19 February 2013

I and You in Memories

Aku menemukanmu di waktu yang tak kunjung usai. Kau menyapu wajahmu yang terkena debu. Meski debu tak tampak kau mengelapnya dengan sapu tangan yang setia kau simpan dalam saku celanamu. Perlahan aku membuka sebuah pelindung kepala, membenahi sehelai jilbab yang bersandang dengan manis. Kau memandangku dan mengukir senyum di pagi itu. 

Sudah beberapa kali kita berpapasan di lokasi yang sama. Lokasi tempat pertama kau dan aku pijaki di gedung biru itu. Tempat aku memandang senyummu dari jauh. Waktu mempertemukan kita dengan setia. Itu bukan kebetulan, tapi Tuhan telah melukiskan untuk kita. Secara sadar aku telah mencuri senyummu dan kugantungkan di langit-langit kamarku. Sebuah bintang pun berkerlipan bersamanya. 

Tubuhmu tegap. Watakmu pun tak kalah tegap. Sesekali kau perbaiki sebuah kabel yang menyatu pada gadget kesayanganmu, earphone yang kau pakai. Sesekali aku menyimakmu. Sesekali kau menatapku. Kau sadar aku mencuri pandangan darimu. Kita saling memperhatikan di setiap sudut ruang. Saat mata kita bertemu pada satu titik, ada mata yang tiba-tiba mengalihkan bersamaan. Bahkan langkah kakimu dari jauh hari telah ku hafal. Iramamu berbeda. Ketukan sepatumu nyaring namun bernafas riang. 

**** 

Saya bingung kenapa Tuhan mempertemukan kita pada waktu dan tempat yang sama, beberapa kali. Bukan untuk satu atau dua kali, tapi lebih dari lima kali. Saya tidak menghitungnya, tapi saya ingat karena banyak perkuliahan yang menjadi saksi keberadaan kita. Tuhan menggariskannya untuk kita. Entah apa yang akan terjadi di hari esok. Apakah kita akan bertemu lagi? Kita tidak tahu. 

Saya tahu bau parfummu, Za. Saat kita berpapasan kamu hanya berganti dua kali wangi parfum. Saya tidak memikirkan hal macam-macam, akan tetapi saat ada seseorang yang mempunyai wangi yang sama, pikiran saya adalah kamu. Tidak ada yang lain. 

Kamu perempuan cantik, cerdas dan eksotis. Meski cantik adalah relatif namun bagi saya kamu perempuan cantik yang saya kenal. Meski cerdas memandang IQ, namun bagi saya IQ hanyalah formalitas, bagi saya perempuan cerdas adalah perempuan yang memberikan senyumannya secara tulus. Dan kamu adalah perempuan eksotis, karena menurut saya eksotis bukanlah seksi secara lahir namun seksi dari dalam. 

Berulang kali saya memandangi pertemuan kita. Tidak ada yang istimewa namun ada yang tidak normal ketika kita bertemu. Kau tau apa yang tidak normal itu? Kita selalu memakai pakaian yang berwarna atau bercorak hampir sama. Saya seperti anak-anak labil yang menghubungkan hal satu dengan hal lainnya saat bertemu dengan perempuan yang saya bilang perempuan luar biasa. 

**** 

Kita memang tidak normal, Riz. Ada alasan mengapa kita tidak normal. Kita tidak pernah mengikat janji diantara waktu yang kita lalui. Namun waktulah yang memeluk kita. Bagiku ketidak normalan tersebut adalah jalan menuju keselarasan. 

Kau memang labil, Riz. Kau tidak pernah menyapaku. Kau hanya bisa mencuri pandang. Kalau aku seperti itu menurutku itu hal tidak wajar. Aku perempuan sedangkan kau adalah pria. Itulah sebabnya mengapa kita tidak normal. 

Dunia ini memang aneh, penuh kejutan. Kejutan terindah bagiku adalah kau hadir di saat tidak terduga. Kau ingat saat handphone-ku hilang? Kau tidak membiarkanku sendirian, kau menemaniku hingga telepon genggam itu kembali pada genggamanku. Mungkin itu hal kecil menurutmu namun bagiku, kau tidaklah biasa. 

**** 

Perempuan memang tidak normal. Kamu menganggap saya tidak normal juga? Saya hanya menyeringai indah. Saya hanya berbuat yang menurut saya itu adalah hal yang terbaik buat perempuan seperti kamu, Za. Saya ingat ketika matamu hampir berlinang, saya tidak tahan melihat perempuan menangis. Karenanya, saya menahan tangisanmu itu. 

Kamu pun selalu memberi saya yang terbaik. Kamu selalu memberikan saya informasi yang saya butuhkan. Kamu selalu sigap ketika saya membutuhkan sesuatu. Seperti guide, kamu tidak membiarkan saya tersesat di jalanan Bandung. Bagi saya, kamu luar biasa. Memberikan waktu luang di tengah kesibukan yang kamu hadapi. 

Iya dunia ini aneh, se-aneh kamu dan saya. Kamu memang peneliti. Kita tidak pernah mengikat sebuah janji diatas waktu yang kita lalui. 

**** 

Riz, apakah kita akan baik-baik saja? Apakah kita akan berjalan pada jalan yang sama dan tidak memilih jalan yang berbeda di tengah jalan nanti? Apakah kita akan seperti lilin yang hidup dna mati bersama? Atau mungkin kita akan seperti rel kereta api yang selalu bersama tapi tidak bersatu?

Riz, tiba-tiba pertanyaan itu muncul dalam benakku. Kata orang, wajar aku memikirkan hal ini. Jika ada lelaki yang memikirkan bagaimana ia hidup dengan seorang wanita di masa depan itu adalah serius. Apakah kau pernah memikirkan hal-hal yang aku pikirkan? 

Maafkan aku Riz, aku tau dalam hidupmu ada dua perempuan yang teramat kau cinta. Ibumu dan perempuan yang kau idam-idamkan, perempuan yang pernah kau ceritakan kepadaku, perempuan yang cerdas dan teramat cerdas, perempuan yang sudah menjelajahi bumi dengan kakinya, bukan perempuan yang sepertiku, masih bersembunyi di ketiak induknya. 

Aku tidak bermaksud memaksa. Karena kau tahu bahwa hidup bukanlah paksaan. Aku tidak ingin kau menjauh dariku hanya karena pertanyaan-pertanyaan itu. Aku tahu cita-citamu setinggi gunung Himalaya. Kau tahu bahwa pertanyaan itu pun setinggi cita-citamu? 

Maafkan aku Riz. 

**** 

Za, saya akan mengoreksi kalimatmu. “Hidup bukanlah paksaan” yang benar adalah “Cinta bukanlah paksaan”. Hidup ini adalah paksaan. Tidak ada satupun yang ingin dilahirkan ke bumi ini. Namun Cinta, adalah satu hal yang tidak bisa dipaksa. Walau terkadang harus memaksa. 

Setiap orang memiliki hak untuk mencintai. Alangkah bahagianya ada seorang pria yang mencintaimu melebihi cinta saya pada kamu. Alangkah bahagianya pria yang memilikimu kelak. Saya tidak tahu bagaimana kelak masa depan kita. Mungkin sekarang kita seperti rel kereta api yang berdampingan namun tetap pada garis yang kita genggam. Jika dipaksa untuk menyatu maka tidak akan ada kereta api yang bisa beroperasi. 

**** 

Riz, ada satu hal yang kau lewati dari kalimatmu, yaitu setiap orang memiliki hak untuk mencintai dan dicintai. Ada sebuah kalimat belum tuntas aku katakan yaitu tentang rel kereta api itu. Rel itu tidak akan bersatu akan tetapi mereka akan bertemu pada satu titik yang sama yaitu stasiun. Namun, aku pun tidak tahu, apakah stasiun itu sekedar peristirahatan atau pemberhentian terakhir. 

Seperti sebuket bunga yang kau beri untukku. Mungkin ini adalah buket bunga yang terakhir. Namun kau bilang “sebelum ada perpisahan maka tidak ada kata terakhir”. Mungkin aku harus mengembalikan lagi kepada waktu yang telah menjadikan kita manusia tidak normal. 

Kau tahu bahwa diantara harapan itu ada ketakutan? 

**** 

Saya selalu takut, akan tetapi ketakutan itu selalu saya tangkis dengan keberanian yang saya punya walau secuil tahi kuku saja. Harapan itu menjadikan kita lebih bergairah dan bertahan hidup di bumi ini. Walau terkadang keji, nikmatilah Za. 

Rasanya kau harus beristirahat karena malam memang tiba untuk kita pejamkan mata. Bukan untuk melihat esok seperti apa namun untuk kontemplasi hari ini seperti apa. Saya selalu menjadikanmu sebagai perempuan yang akan saya miliki. 

****

Kita memang bagaikan bongkahan nuklir yang bisa saja meluncur bersamaan atau diam adanya. Aku dan kau memang sama-sama pemalu dan memalukan. Pada dunia saja belum berani memutuskan dengan bijaksana apalagi di depan Tuhan nanti, namun katanya raga ini yang akan menjawab. Kita memang dedaunan yang akan gugur pada musimnya. Terkadang aku tak ingin sampai pada masanya, tapi tetap akan sampai dengan taqdirnya.

Aku mempercayai taqdir. Karenanya Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk kita. Jika aku ditaqdirkan untukmu, maka daun gugur pun tak mengapa, karena akan menjadi pupuk bagi akarnya dan dihisap kembali.  Jika aku taqdirmu, aku berjanji menjadi lilin yang setia menyala dalam kegelapan muncul mengejutkan. Aku pun berjanji menjadi genggagaman yang paling erat disaat tak ada yang mau menggenggammu lagi.

Aku percaya taqdir yang akan sampai pada kita. Jika aku bukanlah taqdirmu. Maka tetaplah bersamaku menjadi kenanganku yang paling indah. Bukan hendak mencemburui masa depanmu, namun menjadi sahabat terbaik sepanjang perjalanan kau dan aku bersama memungut puzzle-puzzle yang tercecer. 

Aku dan kau memang tertaqdir bertemu pada satu bagian kehidupan yang tidak normal. Berbicara tentang masa depan dan bersemangat menjalankannya, walau ternyata Tuhan mengajak kita untuk bertualang dulu sendiri-sendiri dengan jalan yang kita suka. Jalanan sesak pernah kita lalui. Hujan yang mengguyur pernah kita terjang. Meski ada satu yang belum kita temui yaitu satu titik yang bisa mempertemukan atau hanya tempat peristirahatan saja.

Riz adalah kamu yang menjadikan aku bergairah dalam hidup. Kamu adalah cita-citaku setinggi cita-citamu. Karenamu, dunia ini terasa indah. Aku telah jatuh hati padamu, Riz.


No comments:

Post a Comment