14 February 2013

2x5 tahun, Riz

Matanya bundar, bulu mata lentik dan panjang. Tubuhnya gempal setinggi badanku. Dia berlari dengan tas gendong dan sepatu kets kesayangannya. Berlari bersama angin senja yang menyapu. 

“Riz, kau mau kemana?” tanyaku padanya 

“Saya mau bermain sepakbola dulu, Za!” jawabnya “tidak akan lama kok!” 

Aku cemberut, tercermin diatas genangan air hujan yang telah berlalu sore itu. Riz pergi tergesa-gesa ke arah teman-temannya yang sudah siap menunggunya hendak bermain sepakbola di alun-alun kota. 

Aku  menunggunya dengan setia ditemani secarik kertas dan sebuah pena hitam. Duduk di taman kota, melihat sekeliling yang ramai dengan para pedagang kaki lima. Mereka mengadukan nasib hingga petang tiba.

Di penghujung senja aku tetap setia temani buku-buku dan coretan kecil hasil karyaku, tapi Riz belum tampak walau batang hidungnya. 

“Riz, lama sekali!” gerutuku setibanya di taman kota. 

“Saya hanya pergi 2x45 menit, Za” jawabnya dengan santai “dan saya tidak akan meninggalkanmu lagi selama itu” janjinya padaku. 

“Baiklah! Ayo kita pulang, sebentar lagi adzan maghrib!” ajakku dengan menarik tangannya. 

Kami berjalan menelusuri pasar yang mulai lengang. Dia berjalan disampingku. Bau keringatnya menusuk, tercium sampai ujung dada. Dia terus memainkan bola yang dipegangnya. Melempar sesekali ke arahku. 

“Zaa, sini dulu!” Riz berteriak dari arah belakangku, aku tak menyadarinya dia tertinggal olehku. 

Aku memutar badan “Ada apa?” teriakku kembali sambil menghampirinya. 

“Sini liat! Gelangnya bagus kan?” dia membeli dua buah gelang, perpaduan antara warna cokelat dan hitam dengan besi yang menghiasinya “satu untukmu dan satu untuk saya” 

Riz memberiku sebuah gelang “Ayo pakai! Agar kamu bisa menemukanku kembali jika suatu saat kita tak bersama!” pintanya padaku. Dengan seulas senyum aku memakai gelang pemberiannya. 

“Oh ya, di belakang gelang itu bertuliskan nama kita, lihatlah!” pintanya lagi dengan pancaran mata bias mentari senjanya. 

“Gelangnya bagus dan aku pakai dan... makasih Riz” jawabku di senja itu dengan langkah yang semakin cepat. 

Kami berpisah di depan rumahku, dia menghilang dari pantauan mata. Dia berlari dengan cepat ke arah terminal kota untuk bergegas menaiki angkutan umum menuju rumahnya. Dia berbalik lagi ke arahku “Sampai jumpa besok Za!” tangannya melambaikan ke arahku dan aku membalas lambaiannya. 

**** 

Aku tersenyum mengingat kejadian 10 tahun lalu, Riz memberiku sebuah gelang. Tak sengaja aku menemukan gelang yang telah kusam dimakan usia itu saat aku membereskan berkas pada lemari tua milik ayah. Dibelakang besi itu bertuliskan “Riz & Zaa”. 

Saat itu kami masih berseragam putih merah, kami senang berlari berkeliling kota yang masih lengang dari kendaraan. Jalannya masih tua dan masih banyak hilir mudik orang mengendarai sepeda ontel, termasuk kakekku yang suka menjemputku dengan ontel kesayangannya lalu Riz meminta kakek memboncengnya juga. Kami selalu menikmati sore bersama sesaat pelajaran usai.

Kami sering bermain dingdong di tempat bermain games dan rental komputer yang berjarak 500 m dari arah sekolah kami. Dia sering membelikanku es Ningnong rasa alpukat dengan 250 rupiahnya. Kami sering berjalan kaki untuk melihat pemandangan kota di taman kota atau sekedar melihat para pedagang burung di alun-alun setelah melaksanakan les tambahan sebelum Ujian Nasional tiba. Lalu membeli gulali berbentuk burung dan ayam. Rasanya sangat manis dan terkadang zat pewarnanya melekat pada bibir kami sehingga warna merah atau hijaunya menjadi bulian kami. 

“Za, kamu senang bermain denganku?” tanyanya suatu sore ditengah alun-alun sambil menjilat es potong seharga 250 rupiah. 

“Iya Riz, mana mungkin aku tak senang bermain denganmu. Aku tak punya alasan tak senang bermain denganmu, kalau aku nggak senang bermain denganmu, aku akan main dengan teman-temanku yang lain” jawabku saat itu. 

“Syukurlah!” bisiknya. 

Riz berjanji tak akan meninggalkanku kecuali 2x45 menit “Tenang aja Za, aku nggak akan meninggalkanmu, kecuali kalau aku bermain sepakbola sama teman-teman, mana mungkin kamu bermain sepakbola, bukan?” 

Apa ia masih mengingatku? Masih mengingat persahabatan kita? Masih mengingat janjinya? Aku tak tahu! Entah dimana keberadaannya kini. Kita terpisahkan jarak dan aku tak pernah tahu letak tepat rumahnya. 

Kami tak pernah bertemu lagi setelah pertemuan terakhir. 

“Za, di kelas baruku sekarang ada perempuan bernama Cinta” ceritanya padaku sesaat aku pulang dari asrama. 

“Benarkah?” tanyaku padanya “nama yang bagus, seperti nama tokoh pada film bioskop” ulasku padanya. 

“Iya benar! Film Ada Apa Dengan Cinta. Tapi wajahnya tak secantik dirimu” terangnya padaku, aku tersipu malu. 

“Za, gelangnya masih kau pakai?” 

“Ini!” aku memperlihatkan pergelangan tangan kiriku. 

“Bagus.. bagus..” senyumnya terulas beberapa detik “Kalau saja kamu tak masuk pesantren, kita bisa bermain lagi seperti dulu, mengelilingi taman kota, dan apa kamu tahu alun-alun sudah semakin indah, Za” jelasnya padaku menceritakan alun-alun yang sering kita nikmati bersama. 

“Aku sudah terlanjur masuk pesantren, Riz. Mudah-mudahan kita bisa bermain bersama lagi dan bisa lebih lama lagi” ujarku padanya. 

Kala itu maghrib menjelang dan hujan pun menghujam perlahan. Dia pergi ke arah terminal dan aku masih terpaku di gerbang rumah. Pertemuan itu tak kusangka menjadi yang terakhir kalinya. 

Aku tersenyum sendiri saat melihat lebih dalam lagi gelang pemberiannya. Ingin rasanya bertemu Riz. Apa wajahnya masih bulat dan bulu matanya masih hitam pekat dan lentik? Ternyata aku merindukannya! 

Kukenakan lagi gelang itu dan membersihkannya dari usang yang menempel. Tak bermaksud agar bertemu lagi dengannya tapi untuk membasuh kerinduan kepadanya. Biarlah dia menghilang atau melupakanku, ternyata Riz pergi bukan 2x45 menit tapi 2x5 tahun. 



*Untuk teman yang sampai kini, aku belum bertemu dengannya, Apa Kabar Aji?


No comments:

Post a Comment