta merupakan sarana pembuka tabir. 
Meskipun Quraish Shihab tidak secara jelas membedakan antara tafsir dan takwil, namun jika merujuk pada pengertian takwil diatas, maka akan kita dapati bahwa beliaupun menggunakan takwil dalam memahami ayat-ayat Al Quran yang maknanya tersembunyi. Bisa kita lihat contohnya dalam bukunya yang berjudul Wawasan Al Quran dalam bab kematian, yang menceritakan tentang penciptaan manusia berasal dari tanah. Dalam QS. Al Hajj: 5-7 diceritakan proses penciptaan manusia:
Wahai seluruh manusia, kalau kamu sekalian meragukan hari kebangkitan, maka (sadarilah bahwa) Kami menciptakan kamu dari tanah, kemudian nuthfah, kemudian 'alaqah, kemudian mudhgah (sekerat daging) yang sempurna penciptaannya atau tidak sempurna penciptaannya, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan di dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang telah ditentukan. Kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, dan (secara berangsur-angsur) kamu sampai kepada (usia) kedewasaan. Di antara kamu ada yang diwafatkan dan ada pula yang dipanjangkan usianya sampai pikun, supaya (sehingga) dia tidak mengetahui lagi apa yang tadinya telah diketahui. Dan kamu lihat bumi itu tandus/mati, kemudian apabila Kami turunkan air (hujan) di atasnya hiduplah bumi itu dan suburlah ia serta menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah Yang Hak, Dia yang menghidupkan yang mati, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, dan hari kiamat pasti datang. Tidak ada keraguan atasnya dan Allah membangkitkan semua yang dikubur (QS Al-Hajj [22]: 5-7).

Dalam memahami ayat penciptaan manusia ini, Quraish Shihab berpendapat bahwa yang dimaksud dengan diciptakan dari tanah adalah karena makanan manusia berasal dari tanah, yaitu tumbuhan-tumbuhan dan binatang yang memakan apa yang terbentang di bumi Allah. Makanan tersebut diolah oleh tubuhnya, sehingga menghasilkan sperma. Pertemuan sperma dan ovum menghasilkan 'alaqah' sesuatu yang bergantung di dinding rahim. Kemudian ini melalui tahap-tahap seperti yang dikemukakan di atas, sehingga akhirnya manusia mati terkubur di bawah tanah atau menjadi tanah lagi.

Mengenai penciptaan perempuan, yang banyak diperdebatkan oleh ulama, agaknya Quraish Shihab lebih memilih Ath-Thabathaba'i yang dalam tafsirnya menulis dan menegaskan bahwa "perempuan (istri Adam) diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam, dan ayat tersebut sedikit pun tidak mendukung paham sementara mufasir yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulung rusuk Adam. Kita dapat berkata, bahwa tidak ada satu petunjuk yang pasti dari ayat Al-Quran yang dapat mengantarkan kita untuk menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau bahwa unsur penciptaannya berbeda dengan lelaki. Ide ini, seperti ditulis Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar-nya, timbul dan ide yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) yang menyatakan bahwa ketika Adam tidur lelap, maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dan Adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan.
"Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama seperti redaksi diatas, niscaya pendapat yang menyatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim," demikian Rasyid Ridha- (Tafsir Al-Manar IV: 330). Bahkan kita dapat berkata bahwa sekian banyak teks keagamaan mendukung pendapat yang menekankan persamaan unsur kejadian Adam dan Hawa, dan persamaan kedudukannya, antara lain surat Al-Isra' ayat 70,
"Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mereka mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempuma atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan."
Tentu, kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan, Demikian pula penghorrnatan Tuhan yang diberikan-Nya itu mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh surat Ali-Imran ayat 195 yang menyatakan,
"Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain ..."
Ini dalam arti bahwa sebagian kamu (hai umat manusia yang berjenis lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (hai umat manusia yang berjenis perempuan) demikian juga halnya. Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia, dan tidak ada perbedaan diantara mereka dari segi asal kejadian serta kemanusiaannya.

Dengan konsiderans ini, Tuhan menegaskan bahwa:
Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan (QS Ali 'Imran [3]: 195) 
Ayat ini dan semacamnya adalah usaha Al-Quran untuk mengikis habis segala pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan.
Dalam konteks pembicaraan tentang asal kejadian ini, sementara ulama menyinggung bahwa seandainya bukan karena Hawa, niscaya kita tetap akan berada di surga. Disini sekali lagi ditemukan semacam upaya mempersalahkan perempuan.

Pandangan semacam itu jelas sekali keliru, bukan saja karena sejak semula Allah telah menyampaikan rencana-Nya untuk menugaskan manusia sebagai khalifah di bumi (QS 2: 30), tetapi juga karena dari ayat-ayat Al-Quran ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis itu tidak hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayat-ayat yang membicarakan godaan, rayuan setan, serta ketergelinciran Adam dan Hawa diungkapkan dalam bentuk kata yang menunjukkan kesamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti,
Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya... (QS, Al-A'raf [7]: 20). Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dan surga itu, dan keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati) sebelumnya... (QS Al-Baqarah [2]: 36).

Kalaupun ada ayat yang membicarakan godaan atau rayuan setan berbentuk tunggal, maka ayat itu justru menunjuk kepada kaum lelaki (Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti dalam firman Allah, Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam), dan berkata, "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?" (QS Thaha [20]: 120). Demikian terlihat Al-Quran mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya, serta meluruskan segala pandangan salah dan keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadian kaum perempuan.

5. Penutup
Quraish Shihab adalah seorang ulama tafsir yang kompeten, yang kita patut bangga terhadapnya. Keluasan ilmunya dan metode tafsirnya menawarkan udara baru dalam bidang tafsir. Meskipun demikian, tidak ada manusia yang sempurna, dan tidak ada pemikiran yang tidak dicela. Pemaparan tentang pemikiran beliau ini adalah dalam rangka memperluas wacana kita tentang tokoh-tokoh mufassir kontemporer, yang bisa kita ambil ilmunya.

No comments:

Post a Comment