1 September 2013

Sebuah Masa yang Hilang

Satu kesempatan manusia, ketika berjalan tanpa menoleh ke belakang.
Namun nampaknya, memori menjadi kaca spion yang menerawang jauh ke masa lalu.
Banyak yang merindukannya. Ingin mengulanginya. Bahkan ingin mengubahnya
Tidak mungkin. Tidak mungkin itu bisa dilakukan.
Nyatanya, kaki ini tetap melangkah ke depan.
Bagaimanapun yang akan terjadi kita tahu itu adalah rahasia terbesar, tak ada seorang pun mengetahuinya.

Viena,
Korea,
Turki,
India
Impian kita.
Kemarin kita catat dalam sebuah buku yang hampir kusam terbasahi hujan.
Kau bilang, buku itu tidak akan menghalangi kita untuk menembus negeri-negeri seribu cerita dan sejarah itu.

Kita menulis berbagai macam model bangunan untuk kita tempati di kemudian hari.
Dalam buku itu, kutulis semua impian dengan tinta merah, mengapa? menggambarkan kekuatan darahmu, ketegaran ragamu, keberanian pikiranmu.
Dalam buku itu, kau tulis semua impianmu dengan tinta biru
Saat kutanya "Kenapa tinta biru yang kau pakai?"
Jawabmu "wajahmu adalah semangatku meraih langit"
Kau penggombal ulung, Riz, tak ayal buatku merah merona, tersenyum dan tersipu karenamu.

Kita mengadu cerita saat senja bahkan hingga larut,
Kita pun beradu tawa saat mendengar lagu Rhoma Irama didendangkan para satpam kampus dengan fals. Nadanya sumbang tertutupi rintikan hujan malam itu
Indah.. Saat itu sangat indah, Riz.
Karena kamu disampingku menghangatkan kerisauan, menumbukan semangatku untuk meraih impian.
Yah, meraih impian denganmu tentunya.

Kamu bahkan terlalu sering menggombaliku.
Kamu mengerlingkan mata di saat orang-orang tak memperhatikan.
Kamu menyapaku dalam keramaian.
Banyak kegombalan buatku jatuh hati padamu kemarin, kemarin, kemarin, dan kemarin hingga aku jatuh hati untuk yang kesekian kalinya padamu.

Senja selalu menjadi penghujung pertemuan.
Matahari yang akan tenggelam di ufuk barat itu kita lihat dari balkon gedung kampus yang paling tinggi.
Punggung kita menghadap mushala di atas bangunan itu.
Wajah kita pemerhati burung-burung yang seolah akan terjatuh ketika mereka terbang namun mereka tetap semangat mengepakan sayapnya.
Setiap senja kita membaca semua impian yang kita tulis dalam buku itu
Kuharap bisa kita perjuangkan bersama.
Wajahmu pemicu semangatku.
Kau bilang padaku "tanganku adalah pelindung bagimu dan kelembutan wajahmu adalah penyejuk hatiku"
Riz, kamu begitu membuatku merekahkan senyumku.

Riz, keyakinanku padamu seperti sebuah pisau yg akan mengukir kayu menjadi patung yang sangat mahal.
Kamu juga adalah aorta bagiku.
Saat bersamamu aku tak pernah melihat fatamorgana membayangi mataku.
Tak pernah juga aku melihat langit tak berbintang.

Kamu adalah lelaki hebat yg aku temui dengan takdirNya.
Kamu memarahiku saat aku tak bekerja dg rapi.
Tapi setelahnya kamu mengajakku berjalan memutar kota asing yg baru kita singgahi.
Indah...
Saat itu sangat indah.
Kita berkeliling dengan sepeda motor dengan lambat karena saat itu dingin malam begitu menusuk kulit.
Hingga aku mencium baumu yang khas, menempel dalam otakku, menghipnotisku.
Bahkan jika kamu tahu, wajahku yang menghadap ke punggungmu itu berseri bahkan sangat berseri.
Indah...
Saat itu sangat indah.
Kedinginan saat itu menjadi hangat
Kamu mengajakku berkelana dalam alam pikiranmu dan alam impianmu.
Hingga aku pun ingin menjadi bagian impianmu.

Kamu, pemuda yang sibuk mengutamakan teman-temanmu hingga aku mengagumimu.
Kamu bermesraan dg secangkir kopi saat kepalamu sudah tak bisa menampung permasalahan.
Kamu menyukai teh manis saat makanan berat itu habis kau lahap.
Kamu pergi menghindar dariku karena kau akan menghisap sebatang rokok.
Kamu marah padaku saat tahu ada lelaki lain menggodaku. Ku tahu itu karena tatapan matamu menajam dan kubalas dengan senyumku yang merekah. Ada yang tak ingin aku diganggu.

Kamu pun mendekatiku saat suhu tubuhku naik dan perutku kram.
Dengan keikhlasan kamu menungguiku hingga aku lelap dalam pundakmu.

Namun sesal menusukku, saat aku melihatmu beradu canda tawa dengan sahabatku.
Aku menyesal kenapa aku pernah menjadi bagian hidupmu.
Kamu tahu, tiba-tiba fatamorgana membayangiku bahkan melelapkanku hingga aku melemas.
Kamu tak pernah menyakitiku, bahkan tak pernah membuatku bersedih.
Namun kenapa tiba-tiba kamu menjadikanku seorang diri?
Kenapa tiba2 tangan kekarmu melepaskanku?
Aku tak memiliki pelindung lagi.. aku lemah, Riz.
Kenapa kamu buatku menangis terlalu dalam?
Apa karna aku terlalu merinduimu?
Lalu apa yg harus aku perbuat agar kamu melindungiku lagi?
Apa yg harus kulakukan agar wajahku menjadi impianmu lagi?
Apa yg harus kulakukan agar kau temaniku lagi dalam senja dan purnama tiba?

Aku mencintaimu meski aku tak pernah mengatakan bahwa aku mencintaimu.
Aku mencintaimu kemarin, hari ini dan untuk esok.
Aku mencintaimu seperti kau mencintaiku, dulu.
Aku tak tahu kenapa langit tiba-tiba mendung dan menghempaskan kerisauan lagi.
Aku tak tahu kenapa kamu menghilang dari mataku, laun namun hilang dengan pasti

Teruntuk kamu, seorang pemuda bertangan kekar yg sempat melindungiku dari kerikil-kerikil tajam.
Ini, dariku, yang sebuah impiannya hilang terhempas angin masalalu.

Bandung, awal 2013.

No comments:

Post a Comment