Agama selalu bisa dimanipulasi SATU
kepedihan membuat Mernissi menggugat kedudukan perempuan dalam Islam. Nyeri itu
muncul, saat dia remaja, dan mendengar hadits yang dibacakan gurunya: “Anjing,
keledai dan perempuan akan membatalkan salat seseorang apabila mereka melintas
di depan, menyela antara orang yang salat dan kiblat.”
“Perasaan saya amat terguncang
mendengar hadits semacam itu, saya hampir tak pernah mengulanginya dengan
harapan, kebisuan akan membuat hadits ini terhapus dari kenangan saya. Saya
selalu bertanya, bagaimana mungkin Rasullullah mengatakan hadits semacam ini,
yang demikian melukai saya… Bagaimana mungkin Muhammad yang terkasih, bisa
begitu melukai perasaan saya, gadis cilik, yang di saat pertumbuhannya,
berusaha menjadikan dia sebagai pilar-pilar impian romatisnya,” aku Mernissi
dalam Wanita dalam Islam.
Sejak kecil, Mernissi memang
telah terlibat dengan pemikiran keislaman, dan melontarkan
pertanyaan-pertanyaan yang liar. Ia misalnya menggugat batas antara lelaki dan
perempuan. Kalau disepakati ada batas, katanya, kenapa hanya pihak perempuan
saja yang dibatasi dan ditutupi. Di mana keadilan itu?
Tak heran, akibatnya, hubungan
Mernissi dan agama menjadi begitu ambivalen. Di rumah, melalu neneknya,
Yasmina, ia diajarkan agama secara indah, puitis dan bersahabat. Di sekolah, ia
diajarkan al-Quran dengan cara yang keras. Ia harus menghapal ayat, dan jika
salah, bentakan dan pukulan selalu menderanya. Agama baginya jadi sesuatu yang
mengerikan. Tak heran, ajaran neneknya tentang perjalanan haji, keindahan
Mekkah dan Madinah, nikmatnya bergegas meninggalkan arafah dan Mina untuk
menginap di Madinah, amat mengobati luka itu. Obsesinya pun muncul untuk
melihat dan menikmati kota Nabi tersebut.
Dua cara didikan ini membuat
Mernissi mengganggap agama Islam sangat tergantung pada bagaimana perspektif
dan penerimaan kita terhadapnya. Ayat suci bisa menjadi gerbang melarikan diri
atau hambatan yang tak bisa diatasi. Al-Quran bisa menerbangkan ke alam mimpi,
atau pelemah semangat belaka.
Dewasa di penjara harem
Fatima Mernissi lahir di Fez,
Maroko, 1940. Ia tinggal dan dibesarkan dalam sebuah harem bersama ibu dan
nenek-neneknya, serta saudara perempuannya. Harem itu dijaga ketat seorang
pejaga pintu, yang mengawasi mereka agar tak meninggalkan “penjara” itu, dan
digembirakan beberapa pelayan.
Nenek Mernissi, Yasmina, adalah
istri kakeknya, dengan sembilan wanita lain. Tapi, nasib buruk itu tak menimpa
pada ibu Mernissi. Ayahnya, seorang nasionalis Maroko, menolak poligami.
Berbeda dari ibunya yang tak bisa
membaca, Mernissi yang lahir di saat kaum nasionalis berhasil mengusir Prancis,
mendapatkan hak untuk bersekolah. Meskipun tinggal di harem, ia dapat mengenyam
pendidikan yang tinggi. Semua kisah Mernissi di harem, bersama keluarga
besarnya, hasrat mereka untuk menikmati kebebasan, dan kegembiraan melihat
dunia luar meskipun hanya dari lubang kunci, dia gambarkan dengan indah
–sekaligus pedih– dalam bukunya, The Harem Within.
“Jangan bayangkan harem hanya
berada di dalam istana (imperial), karena harem yang saya tinggali adalah harem
kelas biasa (domestik), yang tak bergelimang dengan kemewahan,” tulisnya. Tapi,
Mernissi tetap berhasil mendapat gelar di bidang politik dari Mohammed V
University di Rabat, Maroko, dan gelar PhD dari Universitas Brandels, Amerika
pada tahun 1973. Disertasinya, Beyong the Veil and Male Elite menjadi
rujukan kepustakaan Barat untuk melihat posisi perempuan Maroko.
Karya-karya Mernissi memang sarat
dengan gugatan yang bersumber dari pengalaman pribadinya. Ia pun dengan rajin
meriset apa pun yang mengganggu paham keberagamaannya. Pelacakannya terhadap nash-nash suci
Quran dan hadis membuat kritik Mernissi begitu terasa tajam. Ia misalnya,
melacak perawi hadits sampai tingkat yang terkecil, dan meneliti riwayat hidup
perawi tersebut, dan membongkar kecacatan hadits itu. Baginya, amat mustahil
Rasullulah Muhammad sampai memosisikan perempuan dalam kedudukan yang serendah
itu.
Tafsir alternatif Mernissi yang
amat terkenal tajam dapat terlihat dari dua bukunya, The Forgotten of Queen
in Islam dan Islam and Democracy, yang keduanya telah diterjemahkan
ke bahasa Indonesia, Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, oleh Mizan, 1994,
dan Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutanoleh LKIS, 1994.
Mernissi menunjukkan, kekurangan
pemerintahan Arab bukanlah karena UUD mereka tak Islami, tapi karena para
pemimpinnya menafsirkan agama berdasarkan kepentingan mereka. Mernissi
menunjukkan, betapa agama dengan sangat mudah dapat dimanipulasi. Karena itu
aia percaya, penindasan terhadap perempuan adalah semacam tradisi yang
dibuat-buat, bukan murni ajaran Islam. Makanya, tak ada keraguan bagi feminis
ini untuk menggugat hal tersebut dalam bukunya, Rebellion’s Women and
Islamic Memory.
Sebagai seorang sosiolog,
Mernissi bahkan bergerak dalam wilayah yang amat luas. Ia misalnya, amat
konsern pada masalah hijab. Hijab baginya hanya pembatasan ruang publik bagi
seorang perempuan. Hijab juga berarti pemisahan antara penguasa dan rakyat,
sebagai citra kekuasaan mutlak dunia lelaki atas perempuan. Kenapa hijab
menjadi agenda Mernissi? Karena hidup dia dan keluarganya, amat menderita oleh
praktik hijabisasi itu.
Mernissi juga menjelaskan secara
sosiologis batas-batas seksualitas perempuan Maroko, dan bagaimana hidden
transcript masyarakat menunjukkan perlawana hal itu. Bukunya yang berasal
dari disertasi, dan beberapa buku penelitian yang lain, adalah representasi
–juga perlawanan– yang sangat baik tentang persoalan perempuan di dunia Islam
pada umumnya. Dan tampaknya, sampai kini, Mernissi tak berniat akan pernah
berhenti.
Fatima Mernissi tidak menafikan
pentingnya faktor ekonomi dan politik dalam sebuah negara --untuk menentukan
nasib kaum wanita khususnya. Tetapi, ada masalah yang lebih penting lagi, yaitu
"discourse tentang wanita" yang telah diciptakan oleh sosio-budaya
Arab. Menurut Mernissi, diskursus wanita yang berlaku dalam komunitas Arab
telah dibentuk sedemikian rupa oleh budaya dominasi lelaki. Dan dengan dominasi
itu, perempuan selalu ditempatkan dan dipandang negatif --dari perspektif apa
saja. Mernissi tidak meletakkan seluruh
beban pada negara. Ia lebih menyalahkan struktur sosial yang telah
menyengsarakan nasib wanita. Yang dimaksud dengan struktur sosial, menurutnya,
juga doktrin dan ajaran agama yang menjadi salah satu fondasi penting sebuah
masyarakat. Mernissi tidak sepenuhnya percaya dengan sekelompok elit pemikir
(kaum tradisionalis?) yang turut membicarakan persoalan perempuan. Bahkan ia
menganggap diskusi-diskusi di sekitar turats sebagai omong kosong. Menurutnya,
"perdebatan di sekitar turats tidak lebih dari cara baru kaum lelaki meraih
kembali dominasinya atas wanita".
Mernissi memandang turats secara
negatif. Ia percaya bahwa model masa lalu (al-madli) tidak lagi memadai untuk
konteks modern. Itu karena ia meyakini bahwa persoalan yang dihadapi masyarakat
Arab sekarang sangat kompleks. Kendati demikian, bukan berarti
Mernissi sepenuhnya berpegang pada capaian modernitas. Dalam banyak tulisannya,
dengan keras ia mengecam Barat. Model feminisme yang dikembangkan Barat,
menurutnya, hanya melahirkan diskriminasi terhadap perempuan dengan bentuk
lain.
mantap... ijin copy non..
ReplyDeleteOkey baraya.....
Deleteijin copi yah,,,makase
ReplyDelete