2 June 2012

Retrograde Abdi

by : Nisa Rahmalia 

Gunung Guntur masih diselimuti kabut tebal pagi ini. Aku terpaku disudut sebuah atap bangunan asrama yang sudah setahun ini dijadikan tempat menjemur semua pakaian santri puteri. Dengan kaki merapat karena dingin pagi kota Garut sangat menusuk. Jelas dihadapanku sebuah ciptaan Sang Maha Kuasa. Mantel yang kukenakan basah oleh embun yang jatuh beriringan dengan sinar mentari yang membiaskan cahaya pada genangan air cucian dibawah jemuran. 

Dibawahku tampak kerbau sudah mulai bekerja dengan para petani yang setia mengolah padi menjadi beras. Hamparan hijau yang sangat menyegarkan, karena tak pernah kudapat ditengah hiruk pikuk kota Bandung. Dari kejauhan pepohonan rimbun tampak kecil dibawah kaki Gunung Guntur. Perlahan suara santri yang mengantri makan pagi mulai terdengar riuh. Aku merindukannya. Merindukan setelah sekian tahun meninggalkan tempat ini dan sekarang kembali ke tempat bersejarah bagi hidupku. 

Aku memejamkan mata, menghirup pagi yang segar, mendengar kicau burung, mendengar air mengalir dari irigasi sawah. Ini yang aku rindukan. Ada masa lalu tertinggal disini. Masa lalu yang indah saat bersama Abdi. 

Dia mengajakku bercengkerama di bawah saung di tengah sawah belakang kelas. Disana burung bangau silih berganti menyapa dengan gemulainya menari diantara kami. Sesekali bangau terbang menyapa para petani. Dia mengajakku bermain dengan ilalang yang tumbuh lebat. Bernyanyi dengan gitar kesayangannya dan sesekali kabur dari asrama hanya untuk saling menukar surat cinta. 

Dulu aku santri nakal, beberapa kali pernah mengintipnya dari kaca asrama yang tinggi, sehingga aku harus menggeserkan lemari agar bisa melihatnya bermain sepakbola di halaman utama. Tiba-tiba mata batin kita berbicara. Kau melihatku dan aku dengan malu tersenyum lalu menghilang dari pandanganmu. 

Seringkali saat sore menjelang, diatas kasur tingkat aku melihatmu lari sore dengan sahabat-sahabatmu. Dia sering mengenakan celana kotak biru dongker ketika lari sore, hingga aku ingat hal itu. Lambaian tanganmu di tengah lapangan utama seakan membuatku jatuh pingsan. 

Suatu siang aku pingsan dan dibawa ke UGD rumah sakit Garut, saat mataku terbuka kau telah duduk temaniku dan menyambutku dengan senyuman cerahmu “Kau baik-baik saja, Fatimah?” tanyamu khawatir saat itu. Kau memberiku air susu hangat yang dibeli dimalam hari sesaat sebelum orangtuaku datang. Tapi kau pergi entah kemana saat mereka ada disampingku. Katamu malu jika bertemu dengan orang tuaku. Padahal aku ingin mengenalkanmu, mengenalkan orang yang telah menjagaku dari siang hingga malam tiba. 

Abdi, mungkin kita hanya sebuah cerita saja. hari ini dibawah mentari yang menghangatkan tiba-tiba saja aku mengingatmu. Mengingat apa yang telah kau beri untukku. Begitu baik kau untukku. Tapi berubah 180o sesaat kau jatuh pingsan saat latihan syufu. Aku menyesali hari itu, karna aku tak sempat menemuimu di rumah sakit saat kau mengeram kesakitan. 

Apa kau mengingatku, Abdi? Padahal beberapa hari lagi, ada seorang teman yang akan melamarku. Semenjak Abdi jatuh pingsan dan mengalami hilang ingatan, kami tak pernah bersua lagi. 

“Abdi...!” sapaku sesaat kau kembali dari rumah sakit. Kau hanya mengerutkan kening dan mencoba mengingatku. Kulihat hari itu kau mengepalkan tangan karena amarah pada fikiranmu yang tak kunjung sembuh. 

“Fatimah!” dia mengingatku tapi persekian detik dia berlalu seperti angin berhembus. Kau berlalu tanpa menghiraukanku. Temanku memelukku erat, membasuh airmataku karena dia tahu betapa sakitnya aku, karena kau tak mengenaliku lebih jauh lagi. 

“Abdi, kau mengenaliku?” untuk yang kesekian kalinya aku bertanya lagi saat bertemu di mini market sekolah. 

“Aku mengingatmu, aku ingat!! Aku ingat!!” jawabmu dengan tegas pula kau berlari dengan sepatu yang kuberi beberapa bulan sebelum kau terluka. Kau berbalik dari jauh dan memandangku dengan kerut keningmu. 

Aku membeli gantungan kunci berlogo klub bola kesayangannya “Aku tak punya banyak uang, jadi hanya ini yang bisa aku beli untukmu!” 

“Aku tak menyukai Barcelona” sekali lagi Abdi membuatku menangis, dia melempar gantungan kunci jauh 3 meter dari wajahku. 

Kakaknya mengatakan bahwa Abdi mengalami Retrograde Amnesia, sebuah penyakit hilang ingatan pada peristiwa-peristiwa detail yang pernah ia alami. Airmataku tak bisa terbendung dihadapannya. Kacamataku berembun, bibirku bergetar, kakak perempuannya memelukku, seolah kami telah kenal begitu lama. 

Dear Abdi, 

Aku tunggu kau hari ini di saung belakang kelas. Bawa gitar kesayanganmu. 

Fatimah 


Aku menulis surat pada selembar tissue ketika melihatnya berjalan ke arah kelasnya. Kau mengambil tissue itu dan seperti biasa menghilang seperti angin. Tak ada ucap sepatah kata pun darinya. Bangau terus menari dihadapanku. Sambil menunggu aku menulis sebuah puisi untuknya 

Kau puisiku berbaris diantara sajak yang hampir patah 
Menjadi syair tanpa tanda baca 
Semuanya tandas dan tandus dimakan usia 
Kau nadaku yang tak berirama 
Hukum relativitas tak berguna untukku 
Begitu juga rumusan baku pada sistem keuangan 
Semua nyaris hilang 
Sama sepertimu yang tak bernyawa 
Walau bagaimana pun 
Walau Retrograde mengubah taqdir kita 
Walau ilalang tak tumbuh subur lagi 
Kau tetap menjadi Hamba 
Sama denganku Hamba yang selalu melakukan khilaf 
Dengarlah aku ingin bernyanyi 
Dengan suara parau 
Jika kau tetap tak mendengarku 
Biarlah angin membawa suaraku 
Dengan ribuan atom yang menjadikan partikel dalam ruang sendu 
Kau tetap puisku yang berbaris menjadi sebuah kalimat dalam hitungan detik. 




Sampai suara adzan Ashar berkumandang, kau tak nampak untuk menyembuhkan lukamu, menyembuhkan Retrograde agar kita selamanya, saling bertukar cerita dan bertukar surat cinta dengan diam-diam tanpa diketahui teman-teman. 

Kau memutuskan pindah sekolah ke tempat yang jauh dari Garut, agar kau bisa terapi disana. Berkat bantuan Aqo, salah satu sahabatnya, beberapa surat cinta Abdi untukku beberapa waktu yang lalu diselipkan didalam ranselnya. Aku pun menyimpan beberapa surat cinta Abdi sampai saat ini, dan pernah terbaca oleh Galuh, calon tunanganku, tapi tak sampai hati dia memarahiku karena aku menceritakan semua history Abdi. 

Semilir angin tetap menyelimuti dengan lambat laun matahari semakin meninggi. Aku larut dalam ingatan masa lalu bersama Abdi. Sambil melihat hamparan hijau aku mencoba menarik nafas untuk merefleksikan kembali ketegangan-ketegangan urat persendian. 

Biipp.. ada BBM dari Wisnu 
“Dimana Fatimah? Bentar lagi shooting mau dimulai, kamu mau ikut atau istirahat di ruangan” 

Aku kembali ke asrama untuk melakukan praktikum terakhir mata kuliah Produksi Film. Shooting film yang kelima kalinya selama menjalankan studi Strata 1 di Unisba. Setelah menjadi sutradara di shooting film keempat, kini teman-teman memilihku menjadi Pimpinan Produksi yang merangkap sebagai penulis skenario. 

Karena kelelahan, suhu badan naik drastis saat pertama kali menginjakan kaki di Garut. Hari pertama pengambilan gambar, aku terbaring diatas kasur tapi hari ini aku putuskan untuk melihat shooting film dan sengaja kami mengambil semua pemeran dari santri yang telah kami gembleng selama 3 minggu lamanya. Sekedar untuk menambah pengalaman baru bagi mereka di dunia perfilman. 

“Ikut ke lapangan, Fatimah?” tanya Afthon sebagai sutradara film kali ini. 

Aku mengulas senyum hangat kepadanya “Iya dong! Mau liat anak-anak acting, penasaran nih!” jawabku padanya. 

“Good Job!” ucapnya. 

Ditengah shooting aku kabur ke belakang kelas. Masih ada saung disana, tapi sudah lebih bagus, aku lihat ada beberapa potong kue ubi dan sebuah teko butut disana. Tiba-tiba ada petani menghampiriku. 

“Cari siapa neng?” tanyanya padaku dengan kebingungan tampak pada raut wajahnya. 

“Eng-enggak kok Pak, sa-ya cu-man nengok aja kesini, sa-ya alumni pesantren” jawabku dengan terbata-bata karena kaget disapa tiba-tiba. 

“Ooohh.. alumni, sok atuh neng mangga calik![1]” pinta petani padaku 

“Iya Pak, terimakasih. Enggak akan lama kok Pak, cuman nengok aja!” jawabku sambil berlalu. 

Aku pergi berjalan diatas tanah setapak yang sedikit becek. Lalu pergi ke arah timur pesantren, dengan bantuan sebuah camera digital ditangan aku mengambil beberapa gambar yang masih kental aroma desanya. Aku melewati sebuah bangunan yang dulu tumbuh ilalang setinggi 100 meter. 

Kembali dari jalan-jalan singkat aku duduk bersama Afthon di balik layar televisi yang memuat gambar dari kamera satu. Aku memperhatikan santri beracting di depan kamera. Sesekali take harus di ulang karena salah intonasi atau salah bergerak, hal itu biasa untuk pemula. Sesekali aku turun ke lapangan membantu mereka agar sesuai dengan keinginan sutradara. Dan tak jarang pula aku menjadi objek di depan kamera terlebih dahulu. 

Kembali lagi aku duduk, dan mataku tertuju pada bangunan didepan mata. Abdi. Ucapku dalam hati. Bukan, itu bukan Abdi. Untuk apa Abdi ada disini? Untuk menyapaku? Untuk melihatku praktikum? Aku tak tahu nomor kontaknya, aku tak memberi kabar kepadanya. Semakin jelas wajah itu mendekat dan terus mendekat, matanya semakin dekat semakin tampak hitam, hidungnya semakin jelas tajamnya, tidak ada fatamorgana. Mataku mengikutinya dan terus mengerutkan kening, hingga matanya tepat pada lensa mataku. 

Lututku lemas, tak mampu berdiri menyapanya. Dia melihatku dan terus berlalu ke arah asrama putera. Wajahku memutar 90o ke arahnya. Wajahnya tetap menatap kedepan meski beberapa detik dia menangkap mataku. Abdi. Dia ada disini. 

Saat cofeebreak tiba, aku berjalan menuju asrama. Di dapur asrama secangkir teh hangat dalam gelas beling transparan terlihat sangat cokelat keemasan tepat didepan seorang pria bertubuh tegap dengan koran yang dibacanya. Dengan tegar aku menghampirinya. 

“Assalamu’alaikum” sapaku. 

“Wa’alaikumsalam” jawabnya dengan sedikit kaget dan ragu. Dia menatap wajahku dan mengerutkan keningnya “Fatimah!?” ucapnya dengan suara rendah. 

“Abdi, kau mengingatku?” 

“Iya, tentu aku mengingatmu!” jawabnya tanpa ragu tapi aku ragu sejauh mana ia mengingatku. Sejauh aku mengingatnya? Atau sejauh ia mengingatku dengan lemparan gantungan kunci Barcelona? 

“Syukurlah, aku kira kau tak ingat padaku!” dengan mata penuh harap agar ia mengingatku lebih jauh dan lebih dalam lagi. 

“Kau yang selalu memaksaku agar aku mengingatmu beberapa tahun yang lalu” ucapnya. 

Dia mengingatku sejauh dia mengingat gantungan kunci yang dilemparnya. Bibirku ngilu, panas badanku tiba-tiba naik beberapa celcius, mataku menjatuhkan airmata. 

“Kamu tidak apa-apa, Fatimah?” tanyanya sesaat air mataku jatuh, persis seperti dia bertanya saat aku terbaring di UGD. 

“Oh.. engg-nggak apa-apa Abdi, kemarin aku sedikit demam dan sekarang sedikit memaksakan diri, oh iya kenapa kamu ada disini?” alih pembicaraan menjadi jurus jitu untuknya. 

“Baru 2 bulan aku mengajar Bahasa Inggris disini, menggantikan Mr. Adam karena dia harus pergi ke Arizona untuk satu tahun” ujarnya. 

Kami pun sedikit bertukar cerita tentang kedatanganku ke pesantren dan kehadirannya disini. Aku tak sampai hati terus berlanjut pada cerita yang lebih dalam. Dan tak ingin menceritakan masa lalu itu. 

Sesampai di ruang tamu aku beristirahat sejenak untuk menarik nafas, tiba-tiba Galuh datang dari Bandung dengan sebungkus makanan ringan. 

“Fatimah, sakit apa sayangku?” tanyanya padaku dengan kekhawatiran lalu menatapku dengan seksama. 

“Cuman kecapean aja, aa!” jawabku. 

“Sudah makan obat?” seketika teman-teman menggoda kami karena perhatian Galuh memang sangat luar biasa untukku 

“Udah, jangan gitu aa, malu ama temen-temen” ucapku padanya. 

“Biarin aja sayang, mereka belum merasakan sayang kepada seseorang sih” ucapnya dengan tawa khasnya. 

Kami pun larut dengan cerita kami, Galuh dengan pekerjaannya sebagai Sound Engginering di sebuah perusahaan perfilman dan aku dengan cerita sakitku dihari pertama shooting. Aku tak mempertemukan Abdi dengan Galuh meski saat itu mereka ada ditempat yang sama. Biar saja mereka berperan dengan perannya yang begitu spesial bagi masa laluku dan untukku hari ini. 

Dengan yakin aku dan Galuh bertunangan setelah kepulanganku dari Garut dan kami memutuskan untuk segera menikah seteleh selesai aku wisuda. Bagiku Galuh lebih luar biasa dari Abdi dan aku sangat bersyukur dia memilihku untuk menjadi calon ibu bagi anak-anaknya kelak. 




[1] Silahkan duduk! 

No comments:

Post a Comment