2 June 2012

Bunga Rose Untuk Isteriku


Karya : Nisa Rahmalia


Bahagianya setiap shubuh menjelang, segelas susu cokelat telah siap disantap. Terkadang ditemani roti selai strawberry, terkadang pula dengan gorengan panas yang baru diangkat dari wajan. Isteriku memang sholehah, seperti namanya Sholeha. Semua yang kusuka dia siapkan dengan senang hati dengan penuh senyum tulus saat ku tatap wajah lembutnya.
Pagi yang indah terkalahkan oleh pesona isteriku yang sudah cantik menunggu kepulanganku dari mesjid setelah melaksanakan sholat shubuh. Mataku berbinar melihatnya, wajahnya tetap lembut dan selalu berias hanya untukku. Aku selalu berfikir kapan dia menyediakan semua keperluanku, keperluan anak-anakku, makanan yang sehat untukku dan untuk anak-anakku, apakah dia lelah? Ataukah bosan?
Semenjak aku menikahinya semua waktuku berubah seratus delapan puluh derajat. Kesholehannya yang membuatku terus mengejarnya. Rumah kami hanya terhalangi oleh beberapa rumah tua dan sebuah bangunan sekolah. Akan tetapi, aku hanya bisa menemuinya pada waktu ‘Idul Fitri saja. kesholehannya yang menata waktuku menjadi seperti itu.
“Kamu bukan mahramku, maka tidak baik jika kita terlalu sering bertemu” ucapnya dengan seulas senyum di teras rumah ketika ‘Idul Fitri sepuluh tahun yang lalu.
“Aku tidak akan mengajakmu keluar rumah, Sholeha. Aku akan menemuimu disini, ditemani Abah dan Umi-mu” tegasku padanya.
Dia hanya tersenyum lembut, kerudungnya yang lebar menyapu wangi hari keberkahan saat itu. Semakin aku mengagumi gadis itu, semakin aku ingin mengejarnya sekalipun ada yang harus aku korbankan.
Dengan keberanian aku menghadap Abi yang sedang mengkaji sebuah buku di suatu malam “Aku ingin menikahi Sholeha, Abi!” wajah Abi merautkan ribuan pertanyaan. Sedikit demi sedikit ia merubah posisi duduknya. Buku yang beliau baca secara perlahan diletakkan diatas meja, kacamata tebalnya ia lepas secara perlahan seolah tak ada rantai yang menggantung di lehernya.
“Abi, aku ingin menikahi Sholeha” ucapku dengan penuh keyakinan.
Deheman Abi terasa menyeramkan malam itu. Abangku yang sedang duduk di dekat kami menoleh dan langsung pergi dari tempatnya, ia tahu pembicaraan itu hanya untuk kami berdua.
“Kapan kau ingin menikahinya, Irfan?” tanyanya membuatku ingin menangis bahagia.
“Secepatnya!” jawabku singkat.
Keluarga kami memang sudah kenal satu sama lain, sebelum aku dan Sholeha menjadi manusia dewasa kami pernah bertemu bahkan bermain ketika ada acara pengajian atau hari-hari besar seperti ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha. Semakin dewasa, Sholeha semakin cantik dan semakin sholehah seperti namanya. Sebagai lelaki dewasa aku semakin mengaguminya. Secara terbuka aku mengungkapkan rasa cinta itu kepada Sholeha, juga kepada kedua orangtuaku.
“Umi, restui aku dan Sholeha jika kita menikah nanti, ya! Karna do’a Umi yang selalu aku tunggu agar surga menjadi harapan kami” ibuku tersenyum dan mengusap kepalaku dengan lembut.
“Jadilah suami yang sholeh untuknya, karena perempuan yang sholehah hanya untuk laki-laki yang sholeh” ucapnya dengan panacaran mata tegas.
Ijab kabul pun terlaksana dengan secara sederhana, keluarga yang hadir saat itu terus mengucurkan do’a-do’anya untuk kami. Saat ijab kabul usiaku baru menginjak 21 tahun sedangkan Sholeha baru berumur 20 tahun saat itu pula kami masih belajar di perguruan tinggi. Pada dua tahun pertama usia pernikahan kami, seluruh keperluan masih tanggung jawab orang tua masing-masing termasuk biaya kuliah. Walau keadaan keuangan kami masih minim saat itu, aku tidak mengizinkan Sholeha untuk KB. Aku yakin Allah mengetahui kesiapan kami mempunyai anak, jika Ia berkehendak maka dengan Kun Fayakun-nya mudah menjadikan benih dalam rahim Sholeha. Ditahun ketiga ketika aku dan Sholeha menjadi guru honorer dengan siap aku memutuskan agar kedua orang tua kami tidak terus mengalirkan uangnya untuk kami.
“Umi!” ucapku pada Sholeha seusai makan malam di rumahku.
“Iya ada apa Abi?” dengan gesit ia menghampiriku tentu dengan senyum yang selalu lembut di bibirnya.
“Abi punya cerita untuk Umi, apa Umi mau mendengar cerita Abi?” tanyaku padanya.
“Tentu Abi, Umi ingin sekali mendengar cerita Abi!” Sholeha mengubah posisi duduknya, matanya menatapku dengan berbinar, ia telah siap mendengar ceritaku.
“Umi, ada dua orang gadis cantik jelita nan rupawan, kedua gadis itu mempunyai bunga rose cantik yang sangat mereka cintai” perlahan aku mengela nafas panjang untuk menjeda ceritaku “lalu gadis cantik jelita nan rupawan yang pertama memetik bunga rose tersebut karena rasa sayang yang menggebu, gadis itu tak mau ada orang yang mengambil bunga rose dari halaman rumahnya. Dengan lembut dia mengusap bunga rose tersebut, mengajaknya tidur bersama, memeluknya, menciuminya setiap hari”
“Lalu?” tanya isteriku.
“Setelah itu gadis cantik jelita nan rupawan yang kedua pun sangat menyayangi bunga rose yang dimilikinya. Akan tetapi sikap gadis yang kedua ini berbeda dengan gadis yang pertama. Gadis cantik jelita nan rupawan yang kedua memagari bunga rose agar tidak dimakan oleh binatang, dia menyiraminya setiap pagi dan sore, hingga tumbuh subur dan berkembang biak. Setiap orang yang melewati rumahnya selalu mencium harum bunga rose, mereka selalu melihatnya dengan terpesona. Ketika orang-orang ingin memetiknya mereka berfikir berulang-ulang karena bunga rose tersebut milik gadis cantik jelita nan rupawan tersebut.” Sholeha mendengarkan ceritaku dengan seksama, matanya semakin berbinar, bibirnya pun semakin merekahkan senyum.
Kini usia pernikahan kami hampir menginjak di usia dua belas tahun. Akan tetapi sikap Sholeha sama seperti pertama kali aku menikahinya. Berbeda dengan mitos-mitos yang selalu aku dengar yang katanya semakin tua usia pernikahan maka semakin jarang pula melihat keindahan isteri. Hal itu sama sekali tidak benar untuk kehidupanku. Semakin bertambah usia, semakin aku menyayanginya, semakin pula aku melihatnya dengan anggun walau dia telah melahirkan 2 orang putra untukku.
“Abi, apa Umi boleh kuliah lagi?” tanyanya padaku, wajahnya sedikit ragu menatapku “karna Umi fikir, Haikal dan Rezki sudah cukup untuk Umi tinggalkan, Umi pun akan mengambil kelas karyawan. Itu pun jika Abi mengizinkan”
“Umi, apa umi masih ingat cerita bunga rose?”
“Masih ingat Abi, gadis cantik jelita nan rupawan itu kan? Abi, sebetulnya umi belum paham maksud cerita tersebut, bunga rose itu siapa?”
Aku mencari posisi duduk agar bisa menatap wajah isteriku “Bunga rose itu Abi, nah gadis cantik jelita nan rupawan itu Umi, sekarang Abi nanya ke Umi, Umi memilih menjadi gadis yang pertama atau yang kedua”
“Gadis kedua” jawab Sholeha “karena Umi ingin melihat Abi sukses dan orang-orang tau hal itu, Abi juga harus menyebarkan keharuman seperti bunga rose itu untuk masyarakat, menjadi Abi yang sangat berharga untuk keluarga dan masyarakat”
“Memang Umi ini isteri yang sholehah, ya?” kagumku padanya.
“Abi bisa saja ya merayu Umi. Kalau begitu Umi harus dirumah saja ya, Bi?” tanyanya kembali.
“Gadis cantik jelita nan rupawan itu harus menyiram bunga rose agar bunga rose bisa tumbuh dan berkembang, akan tetapi gadis cantik itu harus menyiram dan mewarat bunga rose dengan tekhnik yang benar agar bunga rose tidak mati” uacapku padanya.
“Maksud Abi?” dengan kening yang mengerut Sholeha sedikit kebingungan.
“Umi harus banyak belajar lagi agar bisa merawat bunga rose tumbuh dan berkembang dengan baik dan menjadi harum sepanjang masa”
“Umi boleh kuliah, Abi?” aku mengangguk tegas kepadanya. Sholeha mencium punggung telapak tanganku mengucap terimakasih kepadaku.
“Terimakasih Abi, Umi janji akan merawat bunga rose dan menyiraminya agar menjadi bunga yang harum sepanjang masa” aku pun mencium keningnya yang lembut.
Kini setiap pagi di hari sabtu dan minggu aku mengantarkannya ke salah satu universitas pilihannya. Sholeha memilih fakultas pendidikan sama seperti yang ia pilih saat mengambil Strata Satu. Walaupun kesibukan Sholeha bertambah dengan tugas-tugas kuliah dan tugas mengajarnya, Sholeha tetap sama seperti saat pertama kami menikah.
Dia berusaha menyirami bunga rose dan keturunanya dengan segala usahanya. Meski waktu yang dimiliki hanya sedikit dia tetap mencabuti rumput liar disekeliling bunga rose, dia merawatnya dan terus menjaganya. Tak tampak sedikitpun keletihan yang terpancar dari wajahnya, kulihat senyum selalu menghiasi wajahnya saat menyiram bunga rose. Semga bunga rose tumbuh dan berkembang juga menyebarkan wanginya sepanjang masa.


No comments:

Post a Comment